Selasa, 01 Februari 2022

Portal Dunia Lain di Pemadian Air Panas #2

Cerita Horor

Portal Dunia Lain di Pemandian Air Panas #2. “Portal Gaib apaan sih, Mir?” tanya Wildan. Ternyata dia mendengar ucapanku barusan. “Semacam pintu untuk masuk ke alam ‘mereka’. Lebih simpelnya, fungsinya mirip pintu Doraemon.” jelasku. “Jadi bentuknya kaya Pintu Doraemon?” “Fungsi woi, bukan bentuknya. Kalau bentuknya kaya lubang hitam, biasanya kecil. Cuman yang disini lebih gede. Ntah tumben-tumbenan.” “Owh begitu ... baru tau gw. Untung gak bisa liat,” ucap Wildan diiringi tawa. “Sebenernya lu ada yang jaga, Dan. Cuman lu nolak terus,” ucapku. “Hah? Masa sih, bentuknya apaan?” “Cewe cantik bajunya kuning.” “Sekarang ikut?” “Ada tuh, di atas pohon kelapa,” balasku sambil menunjuk pohon kelapa. Wildan dan Hendra langsung melihat ke atas pohon kelapa. “Wanjrit, baru liat gw yang begituan. Cantik asli, Dan,” ucap Hendra tersenyum. “Argh, curiga gw. Apaan sih?” “Itu Kuntilanak Kuning, Mir?” tanya Hendra. “Iya, cantik kan? Beda sama yang putih.” “Tuhkan ... masa penjaga gw Kunti.” * Tak terasa, kami sudah sampai di depan pintu masuk pemandian air panas. Tiba-tiba, Hendra menghentikan langkahnya. Aku dan Wildan pun keheranan. “Napa lu, Dra?” tanyaku. “Yakin masuk?” “Udah di depan muka, masa gak masuk,” balasku. “Tapi ....” “Kenapa sih?” tanya Wildan. “Ini Mang Genta, gak bisa masuk.” “Eh masa?” Aku pun mulai fokus, melihat area pintu masuk. Ternyata ada portal lain yang terbuka, tepat di dekat pintu masuk. Hanya saja yang ini berbeda dengan yang di parkiran. Portalnya lebih besar dan ‘mereka’ yang hilir mudik lebih banyak yang auranya positif. Selain itu, ada seperti pagar tak kasat mata, yang melindungi area pemandian. • “Mang Genta kan termasuk positif, kenapa gak boleh masuk?” tanyaku dalam hati. “Selain anggota kerajaan, dilarang masuk,” balas Si Hitam (Macan Kumbang). “Oalah, ini berarti undangan dari kerajaan ya? Kenapa gak ngomong daritadi,” balasku. “Biar ada kejutan.” • “Jadi gimana, Mir?” tanya Hendra. “Masuk aja gak apa-apa, biar Mang Genta temenin penjaganya Wildan di pohon kelapa,” balasku lalu tertawa. “Ih, ngomongin itu lagi,” ucap Wildan sambil berjalan mendahului kami masuk ke dalam. Sedangkan Hendra masih nampak ragu melangkah. “Bentar deh, Mir. Lu belum bilang alasannya Mang Genta gak bisa masuk.” “Intinya cuman anggota kerajaan aja yang bisa masuk, gitu.” “Oh ... jadi Si Item itu anggota kerajaan juga?” Aku hanya membalasnya dengan anggukan, kemudian berlalu masuk ke dalam. Wildan sudah berdiri menunggu kami di pinggir kolam. “Sekarang udah jam setengah dua malem, tapi masih lumayan banyak aja yang berendem,” ucap Wildan ketika aku menghampirinya. Aku pun hanya bisa tersenyum tipis. Yap ... yang dilihat Wildan sebagian besar bukanlah manusia. Hendra pun datang menghampiriku, walaupun masih terlihat keraguan di wajahnya. “Mir, ini orang semua?” bisiknya. Aku pun menggelengkan kepala. Singkat cerita kami pun akhirnya berendam, memilih tempat yang agak sepi. Di depan kami ada seorang bapak sedang berendam. Sekitar 10 menit kemudian, dia beranjak dari tempatnya, ke luar dari kolam. Ketika sedang berjalan di pinggir kolam, dia menatapku lalu tersenyum. Aku pun membalasnya, lalu memperhatikan gerak-geriknya . “Oh bukan manusia,” ucapku dalam hati, ketika melihatnya melangkah melawati permukaan air, menuju pintu masuk. • “Liat tuh, jam segini ada cewe hamil yang berendem,” ucap Wildan menunjuk area kolam di depan kami. Aku dan Hendra hanya saling lirik, tidak menjawab ucapannya. Sama dengan bapak tadi, wanita itu pun bukanlah manusia. Ketika selesai berendam, dia menghilang di balik rimbunnya pepohonan di samping kolam. “Mir, udah belum? Lama amat, bisa mateng gw,” bisik Hendra. “Wildan aja santai tuh, dia lagi liatin ‘cewe cantik’ di kolam sebrang,” balasku. “Kok dia bisa masuk?” “Entah lah.” • “Dia datang,” bisik Si Hitam. Aku mengamati setiap sudut area pemandian, namun tidak ada sesuatu yang datang. “Di sana, di pintu masuk,” ucapnya. Dari pintu masuk aku melihat ada cahaya putih perlahan-lahan mendekat. Lambat laun, cahaya itu berbentuk seperti manusia. Seorang wanita, baru saja memasuki area pemandian. Gaunnya panjang berwarna biru polos. Wajahnya nampak ayu, khas wanita tanah sunda. Rambutnya panjang sampai lutut. Dia juga mengenakan ikat pinggang dan mahkota emas. Di tangan kanan dan kirinya, ada sebuah selendang biru yang tergantung dan menjuntai hingga ke tanah. • “Ratu sudah datang,” ucap Si Hitam. Aku melihat ekspresi Hendra, sepertinya dia tidak melihat kehadirannya. Namun ... ada sesuatu yang menggangguku. Sosok yang daritadi berjalan di samping Sang Ratu. Sepertinya aku mengenalnya. Bukankah itu ...?
BERSAMBUNG

Share:

Portal Dunia Lain di Pemandian Air Panas #1


Cerita Horor
Portal Dunia Lain di Pemandian Air Panas #1. Sejak tadi, Wildan dan Hendra sedang fokus bermain game mobile. Mereka seperti ada di dunianya masing-masing. Teriak-teriak tidak jelas sambil menatap layar gadgetnya. “Mandi Yuk!” ajakku. “Hah?” sahut Wildan kebingungan. “Malem-malem ngajak mandi, stres ni anak,” balas Hendra. “Tau tuh,” sambung Wildan. “Yeeee ... maksud gw bukan gitu,” elakku. “Trus?” “Tadi gw liat di google, ada pemandian air panas yang buka 24 jam. Daripada malam minggu di kosan doang, mending jalan-jalan yuk ke sana! Sekalian makan sate maranggi.” “Bertiga doang?” tanya Wildan. “Ya emang sama siapa lagi.” “Ah, curiga gw, pasti ada apa-apa,” ucap Hendra. Hendra ini mirip denganku, dia pun memiliki beberapa penjaga dan bisa berkomunikasi dengan ‘mereka’. “Curiga kenapa?” tanyaku. “Ini dari tadi Mang Genta ketawa-tawa mulu.” Mang Genta, salah satu penjaga Hendra. Wujudnya seperti jawara tanah sunda zaman dulu. Badannya lumayan tinggi dan berisi. Kemana-mana selalu membawa parang yang diikat di pinggangnya. “Dia bilang apa?” tanyaku. “Sana pergi, ada yang mau kenalan, katanya sih begitu.” “Sekarang tergantung Si Wildan nih, mau gak dia? Soalnya kan dia yang punya mobil,” ucapku sambil melirik ke arah Wildan. “Mau gak, Dan?” tanya Hendra. “Bebas lah, lagian gw gak bakal liat ini.” * Seperti biasa, Wildan selalu duduk di kursi kemudi. Soalnya diantara kami, dia yang paling tidak sensitif. Jadi kecil kemungkinan dia melihat sesuatu di tengah jalan. Apalagi ini jalur undangan, pasti akan ada kejadian unik. “Siap?” tanya Wildan yang sudah menyalakan mobil. “Gas lah.” • Sudah hampir tengah malam, jalanan tidak begitu ramai. Mobil pun bisa melaju kencang melalui sebuah jalan besar di sekitar perkebunan teh. “Dra, lu liat gak?” tanyaku pada Hendra yang duduk di kursi tengah. “Hooh, rame ya,” balasnya. “Rame apaan?” tanya Wildan penasaran. “Kaya prajurit kerajaan lagi berdiri di pinggir jalan,” jelas Hendra. “Bukan itu, Hen.” “Apaan emang, Mir?” “Coba lu liat di kaca belakang.” “Gak usah nakut-nakutin, Mir. Ini gw lagi nyetir, panik dikit nyemplung ke jurang,” ucap Wildan. “Lu nyetir aja, Dan. Jangan denger omongan gw sama Hendra.” Perlahan-lahan, Hendra menengok ke belakang. “Astagfirullah ....” Saking terkejutnya, Hendra sampai berusaha pindah ke kursi depan. “Apaan sih, Dra. Bahaya tau,” protes Wildan. “Asli serem, Mir.” Aku hanya bisa tersenyum, sambil menggali informasi. Apa maksud dari makhluk yang ada di belakang mobil kami itu. “Yeeee, Si Amir malah diem doang, tanggung jawab lu,” ucap Hendra sambil menepuk pundakku. “Dan, kalau ada warung, berenti sebentar ya,” pintaku. “Warung beneran kan? Bukan jadi-jadian.” “Ya beneran lah.” * Mobil pun berhenti di sebuah warung jagung bakar di pinggir jalan. “Ngilang dia, Mir,” ucap Hendra. “Huuh.” “Ini berdua daritadi apaan sih?” protes Wildan. “Ah, lu gak liat sih, Dan.” “Apaan?” “Tadi ada Ambulan ngikutin kita dari belakang, tapi gak ada supirnya. Terus di atas mobilnya ada yang lagi duduk gede banget,” jelas Hendra. “Gede banget?” “Pocong merah, Dan,” balasku. “Anjrit, yang putih aja serem apalagi merah.” “Lu baru pertama liat itu, Hen?” tanyaku. “Iya, asli dah serem banget.” “Santai aja dulu di sini, terutama lu, Dan. Jangan dipikirin dan takut, soalnya lu kan yang nyetir.” “Kalian juga, ngapain diomongin, kan sekarang gw jadi tau.” • Setelah istirahat 15 menit, kami pun kembali ke mobil. “Mir, gw duduk di depan dah,” pinta Hendra. “Yakin?” “Jangan ah! Dua orang penakut di depan, bahaya lah,” ucap Wildan. Hendra pun pasrah, kembali duduk di kursi tengah. Dia masih ketakutan, bisa dilihat dari posisi duduknya yang condong ke depan, mendekati kursiku. “Aman ya, Mir?” bisiknya. “Belum.” Dengan cepat, Hendra kembali menengok ke belakang. “Udah gak ada, Mir.” “Kata siapa? Tuh!” balasku sambil mengarahkan pandangan ke depan. “Astagfirullah ....” Lagi-lagi Hendra terkejut setelah melihat pemandangan di depan mobil. Kali ini dia tidak kuat, lalu menutup matanya. “Dan, lu santai aja ya.” “Ada apa sih, Mir?” “Pokoknya, banyak-banyak baca doa aja dalem hati.” Ambulan tadi sudah ada di depan mobil kami. Hanya saja arahnya berlawanan. Semakin lama semakin mendekat. Sedangkan pocong merah itu masih duduk di atasnya, menatapku dengan senyuman menawan. Wus! Angin berhembus kencang, melalui kaca depan mobil. Tubuhku merasakan benturan halus, yang membuat bulu kuduk meremang. Dug! Terdengar suara benda jatuh di atas mobil. “Astagfirullah ...,” ucap Hendra lalu komat-kamit membaca doa. “Merinding gw, asli dah,” ucap Wildan. “Dah buruan tancap gas!” • Tidak lama kemudian, kami pun tiba di area pemandian air panas. Daritadi Hendra hanya diam saja dan lebih banyak menutup matanya. “Dah sampe, Dra,” ucapku. “Alhamdulillah,” balasnya lalu membuka mata. “Jelasin lah, Mir. Tadi kenapa?” tanya Wildan. “Tadi kita ditabrak Ambulan itu,” balasku “Hah?” “Bukan cuman ditabrak aja. Si Pocong Merah tadi juga ikut, duduk di atas mobil kita. Gw bisa liat kakinya yang ngejuntai sampai jok tengah. Di samping Hendra,” jelasku. “Pantesan, daritadi Si Hendra merem.” “Itu apaan, Mir?” tanya Hendra sambil menunjuk ke salah satu pohon besar di dekat parkiran. “Portal Gaib.” “Asli rame banget di sini.” “Cuekin aja. Yuk buruan masuk ke dalem!” ajakku. BERSAMBUNG

Share:

Sabtu, 14 Agustus 2021

Penari di Balik Pondasi Jembatan

 

Cerita Horor
Penari di Balik Pondasi Jembatan. Malam ini, Hendra mengajakku bermain futsal bersama teman-temannya. Dia tidak mau bilang siapa teman-temannya itu. Setiap kali ditanya jawabannya pasti rahasia. Khawatir nanti tidak ada teman lain. Aku pun mengajak Wildan yang sedang asik berbaring di kasurnya. “Loh? Lu juga ikut, Dan?” tanya Hendra ketika aku dan Wildan menghampiri mobil. “Iye, daripada gw di kosan sendirian. Ntar diisengin,” balas Wildan sambil melirik ke arahku. “Kok gw?” elakku. “Siapa lagi yang suka nyuruh demit ketok-ketok jendela kamar gw.” “Ibu Kos kali.” “Ya kali Ibu Kos ngelayang-layang. Kan kamar gw di lantai dua.” “Oh iya.” “Udah woy, buruan naek! Malah ribut di sini,” sela Hendra. Aku dan Wildan masuk ke dalam mobil. Benar dugaanku wajah-wajah orang di dalam mobil sudah tidak asing lagi. Orang yang pernah diajak Hendra untuk penelusuran ke Rumah Sarang Kuntilanak. “Halo Kak Amir,” sapa Saiful yang duduk di bangku depan. “Eh ada Saiful,” balasku. Tentunya aku ingat dengannya. Soalnya pada saat penelusuran itu, pundaknya dijadikan tempat bersandar Kuntilanak. “Ini bukan mau penelusuran kan?” tanyaku. “Ah masa penelusuran sih? Katanya mau maen futsal. Si Amir bohong ini ma gw!” ucap Wildan kesal. “Gw kan nanya, Dan! Soalnya ini orang-orangnya sama kaya penelusuran dulu.” “Maen futsal kok, Dan. Panik amat,” balas Hendra. “Oh ... oke.” “Pulangnya baru penelusuran,” sambung Hendra disertai tawa. “Jebakan ini sih, parah si Amir.” “Gw juga gak tau, Dan. Hendra ditanya rahasia mulu jawabnya,” balasku. “Emang beneran mau penelusuran, Dra?” sambungku. “Enggak kok. Gw demen aja liat Wildan panik.” “Parah.” Wildan memukul lengan Hendra yang duduk di dekatnya. Obrolan kami bertiga sukses menjadi bahan tertawaan teman-teman Hendra lainnya. Wildan yang awalnya telihat kaku pun sudah mulai bisa mencair. Menceritakan pengalaman-pengalamannya selama tinggal sekosan denganku. Hingga tak terasa mobil sudah sampai di tempat futsal. * Tempatnya agak jauh dari keramaian kota. Namun, parkirannya terlihat lumayan ramai. Sampai detik ini, aku tidak tau alasan Hendra memilih tempat ini. Kuperhatikan deretan pohon bambu yang mengitari pagar area parkiran. Di sana sudah banyak wanita-wanita berdaster putih sedang bergelantungan. Di bagian samping gedung lapangan futsal, ada lahan kosong yang ditumbuhi rerumputan yang tinggi. Makhluk yang ada di sana sangat jauh berbeda dengan yang ada di parkiran. Didominasi oleh Siluman Ular dengan anak buahnya. Seperti biasa, aku tidak mengajak siapa pun saat ini. Takut terjadi bentrokan dengan makhluk-makhluk yang ada di sini. Tau sendiri kan bagaimana isengnya para penjagaku. “Liat apa sih, Mir? Daritadi serius amat. Ada sesuatu ya?” tanya Hendra ketika mataku sedang mengamati pohon besar di dekat pintu masuk. “Enggak,” balasku singkat. “Amir tuh kalau bilang enggak, pasti aslinya iya,” ucap Wildan. “Emang ada apa, Kak?” tanya Saiful. “Ah gak usah kepo, biarin aja.” Aku berjalan masuk ke dalam gedung. “Tuhkan.” “Tuhkan apaan, Dan? Mau liat?” tanyaku pada Wildan. “Ampun, Mir.” Di dalam gedung ternyata sudah ada beberapa teman Hendra yang menunggu. Kali ini aku tidak mengenalnya sama sekali. Mungkin mereka teman kelasnya di kampus. Setelah membagi tim, kami mulai bermain futsal. Hendra sudah mem-booking lapangan ini selama dua jam. Selama itu pula aku terganggu dengan sosok wanita yang berjalan kayang. Yang daritadi naik-turun di jaring pembatas antar lapangan. Entah maunya apa. * Di sela-sela istirahat, kami berkumpul di pinggir lapangan. “Kak, kapan penelusuran lagi?” tanya Saiful. “Waduh, males ah.” “Bukannya abis futsal mau penelusuran?” ucap Hendra. Sukses membuat cubitan keras Wildan mendarat di perutnya. “Aw, sensi banget ni anak.” “Emang mas bisa liat?” tanya salah seorang teman Hendra. “Bisa, nih sekarang lagi liat.” “Liat apa?” “Liat kamu lah, emang liat apaan?” “Maksudnya, liat makhluk gaib.” “Kata siapa?” “Tuh, kata Hendra.” “Gosip doang itu sih.” “Bohong, emang beneran dia bisa liat begituan,” sela Wildan. “Diem kali, Dan.” “Di sini ada begituan gak, Mas?” tanya teman Hendra lainnya. “Mereka tuh ada di mana-mana. Di sini pun pasti ada.” “Oh begitu, bentuknya apa, Mas?” “Pocong.” Aku menatap ke arah Wildan. “Apaan sih, Mir. Jangan nakutin dah.” “Ada di mana sekarang?” tanya Hendra. “Liat aja mata gw ke mana.” “Gak usah becanda, Mir.” Wildan menggeser tempat duduknya, mendekatiku. Aku pun tertawa. “Beneran ada?” tanya Wildan. “Kagak,” balasku. “Ah kirain beneran,” ucap Hendra. “Yuk! Maen lagi aja, gak usah dipikirin yang begituan sih. Entar mereka ke-geer-an terus ngikut sampe rumah.” Aku bangkit dan berjalan ke lapangan. Kami pun bermain satu babak lagi. Diakhiri dengan kemenangan teamku. Sebelum pulang, kami mengobrol sebentar di parkiran. “Lapar gak?” tanya Hendra. Dia paling mengerti soal urusan perut. “Huuh,” balasku. “Cari makan dulu lah kita,” ajaknya. “Lu yang bayar, Kan?” Dengan cepat Wildan menjawab ajakan Hendra. “Aman.” “Asik.” * Mobil meninggalkan tempat parkir. “Dan, lu gak pamitan dulu sama tuh cowok,” ucapku. “Cowok?” “Iya, pocong yang tadi. Kasian dicampakan.” “Bah! Beneran ada pocong, Ya?” tanya Hendra. “Iya, dia ngintilin si Wildan terus pas balik dari kamar mandi.” “Pantesan, gw merinding mulu pas di kamar mandi,” balas Wildan. “Sial banget dah lu, Dan. Masa yang ngikut pocong absurb begitu.” “Absurb gimana?” “Pocongnya cowok, tapi agak kemayu gitu.” “Banci maksudnya?” “Huuh.” “Astaga.” Mobil pun masih melaju dengan cepat, melewati jalan yang sudah sangat sepi. Ya, karena sekarang sudah jam 11 malam. “Makan di mana?” tanya teman Hendra yang memegang kemudi, sebut saja Ogi. “Tempat biasa aja,” balas Saiful. Mobil terus melaju, jika tidak salah ini arahnya menuju perbatasan antara kota dan kabupaten. Berarti akan melewati sebuah jembatan besar. Dugaanku benar, mobil melewati jembatan bercat merah. Di dekatnya ada sebuah lapangan agak besar. Yang dijadikan pusat jajanan malam. Di ujung jembatan, aku melihat seorang wanita sedang menari. Berpakaian serba hijau dengan bercak-bercak merah. Wanita itu sepertinya tau akan kehadiranku. Dia terus menatap ke arah mobil yang kutumpangi. “Ada apa, Mir? Daritadi diem aja,” ucap Wildan. “Ah, enggak.” “Pasti ada apa-apa, Kan?” “Biasa aja sih, kan udah malem juga. Terus lewat jembatan yang dibangun di zaman Belanda. Pasti banyak lah begituannya,” jelasku. “Oh, emang ada apa aja?” tanya Hendra. “Kebanyakan Kuntilanak sih, gelantungan dan duduk di tiang jembatan.” “Ih, serem aja.” Mobil berhenti di pinggir jalan, dekat dengan lapangan pusat jajanan malam. Aku masih bisa merasakan ada energi yang besar mengikutiku. Penuh dengan amarah. Namun aku masih berusaha menutup rapat-rapat gerbang dialog. “Lesehan aja yuk!” Hendra berjalan mendekati pedagang wedang jahe. Di dekatnya sudah ada tikar dan meja kecil. Kami pun duduk di sana. Satu persatu dari kami memesan makanan dan minuman. Aku masih belum bisa berkonsentrasi penuh. Sosok itu rasanya semakin mendekat. “Mir? Lu kagak kenapa-napa, Kan?” tanya Hendra. “Hah?” “Pasti ada sesuatu nih,” selidik Wildan. “Kagak.” “Kagak apaan, orang daritadi lu nengok ke belakang mulu. Ada apaan sih di belakang?” ucap Wildan sambil menoleh ke belakang. “Kagak, Dan.” “Jangan bohong, cerita aja.” “Ada cewek lagi nari, daritadi ngikutin kita.” “Seriusan?” Aku pun mengangguk pelan. “Energinya gede banget, tapi lebih ke arah negatif.” “Aih, jadi gak nafsu makan gw. Balik yuk!” ucap Wildan. “Lah, tadi lu sendiri yang suruh cerita, Dan,” balas Hendra. “Biasanya kan dia gak mau cerita.” “Terus gimana, Kak?” tanya Ogi. “Ini lagi nahan dia biar gak ngedeket.” * “Aku mati di sini,” ucap Penari itu. “Mereka semua menipuku,” sambungnya. Aku memejamkan mata, terpaksa membuka gerbang dialog dengannya. Tentunya melalui batin. “Menipu bagaimana?” tanyaku. “Mereka bilang aku diundang untuk acara pembangunan jembatan. Ternyata semua itu bohong!” Penari itu meninggikan suaranya. Dia mulai memberikan gambaran. Sebuah acara yang cukup meriah di zamannya. Lokasinya tepat di bawah jembatan. Terlihat banyak pria dan wanita Belanda sedang duduk, sambil menyaksikan pentas kesenian. Seorang wanita berparas ayu, naik ke atas panggung. Menari dengan indahnya, sambil diiringi gamelan. “Itu kamu?” tanyaku. “Iya,” balasnya. “Siapa namamu?” “Ajeng.” Setelah menari, seorang warga desa membawanya ke belakang panggung. Di sana sudah menunggu seorang pria berperawakan tinggi besar, berkulit putih dan berambut pirang. Pria Belanda. Terjadi obrolan antara Ajeng, warga desa dan Pria Belanda itu. Selanjutnya, Ajeng diajak ke sebuah rumah. “Aku diminta melayani pria itu!” ucap Ajeng. “Kenapa kamu mau?” “Terpaksa, jika aku menolak maka dia bisa saja membunuhku.” “Sama saja, Kan?” “Aku tidak menduga akan seperti ini.” Setelah memuaskan nafsu bejatnya. Pria Belanda itu kemudian menyiksa Ajeng. Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Ajeng. Ajeng pun menjerit kesakitan, terus meminta ampun. Namun semakin lama situasi tidak terkendali. Tangan besar Pria Belanda itu mencekik leher Ajeng dengan keras. Ajeng pun meronta-ronta, berusaha teriak tapi suaranya tertahan. Saat Ajeng tidak sadarkan diri, Pria Belanda itu masih terus memukuli tubuhnya. Sampai akhirnya, dia menembak tubuh Ajeng dengan senapan besar yang dibawanya. Darah pun mengalir, membasahi tubuh Ajeng. Beberapa warga desa masuk ke dalam kamar, menggotong tubuhnya yang bersimbah darah. Mereka membawa ke sebuah tiang beton, yang dijadikan pondasi jembatan. Kemudian tubuh disandarkan di antara beton dengan posisi bediri. “Aku masih bernafas,” ucap Ajeng. “Hah?” “Mereka menguburku hidup-hidup.” “Apa kamu tau alasannya?” “Tumbal. Itu yang kudengar,” balasnya. “Untuk kelancaran pembangunan jembatan, harus ada nyawa yang ditumbalkan. Mereka meminta nyawa seorang penari,” imbuhnya. “Lalu, apa maksudmu mendatangiku? Toh aku tidak akan bisa berubat apa-apa.” “Aku hanya ingin bercerita, menumpahkan kekesalanku.” “Ngomong-ngomong apa yang kamu lakukan pada orang-orang itu.” Ajeng pun tertawa melengking. “Kamu mau melihatnya?” “Tidak.” “Aku hancurkan mereka satu persatu, sampai mereka semua mati dan pergi meninggalkan desa.” “Ya sudah, sekarang kamu boleh pergi. Aku mau makan.” “Apa aku boleh datang dan bercerita lagi?” tanyanya. “Kamu harus minta izin ke dia.” Aku menatap ke atap lapak wedang jahe. Di sana salah satu penjagaku sedang duduk santai. “Monyet itu?” “Saya bukan monyet. Dasar wanita jelek!” protes si Kingkong. “Kingkong, bukan monyet,” balasku. “Sama saja.” Ajeng terbang melayang ke arah jembatan. “Huh, liat saja nanti saya ikat dia di tiang jembatan,” ucap Si Kingkong. “Jangan! Kasian.” “Lagian kamu ngapain ke sini?” “Saya kira dia punya niat jahat padamu. Ternyata hanya ingin berbicara saja.” “Ya sudah sana pergi! Aku mau makan.” Si Kingkong pun menghilang. * “Jadi gimana, Mir?” tanya Wildan. “Beres, udah pergi.” “Siplah, bisa makan dengan tenang kita.” “Tapi ....” “Tapi apa?” “Itu cowok masih ngikutin lu, Dan.” “Usirlah!” “Udah gak apa-apa, Dan. Biar pas tidur ada guling tambahan,” ledek Hendra. “Balik ah gw!” “Jalan kaki?” “Eh, iya.” Kami pun tertawa melihat tingkah Wildan. SEKIAN

Share:

Rambut di Mangkuk Mie Ayam

 

Cerita Horor
Rambut di Mangkuk Mie Ayam. Wildan memarkirkan mobil di samping Pujasera. Aku sudah turun duluan dan menunggu di depan pintu masuk. Tidak lama Wildan menyusul. “Yuk!” ajak Wildan. Kami pun mengelilingi Pujasera, melihat-lihat menu makanan apa yang dijual. Ada belasan resto, yang menjual aneka makanan dan minuman. Aku pun mengamatinya satu persatu. “Jadi mau makan apa, Dan?” “Hmm ... gw lagi males makan nasi. Makan mie aja yuk!” “Ya udah lu pilih yang mana, gw sih bebas.” “Yang itu aja.” Wildan menunjuk resto di pojok kiri, yang cukup ramai. “Kenapa gak yang itu aja.” Aku menunjuk resto di sebrangnya, yang agak sepi. “Sepi gitu, berarti kurang enak makanannya.” “Ah so tau, kalau rame gw males antrinya. Dah laper banget nih.” “Gw ngalah dah. Tadi katanya bebas, tetep aja lu yang milih,” keluh Wildan seraya berjalan ke arah resto rekomendasiku. Aku mengikutinya dari belakang. Di depan resto, terpampang menu olahan mie. Kami berdiri sebentar sambil melihat menu dan harganya. “Cocok?” tanyaku. “Ya udah.” Wildan masuk ke dalam. “Selamat malam,” sapa salah satu pekerja resto. Kami hanya membalasnya dengan senyum. Setelah memilih tempat duduk. Tidak lama pramusaji pun datang, memberikan kertas menu. “Langsung aja, Mbak.” Sebelumnya Wildan sudah memilih menu duluan. “Mie Ayam Bakso plus Ceker pedas ya.” “Saya yang tanpa Ceker,” pesanku. “Minumnya?” “Es teh manis aja, dua.” “Ditunggu ya, Mas.” Pramusaji itu menuju kasir dan memberikan daftar pesanan kami. * “Kenapa gak yang itu aja si, Mir?” bisik Wildan, yang masih mengingikan makan di resto sebrang. “Yang rame belum tentu enak.” “Kalau gak enak, gak mungkin rame.” “Lu gak inget makan Soto di jembatan dulu? Enak dan rame tapi ....” “Ada bocah kencingin kuah sotonya. Huek, jadi jijik kalau inget itu, Mir.” Wildan memotong ucapanku. “Mangkanya.” “Di sini aman kan?” “Insya Allah.” “Kalau di sana?” “Argh ... lu mancing-mancing.” “Aman?” Aku menggelengkan kepala. “Oh ... ya sudah lah sekarang gw ikhlas makan di sini.” Wildan pun tertawa. Pramusaji mengantarkan dua mangkuk mie ayam beserta minumannya. Setelah itu kembali ke tempat duduknya di dekat kasir. “Baca doa dulu!” perintahku pada Wildan yang sedang mengaduk-aduk Mie Ayam. “Pasti.” Beberapa saat kemudian .... “Tuhkan kurang enak, Mir,” bisik Wildan. “Masa sih?” Aku pun mengaduk-aduk Mie Ayamnya. Setelah menambahkan sedikit sambal, lalu menyantapnya. Ehem! “Nah kan ....” Wildan tersenyum. “Kali ini lu salah, Mir,” sambungnya. Lagi-lagi aku berdehem, merasakan seperti ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokan. Sudah kucoba meminum beberapa teguk teh, tapi rasa gatalnya belum juga hilang. Curiga, aku memfokuskan padangan pada mangkuk mie di hadapanku. “Rambut?” pikirku ketika melihat ada beberapa helai rambut di mangkuk mie. Aku mengaduknya perlahan. Ternyata jumlahnya lumayan banyak. Spontan aku menoleh ke kiri dan kanan melihat situasi resto. “Ah ... pantesan,” gumamku. “Napa, Mir?” “Kagak.” Aku membaca doa sambil memegang memegang ujung meja. Seketika itu rambutnya menghilang. “Coba lu makan lagi,” pintaku pada Wildan. “Gak enak, Mir. Dagingnya bau, entar gw muntah gimana?” Wildan menolak. “Percaya sama gw, coba lagi. Nih liat gw aja makan.” Wildan pun akhirnya menurut dan kembali memakan Mie Ayam itu. “Loh kok?” “Enak kan?” “Iya ... rasanya bisa berubah, aneh banget.” Wildan melanjutkan makan. “Nanti gw ceritain,” balasku ikut melanjutkan makan. * Selesai makan, kami langsung beranjak dari tempat duduk. “Dan, biar gw aja yang bayar,” ucapku sambil berdiri. “Asik ... tumben.” Wildan ikut berdiri. “Ya gak apa-apa, ada yang musti gw omongin sama ibu-ibu itu.” Aku mengarahkan pandangan pada seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di balik meja kasir. “Ya udah, gw duluan ya. Mau beli Pop Ice.” “Ya ampun ... tapi lu gak mau tau, Dan?” “Enggak ah, takutnya malah mual ntar.” Wildan pun berjalan ke luar resto, sedangkan aku sudah berdiri di depan kasir. Ibu kasir sudah menyambutku dengan senyuman hangat. Aku membuka dompet dan memberika satu lembar uang 100.000. “Bu, boleh saya tanya?” ucapku sambil menunggu uang kembalian. “Ya, ada apa, Dek?” “Udah berapa lama restonya sepi?” “Beberapa bulan terakhir ini agak sepi. Langganan yang biasa datang juga udah gak pernah kemari,” ucap Ibu itu sambil memegang uang kembalianku. “Ini Dek kembaliannya.” Ibu itu memberikan kembalian. “Hmm ... maaf nih, Bu. Kayanya resto ibu ada yang jailin,” ucapku blak-blakan. “Ibu juga merasa begitu. Banyak yang makan di sini komplen. Ada yang bilang dagingnya bau dan busuk, padahal selalu baru. Rasa Mie dan bumbunya juga katanya hambar dan gak enak. Padahal dari dulu resepnya selalu sama.” Ibu itu menjelaskan dengan mata berkaca-kaca. “Intinya, ada yang menyimpan sesuatu di sini. Supaya resto ibu tidak laku. Ibu gak perlu cari tau siapa orangnya. Yang jelas, sekarang ibu harus berusaha mengusirnya.” “Gimana caranya, Dek?” “Setiap hari, ibu siapkan satu ember air. Terus dibacain al Fatiha, ayat kursi dan tiga Qul. Setiap selesai membaca satu kali, tiupkan ke embernya. Lakukan sebanyak tiga kali. Sebagai bonusnya, ibu baca atau putar murotal Qur’an khusus surat Al Baqarah juga. Nanti, airnya bisa dipergunakan untuk mengepel lantai restonya. Lakukan rutin, insya Allah, jin negatifnya gak bakal betah.” “Wah ... makasih banyak, Dek.” “Sama-sama, Bu.” Aku pun berlalu ke luar resto. * “Wildan kemana ya?” ucapku dalam hati sembari berjalan mengelilingi resto. Ting! Ada pesan Whatsapp dari Wildan. [Mir, gw udah ada di mobil] [Loh? Kagak jadi beli Pop Ice?] [Kagak, malu gw banyak bocah] [Wkwkwkwk] Aku pun berjalan menuju parkiran. Wildan sudah menungguku di balik setir mobil. “Gimana, Mir?” tanyanya ketika aku masuk ke dalam mobil. “Beres.” Aku tersenyum lebar. “Emang tadi kenapa sih? Kok bisa begitu?” “Ih ... tadi katanya gak mau tau.” “Kepo juga gw, Mir.” Wildan pun tertawa. “Resto tadi ternyata dikerjain sama orang.” “Dikerjain gimana?” “Ada orang yang mau bikin resto itu gak laku.” “Terus ....” “Nah orang itu, nyimpen sesuatu di sana.” “Nyimpen apaan?” “Pocong.” “Ish ... ngeludah?” “Kagak, kalau ngeludah sih makanannya jadi enak, kaya ....” “Kaya apa?” “Kaya resto di sebrangnya,” “Oh pantesan lu kagak mau makan di sana. Tapi biasanya kan ngeludah tuh Poci.” “Yang ini enggak, dia cuman diem doang deket tempat godokan mie. Terus ngibas-ngibasin rambutnya.” “Dih ... emang pocong ada rambutnya? Pan ketutupan sama kain kafan.” “Lu juga kalau pake topi, masa gw bilang gak ada rambut.” Wildan pun tertawa. “Terus sama lu diapain?” tanya Wildan. “Lu tadi liat gw doa sambil megang meja?” “Iya.” “Nah itu gw lagi ngusir tuh Poci, balik ke yang ngirimnya.” “Emang lu tau yang ngirimnya siapa?” “Lah tadi kan lu mau makan di sana.” “Oooh ... okay, pantesan.” Percakapan selesai, kami pun pergi meninggalkan Pujasera dengan hati yang senang. SEKIAN

Share:

Selasa, 10 Agustus 2021

Jambak Rambut Kuntilanak

Cerita Horor
Jambak Rambut Kuntilanak (Penyelusuran ke Sarang Kuntilanak). “Mir, temenin gw yuk!” ajak Hendra yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarku. “Kemana?” “Jalan-jalan ajalah, yuk!” “Malem-malem? Jalan-jalan kemana nih?” tanyaku. “Temenin gw penyelusuran.” “Bilang kek dari tadi, duh gw lagi mager banget, Hen.” “Ayolah, lu temenin aja, gak usah ngapa-ngapain.” “Ujung-ujungnya, gw lagi yang kena kan?” Hendra pun cengengesan. “Ayo, Mir! Bantuin temen lah.” “Jawab dulu, mau penyelusuran kemana?” “Ke Rumah Kosong di Jalan Gading, tau kan lu?” “Ya.” “Katanya banyak Kuntilanaknya, gw pengen tau bener atau gak.” “Hadeh, gak ada kerjaan amat dah.” “Yuk, yuk, ntar gw kasih sesajen.” ”OK! Nasi Bebek Penyet Komplit ya. Deal?” “Sip,” balas Hendra sambil mengangkat jempolnya. “Gw siap-siap dulu bentar, hus!” * Aku pun ke luar kosan. Di parkiran, Hendra sudah berdiri menungguku. “Udah, Mir?” tanyanya. “Hayu lah.” “Lu bawa siapa, Mir?” “Gak bawa siapa-siapa, lah katanya tadi gw gak usah ngapa-ngapain.” “Kalau ada apa-apa gimana?” “Ya ... ntar juga pada datang sendiri.” Dilema memang, kalau mengajak Tebo nanti Kuntilanaknya malah dipinang. Terus ... dibawa ke pohon nangka di samping kosan. Ujung-ujungnya tiap malem pada berisik. Tidak jarang malah mengintip penghuni kosan pas lagi mandi. Kalau bawa Si Hitam atau Si Kingkong, bisa-bisa belum mulai sudah pada bubar duluan. Atau ... malah bikin rusuh, kaya kejadian di penyelusuran sebelumnya. Jadi, kali ini biar aku sendiri saja, toh cuman Kuntilanak. Hendra mengajakku berjalan ke jalan utama. Disana sudah ada sebuah mobil minibus, terparkir di pinggir jalan. Terlihat beberapa orang sudah menunggu kehadiran kami. “Banyak juga ya?” tanyaku. “Berdelapan, sama lu.” Setelah memperkenalkan diri, aku pun langsung masuk ke dalam mobil, duduk di kursi paling belakang, di samping Hendra. * “Mas, kata Hendra penyelusuran terakhir rusuh ya?” tanya salah satu teman Hendra, sebut saja Saiful. “Iya,” balasku. “Itu gara-gara apa, Mas?” Tidak mungkin aku bilang, itu semua karena ulang Si Kingkong melepaskan beberapa Jin anak kecil yang disekap oleh Jin Pesugihan. “Ada yang sompral dan songong, jadi pada marah,” balasku. “Saran gw sih, nanti jangan ada yang sompral. Jaga sopan santun. Takutnya nanti ada yang ikut pulang kan berabe,” sambungku. “Iya, Mas.” * Kami pun sudah tiba di lokasi penyelusuran. Sebuah rumah megah yang sudah lama terbengkalai. Rumahnya memilki dua lantai. Cat temboknya sudah kotor menghitam dan hampir semua jendelanya sudah pecah. Dari pagar depan sampai teras depan, sudah ditumbuhi ilalang. Jujur, aku lebih takut bertemu ular daripada penghuni rumah ini. “Gimana, Mir?” tanya Hendra. “Gimana apanya?” Aku bertanya balik. “Rumahnya lah, rame gak?” “Oh ... ya mayan sih, tadi udah ada yang duduk atas atap sama balkon,” balasku. “Kunti?” “Huuh.” Kami semua pun masuk ke dalam. Hawanya terasa sangat dingin sekali. Tiba-tiba, suasananya berubah menjadi lebih pengap. Beberapa anggota penyelusuran sudah mulai merasakan perubahan itu. “Merinding banget gw,” ucap salah satu anggota. Aku pun hanya tersenyum mendengar reaksi mereka. Saiful mulai mengeluarkan kamera dari dalam tasnya, merekam situasi sekitar. “Oalah malah pada nge-vlog,” ucapku dalam hati. Bosan, aku mencari tempat duduk sambil menunggu mereka selesai nge-vlog. Terlihat sebuah papan kayu tergeletak dekat tembok. Tidak pakai lama, aku duduk di sana, sambil menyandarkan punggung ke tembok. • “Ada apa sih rame-rame.” Terdengar suara wanita dari plafon yang bolong. “Iya,” sahut suara wanita lainnya. “Ih, cakep banget.” “Aku mau yang itu ah ....” “Itu cakep juga, yang duduk di deket tembok.” Aku pun menengadah, terlihat beberapa Kuntilanak sedang duduk di plafon yang bolong, sambil ongkang-ongkang kaki. “Eh, dia liat kemari, hihihihi,” ucap salah satu Kuntilanak diiringi tawa genitnya. “Ya Allah, udah mati aja mati begitu, gimana pas hidup,” ucapku dalam hati. Jumlahnya tidak hanya satu atau dua, tapi sudah puluhan Kuntilanak berkumpul, mengelilingi kami. Sebagian besar duduk di plafon dan tangga. Salah satu Kuntilanak mulai melayang-layang di atas kepala Hendra. “Jangan ganggu dia, nanti ada yang marah,” ucap salah satu Kuntilanak yang lebih senior. Dia sedang duduk di dekat tangga, matanya terus menatap ke arah Hendra. Aku hanya bisa tertawa geli, melihat tingkahnya. “Yang ini aja, deh.” Kuntilanak itu terbang ke salah satu anggota dan memeluknya dari belakang. Suara tawa ‘mereka’ pun saling bersahutan. Kuntilanak yang sedang duduk di plafon sudah mulai turun mendekati Hendra dkk. Ada yang sedang menatap dari dekat. Ada juga yang meraba-raba anggota tubuh anggota lain. “Pegel ya?” kataku pada Saiful yang sedang memegang kamera. “Iya, Mas,” balasnya. “Ada yang nyender di pundak lu tuh,” ucapku. “Yang bener, Mas?” “Iya, dua biji pula.” “Trus gimana, Mas?” “Baca doa aja dalam hati, ntar juga pergi sendiri.” Kuntilanak itu mulai tidak nyaman, sedikit demi sedikit mulai menjauh dari Saiful. • “Ih ... kayanya dia bisa liat kita deh,” keluh Kuntilanak itu. “Masa sih?” balas Kuntilanak lainnya. “Coba kamu cek!” perintah Si Kuntilanak Senior. Salah satu Kuntilanak mulai melayang ke arahku. Dia melambai-lambaikan tangannya, tepat di depan wajahku. Aku tak bergeming, berpura-pura tidak melihat. Setelah itu, dia mulai mengibas-ngibaskan rambut panjang ke wajahku, geli rasanya. Lagi-lagi, aku berusaha menahannya. “Kayanya gak bisa liat,” ucap Kuntilanak itu lalu melayang menjauh dariku, kembali mendekati Saiful. “Masa sih?” Datang Kuntilanak lain mendekat. Dia mulai membelai-belai rambutku, menyandarkan tubuhnya yang bau itu. Aku menutup mata, berusaha konsentrasi untuk melepaskan sukma. “Nakal banget sih lu!” ucapku sambil menjambak rambutnya dari belakang. “Ah ... sakit!” teriak Kuntilanak itu. “Mangkanya gak usah iseng, mandi sana badan lu bau.” “Ampun-ampun.” Seketika suasana ruangan menjadi riuh, banyak suara saling bersahut-sahutan. “Dia bisa liat ternyata.” “Iya ... ih, kabur ah.” “Kasian Si Reni.” * “Argh ... lepasin aku, sakit tau!” ucapnya. “Pergi! Jangan ganggu, gak tau orang lagi mager apa!” “Iya ... iya.” Aku lepaskan genggaman. Kuntilanak itu langsung terbang menembus plafon. * Bau anyir bercampur busuk mulai menyeruak memenuhi ruangan. Aku sudah tau, ini pasti tanda kedatangan Kuntilanak Merah. Sepertinya Kuntilanak tadi mengadu pada pimpinannya. Tidak hanya satu, ada dua Kuntilanak Merah mulai turun dari plafon. Dari wajahnya terpancar amarah yang lumayan besar. “Pergi!” teriaknya sambil melotot ke arahku. “Hihihihi ....” Kuntilanak Merah kedua tertawa melengking. Suara tawanya sampai terdengar oleh beberapa anggota. Beberapa anggota mulai mengalami sesak nafas, karena tubuhnya dihimpit oleh anak buah Kuntilanak Merah itu. Yang lain, ada yang pusing, mual dan pundaknya berat. Dengan cepat aku berlari mendekati mereka, mengusir anak buahnya itu. “Dra, pulang sekarang!” ucapku pada Hendra yang nampak panik. “Tapi, Mas ...,” sela salah satu anggota. “Pulang sekarang atau makin parah. Pemimpinnya udah marah banget itu.” Mereka pun menurutiku, mulai membereskan barang dan ke luar dari rumah. Namun ada yang masih belum puas. Kuntilanak Merah itu masih mengejar salah satu anggota, mendorongnya hingga jatuh tersungkur. “Woi!” teriakku mambalikan badan, bertolak pinggang dan melotot pada Kuntianak Merah itu. • “Jangan macam-macam kamu anak kecil,” balasnya. “Yeeee ... mau gw kepang tuh mulut?” terdengar suara dari sosok yang aku kenal. “Tebo, ngapain lu dimari?” tanyaku pada Sosok Genderuwo itu. “Disuruh Si Macan, padahal gw lagi asik tidur tadi.” “Hey! Tadi apa lo bilang? Badan borokan gitu, mau gw cakar-cakar?” ancam Tebo pada Kuntilanak Merah itu. “Beuh, kaya kulit lu halus aja, Bo,” ucapku. “Diem, Mir!” balasnya. “Anak ini udah ganggu kami, dia juga melukai anak buahku,” balas Kuntilanak Merah itu. “Emang lu apain anak buahnya, Mir?” bisik Si Tebo. “Gw jambak, abis ganggu banget.” Si Tebo pun tertawa. “Pergi, jangan balik kesini lagi!” ucap Kuntilanak Merah. “Iya, ini udah mau pulang, lu malah dorong temen gw,” balasku. “Cepat pergi!” “Cerewet bener ini cewek jelek, Mir. Gw iket di pager aja gimana?” ucap Si Tebo. “Jangan, ntar kalau ada orang lewat kasian.” “Ya udah, sip. Dah balik, ntar makin rame. Gw lagi males buang-buang energi lawan beginian. Mau lanjut tidur lagi.” “Awas ya, kalau ada anak buah lu yang ngikut. Gw makan ntar,” ancam Si Tebo pada Kuntilanak Merah itu. Kuntilanak yang tadi menonton di balkon dan atap, langsung berhamburan masuk ke dalam rumah. • “Gimana, Mir?” tanya Hendra. “Aman, gak ada yang ngikut kok.” “Udah pada enakan?” tanyaku pada semua anggota penyelusuran. “Alhamdullilah, Mas. Udah gak mual sama pusing lagi,” balas Saiful. “Sebelum pulang baca doa dulu.” Kami semua sudah masuk ke dalam mobil. Pergi meninggalkan lokasi penyelusuran itu. “Mir, tadi kenapa sih sampe marah?” tanya Hendra. “Hmm ....” Aku tidak bisa mengungkap alasannya. Kan aneh, masa gara-gara aku menjambak rambut Kuntilanak. “Mereka keganggu aja sama kehadiran kalian,” ucapku. “Owh begitu, emang lu gak minta izin dulu, Mir?” “Enggak,” balasku cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. “Pantesan.” SEKIAN .
Share:

Apa Salah Saya?

 

Cerita Horor
Apa Salah Saya? Daritadi aku hanya duduk di teras sembari memainkan ponsel. Jemariku naik-turun di atas layar ponsel. Untuk me-refresh halaman grup literasi. Mencari cerita seru yang inginku baca malam ini. Sampai akhirnya kutemukan satu cerita dan mulai membacanya. “Apa salah saya?” tanya sesosok makhluk hitam kehijauan yang berdiri di pojokan. Dia berjalan mendekat dengan sorot mata tajam dan merah menyala. “Eh, kamu,” ucapku menyambut sosok itu. “Kenapa kamu tidak melanjutkan membaca ceritanya?” tanyanya yang sudah berdiri di sampingku. “Mangkanya jangan ganggu.” Kulanjutkan membaca beberapa baris tulisan itu. “Apa salah saya?” tanyanya lagi. Aku meliriknya. Mulutnya menganga, menunjukan deretan gigi tajam. Lalu, memamerkan kukunya yang panjang. “Kenapa kamu marah?” tanyaku heran dengan tingkahnya itu. “Saya kesal mendengar cerita itu.” Ah ... aku lupa kalau mereka bisa mendengar ketika membaca dalam hati. “Apa yang membuatmu kesal?” “Dia bilang kami itu jahat dan menyeramkan,” ucapnya. Dengusan nafasnya semakin terdengar jelas. Aduh, sepertinya dia lupa dengan dirinya sendiri. “Tapi ... memang kalian itu menyeramkan. Lihat saja di kaca jendela! Seseram apa wajahmu itu.” Dia melihat kaca jandela. “Seramkan?” “Tidak!” “Bagimu tidak, tapi bagi kami iya.” “Lalu, kenapa kami dibilang jahat?” “Hmm ....” Aku berpikir sejenak, mencari jawaban atas pertanyaannya itu. “Bangsamu sering mengganggu bangsaku. Malahan kamu pernah mencoba membunuhku kan?” balasku. “Itu ketika saya masih mengikuti perintah dukun, tapi sekarang tidak lagi.” “Nah ... masih banyak bangsamu yang bekerja untuk dukun. Dan mengganggu kehidupan kami.” “Padahal bangsamu itu yang mengganggu kami lebih dulu,” ucap Sosok Hitam itu. “Maksudmu?” “Kami ini bangsa berumur panjang. Hidup kami damai sebelum bangsamu datang. Dulu ... kami tinggal di pohon-pohon tua. Tanpa pernah mengganggu bangsamu sedikit pun. Semenjak bangsamu datang, mulailah terjadi gesekan. Sampai akhirnya, mereka mengusir kami. Lalu ... menebang pohon itu. Padahal kami hanya bermaksud menjaga sumber kehidupan mereka,” jelasnya. “Kasian juga kamu,” ucapku. “Tidak sampai disitu! Mereka menangkap beberapa anggota keluarga saya. Termasuk anak kesayangan saya. Lalu ....” “Lalu apa?” tanyaku sembari memperhatikan raut wajahnya yang mulai berubah. Aku pun mulai merasakan ada kesedihan yang mendalam. “Mereka membunuh anak saya.” “Kejam sekali.” “Jadi siapa yang jahat?” tanyanya. “Bangsamu juga jahat. Sering membunuh bangsaku. Apakah kamu pernah menghitung? Berapa banyak nyawa yang sudah kamu ambil selama bersekutu dengan dukun itu?” Sosok menyeramkan itu terdiam. “Saya terpaksa. Dukun itu menahan istri dan anak saya. Jika saya tidak mengikuti perintahnya, maka kami semua akan dibunuh.” “Sekarang dimana istri dan anakmu?” “Mereka berdua sudah dibunuh oleh dukun itu. Gara-gara saya mengikutimu.” “Duh kasihan sekali.” * “Sekarang giliranku bertanya, apa benar yang diceritakan orang-orang. Kalian suka meniduri seorang wanita, bahkan hingga hamil?” tanyaku pada Sosok Hitam itu. “Menurutmu? Apa kami bisa melakukan itu?” “Bisa. Kalian diberi kemampuan untuk berubah wujud menjadi manusia.” “Saya tidak pernah berbuat seperti itu!” “Bukan kamu, tapi yang lain.” “Mungkin, tapi itu jarang terjadi. Lagian apa salah kami? Wanita-wanita itu tidak membentengi dirinya. Mudah sekali terkena tipu daya. Malahan banyak yang berbohong.” “Berbohong?” “Mereka mengaku dihamili bangsaku. Padahal itu ulah bangsamu sendiri. Hanya untuk menutupi perbuatan buruknya, lalu seenaknya memfitnah kami.” “Hahaha ... ada-ada saja,” balasku disertai tawa. “Terus, kenapa bangsamu sering sekali masuk ke dalam rumah. Lalu, mengganggu penghuni di dalamnya,” imbuhku. “Kami hanya ingin mencari tempat tinggal. Mengisi ruang-ruang kosong di rumah kalian. Yang bahkan kalian sendiri jarang sekali menempati atau membersihkannya.” “Hmm ... kenapa kalian tidak mencari tempat di hutan atau gunung saja? Agar tidak menganggu kami. Dan kecil kemungkinan ditangkap atau dibunuh.” “Kamu pikir pindah ke sana itu mudah?” “Kan tinggal terbang saja, sebentar juga sampai.” “Tidak bisa seperti itu. Hutan atau gunung memiliki penjaga. Kami tidak bisa sembarang masuk ke dalam. Kecuali ada seseorang yang meminta izin dan membawa kami ke sana.” “Membawa gimana?” “Menggendong kami sampai ke sana, hahaha,” sosok Hitam itu tertawa. “Stt ... sudah kubilang jangan tertawa di rumahku. Jika tetangga dengar nanti akan heboh.” “Maaf.” “Kenapa harus digendong?” “Begitulah syaratnya jika ingin memindahkan kami secara baik-baik.” “Repotnya, badan sebesar itu pasti sangat berat.” “Haha ....” Aku melotot ke arahnya, agar berhenti tertawa. “Maaf, saya lupa.” “Mau kemana kamu?” tanyaku ketika melihatnya terbang menjauhiku. “Berbicara denganmu menghabiskan energiku. Saya lapar, mau mencari makan.” “Aku tidak akan memberimu makan.” “Saya sudah tau, lihat saja daritadi Macan itu terus melotot ke arahku.” “Ya cari saja makanan di tong sampah. Jangan sampai terlihat oleh orang lain.” “Ih ... saya tidak mau berebut makanan dengan makhluk kecil itu,” ucapnya sambil menoleh ke arah kucing orange yang lewat di depan rumah. “Terus kamu mau makan apa?” “Bolehkah saya memakan Kuntilanak di atap rumahmu itu?” “Jangan, dia tidak mengganggu. Cari yang lain saja. Yang sering mengganggu warga sini.” “Baiklah.” Sosok Hitam itupun menghilang dari hadapanku. SEKIAN

Share:

Senin, 09 Agustus 2021

Mati Sendirian

 

Cerita Horor
Mati Sendirian. “Nek ... jangan di sini,” ucapku sembari menatap seorang nenek berpakaian lusuh dan kotor penuh dengan tanah. “Apa salah saya, Nak?” “Nenek gak salah apa-apa.” “Lantas, kenapa semua pergi meninggalkan saya?” Kutatap wajahnya. Ada gurat kesedihan yang amat dalam. Bahkan sedikit demi sedikit mulai aku rasakan. “Tapi Nek ... kasian teman saya kalau nenek tetap di sini.” “Apa aku ibu yang jahat?” “Nenek bukan ibu yang jahat.” “Kenapa anak saya pergi?” * Gambaran demi gambaran muncul. Sampai pada masa dimana nenek itu masih muda. Mungkin lebih dari setengah abad lalu. Jauh sebelum kos-kosan ini dibangun. Seorang ibu sedang menjajakan dagangannya. Sebuah tampah ditaruh di atas kepalanya penuh dengan berbagai jenis kue. Tangan kanannya membawa jinjingan rotan. Sedangkan tangan kirinya menggenggam tangan seorang anak kecil. Ada kain batik mengitari tubuhnya. Kain itu dilebarkan, agar bayi mungil itu bisa tidur dengan nyaman. Sungguh wanita yang kuat, berjualan sambil membawa kedua anaknya. Menjelang magrib, dia sudah kembali ke rumah. Sebuah rumah yang terbuat dari bilik bambu yang mulai menghitam. Sebagian atap rumahnya pun terlihat nyaris ambruk. Dia hanya hidup bertiga, dengan kedua anaknya yang masih kecil itu. Tanpa suami. Yang pergi entah kemana. Hari demi hari mereka lalui dengan hidup sangat sederhana. Tidur beralaskan tikar. Untuk makan sehari-hari tergantung upah hasil berjualan kue. Jika tak ada uang, dia akan memakan ketela yang ditanam di belakang rumahnya. * Singkat cerita, sang anak sulung kini sudah beranjak dewasa. Dia meminta izin untuk pergi merantau ke kota. Demi kehidupan yang lebih layak. Dengan berat hati, nenek itu melepaskan kepergiannya. Kini hanya tinggal dia dan si Bungsu. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Tak terasa, sudah hampir tiga tahun nenek itu belum bersua dengan anak sulungnya. Setiap malam, dia duduk di bangku kayu, di teras rumahnya. Menantikan kepulangan anak sulungnya itu. Namun dia tak juga kembali. Dia hanya bisa memendam rasa rindunya itu selama bertahun-tahun. Waktu berlalu begitu cepat, sampai anak bungsunya pun sudah tumbuh dewasa. Dia meminta izin untuk pergi merantau. Mengikuti jejak kakaknya. Dengan tegas, nenek itu menolak. Khawatir dia pun tak kembali seperti kakaknya. Namun anaknya itu bersikukuh untuk tetap pergi. Akhirnya nenek itu tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa melepas anaknya untuk mencari kehidupan di kota. Keseharian nenek itu hanya duduk melamun di teras. Menunggu kedua anaknya yang tak kunjung pulang. Tubuhnya yang semakin menua sudah mulai menghambat aktifitasnya. Dia tak lagi bisa berjualan, hanya mengharap belas kasihan tetangganya. Memendam rasa rindu yang teramat dalam sungguh menyakitkan. Penyakit pun mulai berdatangan, menghinggapi tubuhnya yang semakin kurus. Bahkan untuk berjalan saja sudah sangat sulit. Malam itu, mungkin bisa dibilang malam terakhir di hidupnya. Tubuhnya demam tinggi dan mengigil. Dalam keadaan setengah sadar, berkali-kali dia menyebut nama kedua anaknya. Dia pun berusaha bangkit. Dengan sekuat tenaga menyeret tubuhnya ke pintu depan. Berharap ada seseorang yang menolongnya. Namun ... belum sampai di depan pintu. Tubuhnya sudah roboh, tak kuat lagi menahan sakit. Nafasnya perlahan-lahan memendek, diikuti pandangan yang kian meredup. Nenek itu akhirnya meninggal. Mati sendirian, tanpa kehadiran orang-orang terdekatnya. Jiwanya sudah pergi, tapi tidak dengan Qorinnya. Sepeninggalannya, sering terdengar suara isak tangis dan meminta tolong dari dalam rumah. Warga pun kerap kali melihat sosok yang menyerupai Nenek itu sedang duduk di teras rumahnya. Karena membuat resah, akhirnya warga sepakat untuk merobohkan rumah itu. Yang lambat laun berubah menjadi lahan kosong. Dan kini telah berdiri kos-kosan tempat Hendra tinggal. * Tak terasa air mataku menetes, melihat ‘flashback’ yang menyedihkan itu. “Napa lu, Mir? Kelilipan?” tanya Hendra heran. “Iya, kelilipan sendal,” balasku. “Abisnya tumben nangis.” “Kagak! Ini cuman keringet,” elakku. “Ah bohong!” “Ya udah, si Nenek gw biarin di sini aja ya?” ancamku. “Dih ... ngambek. Pindahin dong, Mir! Gw takut.” Ya ... untuk orang yang awam, sosoknya memang mengerikan. Begitu pula Hendra, yang belum lama ini bisa melihat ‘mereka’. Padahal di balik wajahnya yang menyeramkan itu, tersimpan sebuah cerita yang sangat menyedihkan. Sehingga ada rasa tak tega untuk mengusirnya pergi. “Ya bentar gw coba negosiasi, mau gak si Nenek pindah. Kalau gak mau ya nasib dah, Hen. Setidaknya lu ada yang nemenin di kamar.” “Jangan gitu lah, Mir.” Aku kembali berkomunikasi dengannya. Setelah negosiasi yang cukup alot. Akhirnya nenek itu mau pindah ke tempat yang agak jauh. Supaya tidak mengganggu penghuni kosan, terutama Hendra. SEKIAN

Share: