Selasa, 01 Februari 2022

Portal Dunia Lain di Pemadian Air Panas #2

Cerita Horor

Portal Dunia Lain di Pemandian Air Panas #2. “Portal Gaib apaan sih, Mir?” tanya Wildan. Ternyata dia mendengar ucapanku barusan. “Semacam pintu untuk masuk ke alam ‘mereka’. Lebih simpelnya, fungsinya mirip pintu Doraemon.” jelasku. “Jadi bentuknya kaya Pintu Doraemon?” “Fungsi woi, bukan bentuknya. Kalau bentuknya kaya lubang hitam, biasanya kecil. Cuman yang disini lebih gede. Ntah tumben-tumbenan.” “Owh begitu ... baru tau gw. Untung gak bisa liat,” ucap Wildan diiringi tawa. “Sebenernya lu ada yang jaga, Dan. Cuman lu nolak terus,” ucapku. “Hah? Masa sih, bentuknya apaan?” “Cewe cantik bajunya kuning.” “Sekarang ikut?” “Ada tuh, di atas pohon kelapa,” balasku sambil menunjuk pohon kelapa. Wildan dan Hendra langsung melihat ke atas pohon kelapa. “Wanjrit, baru liat gw yang begituan. Cantik asli, Dan,” ucap Hendra tersenyum. “Argh, curiga gw. Apaan sih?” “Itu Kuntilanak Kuning, Mir?” tanya Hendra. “Iya, cantik kan? Beda sama yang putih.” “Tuhkan ... masa penjaga gw Kunti.” * Tak terasa, kami sudah sampai di depan pintu masuk pemandian air panas. Tiba-tiba, Hendra menghentikan langkahnya. Aku dan Wildan pun keheranan. “Napa lu, Dra?” tanyaku. “Yakin masuk?” “Udah di depan muka, masa gak masuk,” balasku. “Tapi ....” “Kenapa sih?” tanya Wildan. “Ini Mang Genta, gak bisa masuk.” “Eh masa?” Aku pun mulai fokus, melihat area pintu masuk. Ternyata ada portal lain yang terbuka, tepat di dekat pintu masuk. Hanya saja yang ini berbeda dengan yang di parkiran. Portalnya lebih besar dan ‘mereka’ yang hilir mudik lebih banyak yang auranya positif. Selain itu, ada seperti pagar tak kasat mata, yang melindungi area pemandian. • “Mang Genta kan termasuk positif, kenapa gak boleh masuk?” tanyaku dalam hati. “Selain anggota kerajaan, dilarang masuk,” balas Si Hitam (Macan Kumbang). “Oalah, ini berarti undangan dari kerajaan ya? Kenapa gak ngomong daritadi,” balasku. “Biar ada kejutan.” • “Jadi gimana, Mir?” tanya Hendra. “Masuk aja gak apa-apa, biar Mang Genta temenin penjaganya Wildan di pohon kelapa,” balasku lalu tertawa. “Ih, ngomongin itu lagi,” ucap Wildan sambil berjalan mendahului kami masuk ke dalam. Sedangkan Hendra masih nampak ragu melangkah. “Bentar deh, Mir. Lu belum bilang alasannya Mang Genta gak bisa masuk.” “Intinya cuman anggota kerajaan aja yang bisa masuk, gitu.” “Oh ... jadi Si Item itu anggota kerajaan juga?” Aku hanya membalasnya dengan anggukan, kemudian berlalu masuk ke dalam. Wildan sudah berdiri menunggu kami di pinggir kolam. “Sekarang udah jam setengah dua malem, tapi masih lumayan banyak aja yang berendem,” ucap Wildan ketika aku menghampirinya. Aku pun hanya bisa tersenyum tipis. Yap ... yang dilihat Wildan sebagian besar bukanlah manusia. Hendra pun datang menghampiriku, walaupun masih terlihat keraguan di wajahnya. “Mir, ini orang semua?” bisiknya. Aku pun menggelengkan kepala. Singkat cerita kami pun akhirnya berendam, memilih tempat yang agak sepi. Di depan kami ada seorang bapak sedang berendam. Sekitar 10 menit kemudian, dia beranjak dari tempatnya, ke luar dari kolam. Ketika sedang berjalan di pinggir kolam, dia menatapku lalu tersenyum. Aku pun membalasnya, lalu memperhatikan gerak-geriknya . “Oh bukan manusia,” ucapku dalam hati, ketika melihatnya melangkah melawati permukaan air, menuju pintu masuk. • “Liat tuh, jam segini ada cewe hamil yang berendem,” ucap Wildan menunjuk area kolam di depan kami. Aku dan Hendra hanya saling lirik, tidak menjawab ucapannya. Sama dengan bapak tadi, wanita itu pun bukanlah manusia. Ketika selesai berendam, dia menghilang di balik rimbunnya pepohonan di samping kolam. “Mir, udah belum? Lama amat, bisa mateng gw,” bisik Hendra. “Wildan aja santai tuh, dia lagi liatin ‘cewe cantik’ di kolam sebrang,” balasku. “Kok dia bisa masuk?” “Entah lah.” • “Dia datang,” bisik Si Hitam. Aku mengamati setiap sudut area pemandian, namun tidak ada sesuatu yang datang. “Di sana, di pintu masuk,” ucapnya. Dari pintu masuk aku melihat ada cahaya putih perlahan-lahan mendekat. Lambat laun, cahaya itu berbentuk seperti manusia. Seorang wanita, baru saja memasuki area pemandian. Gaunnya panjang berwarna biru polos. Wajahnya nampak ayu, khas wanita tanah sunda. Rambutnya panjang sampai lutut. Dia juga mengenakan ikat pinggang dan mahkota emas. Di tangan kanan dan kirinya, ada sebuah selendang biru yang tergantung dan menjuntai hingga ke tanah. • “Ratu sudah datang,” ucap Si Hitam. Aku melihat ekspresi Hendra, sepertinya dia tidak melihat kehadirannya. Namun ... ada sesuatu yang menggangguku. Sosok yang daritadi berjalan di samping Sang Ratu. Sepertinya aku mengenalnya. Bukankah itu ...?
BERSAMBUNG

Share:

Portal Dunia Lain di Pemandian Air Panas #1


Cerita Horor
Portal Dunia Lain di Pemandian Air Panas #1. Sejak tadi, Wildan dan Hendra sedang fokus bermain game mobile. Mereka seperti ada di dunianya masing-masing. Teriak-teriak tidak jelas sambil menatap layar gadgetnya. “Mandi Yuk!” ajakku. “Hah?” sahut Wildan kebingungan. “Malem-malem ngajak mandi, stres ni anak,” balas Hendra. “Tau tuh,” sambung Wildan. “Yeeee ... maksud gw bukan gitu,” elakku. “Trus?” “Tadi gw liat di google, ada pemandian air panas yang buka 24 jam. Daripada malam minggu di kosan doang, mending jalan-jalan yuk ke sana! Sekalian makan sate maranggi.” “Bertiga doang?” tanya Wildan. “Ya emang sama siapa lagi.” “Ah, curiga gw, pasti ada apa-apa,” ucap Hendra. Hendra ini mirip denganku, dia pun memiliki beberapa penjaga dan bisa berkomunikasi dengan ‘mereka’. “Curiga kenapa?” tanyaku. “Ini dari tadi Mang Genta ketawa-tawa mulu.” Mang Genta, salah satu penjaga Hendra. Wujudnya seperti jawara tanah sunda zaman dulu. Badannya lumayan tinggi dan berisi. Kemana-mana selalu membawa parang yang diikat di pinggangnya. “Dia bilang apa?” tanyaku. “Sana pergi, ada yang mau kenalan, katanya sih begitu.” “Sekarang tergantung Si Wildan nih, mau gak dia? Soalnya kan dia yang punya mobil,” ucapku sambil melirik ke arah Wildan. “Mau gak, Dan?” tanya Hendra. “Bebas lah, lagian gw gak bakal liat ini.” * Seperti biasa, Wildan selalu duduk di kursi kemudi. Soalnya diantara kami, dia yang paling tidak sensitif. Jadi kecil kemungkinan dia melihat sesuatu di tengah jalan. Apalagi ini jalur undangan, pasti akan ada kejadian unik. “Siap?” tanya Wildan yang sudah menyalakan mobil. “Gas lah.” • Sudah hampir tengah malam, jalanan tidak begitu ramai. Mobil pun bisa melaju kencang melalui sebuah jalan besar di sekitar perkebunan teh. “Dra, lu liat gak?” tanyaku pada Hendra yang duduk di kursi tengah. “Hooh, rame ya,” balasnya. “Rame apaan?” tanya Wildan penasaran. “Kaya prajurit kerajaan lagi berdiri di pinggir jalan,” jelas Hendra. “Bukan itu, Hen.” “Apaan emang, Mir?” “Coba lu liat di kaca belakang.” “Gak usah nakut-nakutin, Mir. Ini gw lagi nyetir, panik dikit nyemplung ke jurang,” ucap Wildan. “Lu nyetir aja, Dan. Jangan denger omongan gw sama Hendra.” Perlahan-lahan, Hendra menengok ke belakang. “Astagfirullah ....” Saking terkejutnya, Hendra sampai berusaha pindah ke kursi depan. “Apaan sih, Dra. Bahaya tau,” protes Wildan. “Asli serem, Mir.” Aku hanya bisa tersenyum, sambil menggali informasi. Apa maksud dari makhluk yang ada di belakang mobil kami itu. “Yeeee, Si Amir malah diem doang, tanggung jawab lu,” ucap Hendra sambil menepuk pundakku. “Dan, kalau ada warung, berenti sebentar ya,” pintaku. “Warung beneran kan? Bukan jadi-jadian.” “Ya beneran lah.” * Mobil pun berhenti di sebuah warung jagung bakar di pinggir jalan. “Ngilang dia, Mir,” ucap Hendra. “Huuh.” “Ini berdua daritadi apaan sih?” protes Wildan. “Ah, lu gak liat sih, Dan.” “Apaan?” “Tadi ada Ambulan ngikutin kita dari belakang, tapi gak ada supirnya. Terus di atas mobilnya ada yang lagi duduk gede banget,” jelas Hendra. “Gede banget?” “Pocong merah, Dan,” balasku. “Anjrit, yang putih aja serem apalagi merah.” “Lu baru pertama liat itu, Hen?” tanyaku. “Iya, asli dah serem banget.” “Santai aja dulu di sini, terutama lu, Dan. Jangan dipikirin dan takut, soalnya lu kan yang nyetir.” “Kalian juga, ngapain diomongin, kan sekarang gw jadi tau.” • Setelah istirahat 15 menit, kami pun kembali ke mobil. “Mir, gw duduk di depan dah,” pinta Hendra. “Yakin?” “Jangan ah! Dua orang penakut di depan, bahaya lah,” ucap Wildan. Hendra pun pasrah, kembali duduk di kursi tengah. Dia masih ketakutan, bisa dilihat dari posisi duduknya yang condong ke depan, mendekati kursiku. “Aman ya, Mir?” bisiknya. “Belum.” Dengan cepat, Hendra kembali menengok ke belakang. “Udah gak ada, Mir.” “Kata siapa? Tuh!” balasku sambil mengarahkan pandangan ke depan. “Astagfirullah ....” Lagi-lagi Hendra terkejut setelah melihat pemandangan di depan mobil. Kali ini dia tidak kuat, lalu menutup matanya. “Dan, lu santai aja ya.” “Ada apa sih, Mir?” “Pokoknya, banyak-banyak baca doa aja dalem hati.” Ambulan tadi sudah ada di depan mobil kami. Hanya saja arahnya berlawanan. Semakin lama semakin mendekat. Sedangkan pocong merah itu masih duduk di atasnya, menatapku dengan senyuman menawan. Wus! Angin berhembus kencang, melalui kaca depan mobil. Tubuhku merasakan benturan halus, yang membuat bulu kuduk meremang. Dug! Terdengar suara benda jatuh di atas mobil. “Astagfirullah ...,” ucap Hendra lalu komat-kamit membaca doa. “Merinding gw, asli dah,” ucap Wildan. “Dah buruan tancap gas!” • Tidak lama kemudian, kami pun tiba di area pemandian air panas. Daritadi Hendra hanya diam saja dan lebih banyak menutup matanya. “Dah sampe, Dra,” ucapku. “Alhamdulillah,” balasnya lalu membuka mata. “Jelasin lah, Mir. Tadi kenapa?” tanya Wildan. “Tadi kita ditabrak Ambulan itu,” balasku “Hah?” “Bukan cuman ditabrak aja. Si Pocong Merah tadi juga ikut, duduk di atas mobil kita. Gw bisa liat kakinya yang ngejuntai sampai jok tengah. Di samping Hendra,” jelasku. “Pantesan, daritadi Si Hendra merem.” “Itu apaan, Mir?” tanya Hendra sambil menunjuk ke salah satu pohon besar di dekat parkiran. “Portal Gaib.” “Asli rame banget di sini.” “Cuekin aja. Yuk buruan masuk ke dalem!” ajakku. BERSAMBUNG

Share: