Apa Salah Saya? Daritadi aku hanya duduk di teras sembari memainkan ponsel. Jemariku naik-turun di atas layar ponsel. Untuk me-refresh halaman grup literasi. Mencari cerita seru yang inginku baca malam ini. Sampai akhirnya kutemukan satu cerita dan mulai membacanya. “Apa salah saya?” tanya sesosok makhluk hitam kehijauan yang berdiri di pojokan. Dia berjalan mendekat dengan sorot mata tajam dan merah menyala. “Eh, kamu,” ucapku menyambut sosok itu. “Kenapa kamu tidak melanjutkan membaca ceritanya?” tanyanya yang sudah berdiri di sampingku. “Mangkanya jangan ganggu.” Kulanjutkan membaca beberapa baris tulisan itu. “Apa salah saya?” tanyanya lagi. Aku meliriknya. Mulutnya menganga, menunjukan deretan gigi tajam. Lalu, memamerkan kukunya yang panjang. “Kenapa kamu marah?” tanyaku heran dengan tingkahnya itu. “Saya kesal mendengar cerita itu.” Ah ... aku lupa kalau mereka bisa mendengar ketika membaca dalam hati. “Apa yang membuatmu kesal?” “Dia bilang kami itu jahat dan menyeramkan,” ucapnya. Dengusan nafasnya semakin terdengar jelas. Aduh, sepertinya dia lupa dengan dirinya sendiri. “Tapi ... memang kalian itu menyeramkan. Lihat saja di kaca jendela! Seseram apa wajahmu itu.” Dia melihat kaca jandela. “Seramkan?” “Tidak!” “Bagimu tidak, tapi bagi kami iya.” “Lalu, kenapa kami dibilang jahat?” “Hmm ....” Aku berpikir sejenak, mencari jawaban atas pertanyaannya itu. “Bangsamu sering mengganggu bangsaku. Malahan kamu pernah mencoba membunuhku kan?” balasku. “Itu ketika saya masih mengikuti perintah dukun, tapi sekarang tidak lagi.” “Nah ... masih banyak bangsamu yang bekerja untuk dukun. Dan mengganggu kehidupan kami.” “Padahal bangsamu itu yang mengganggu kami lebih dulu,” ucap Sosok Hitam itu. “Maksudmu?” “Kami ini bangsa berumur panjang. Hidup kami damai sebelum bangsamu datang. Dulu ... kami tinggal di pohon-pohon tua. Tanpa pernah mengganggu bangsamu sedikit pun. Semenjak bangsamu datang, mulailah terjadi gesekan. Sampai akhirnya, mereka mengusir kami. Lalu ... menebang pohon itu. Padahal kami hanya bermaksud menjaga sumber kehidupan mereka,” jelasnya. “Kasian juga kamu,” ucapku. “Tidak sampai disitu! Mereka menangkap beberapa anggota keluarga saya. Termasuk anak kesayangan saya. Lalu ....” “Lalu apa?” tanyaku sembari memperhatikan raut wajahnya yang mulai berubah. Aku pun mulai merasakan ada kesedihan yang mendalam. “Mereka membunuh anak saya.” “Kejam sekali.” “Jadi siapa yang jahat?” tanyanya. “Bangsamu juga jahat. Sering membunuh bangsaku. Apakah kamu pernah menghitung? Berapa banyak nyawa yang sudah kamu ambil selama bersekutu dengan dukun itu?” Sosok menyeramkan itu terdiam. “Saya terpaksa. Dukun itu menahan istri dan anak saya. Jika saya tidak mengikuti perintahnya, maka kami semua akan dibunuh.” “Sekarang dimana istri dan anakmu?” “Mereka berdua sudah dibunuh oleh dukun itu. Gara-gara saya mengikutimu.” “Duh kasihan sekali.” * “Sekarang giliranku bertanya, apa benar yang diceritakan orang-orang. Kalian suka meniduri seorang wanita, bahkan hingga hamil?” tanyaku pada Sosok Hitam itu. “Menurutmu? Apa kami bisa melakukan itu?” “Bisa. Kalian diberi kemampuan untuk berubah wujud menjadi manusia.” “Saya tidak pernah berbuat seperti itu!” “Bukan kamu, tapi yang lain.” “Mungkin, tapi itu jarang terjadi. Lagian apa salah kami? Wanita-wanita itu tidak membentengi dirinya. Mudah sekali terkena tipu daya. Malahan banyak yang berbohong.” “Berbohong?” “Mereka mengaku dihamili bangsaku. Padahal itu ulah bangsamu sendiri. Hanya untuk menutupi perbuatan buruknya, lalu seenaknya memfitnah kami.” “Hahaha ... ada-ada saja,” balasku disertai tawa. “Terus, kenapa bangsamu sering sekali masuk ke dalam rumah. Lalu, mengganggu penghuni di dalamnya,” imbuhku. “Kami hanya ingin mencari tempat tinggal. Mengisi ruang-ruang kosong di rumah kalian. Yang bahkan kalian sendiri jarang sekali menempati atau membersihkannya.” “Hmm ... kenapa kalian tidak mencari tempat di hutan atau gunung saja? Agar tidak menganggu kami. Dan kecil kemungkinan ditangkap atau dibunuh.” “Kamu pikir pindah ke sana itu mudah?” “Kan tinggal terbang saja, sebentar juga sampai.” “Tidak bisa seperti itu. Hutan atau gunung memiliki penjaga. Kami tidak bisa sembarang masuk ke dalam. Kecuali ada seseorang yang meminta izin dan membawa kami ke sana.” “Membawa gimana?” “Menggendong kami sampai ke sana, hahaha,” sosok Hitam itu tertawa. “Stt ... sudah kubilang jangan tertawa di rumahku. Jika tetangga dengar nanti akan heboh.” “Maaf.” “Kenapa harus digendong?” “Begitulah syaratnya jika ingin memindahkan kami secara baik-baik.” “Repotnya, badan sebesar itu pasti sangat berat.” “Haha ....” Aku melotot ke arahnya, agar berhenti tertawa. “Maaf, saya lupa.” “Mau kemana kamu?” tanyaku ketika melihatnya terbang menjauhiku. “Berbicara denganmu menghabiskan energiku. Saya lapar, mau mencari makan.” “Aku tidak akan memberimu makan.” “Saya sudah tau, lihat saja daritadi Macan itu terus melotot ke arahku.” “Ya cari saja makanan di tong sampah. Jangan sampai terlihat oleh orang lain.” “Ih ... saya tidak mau berebut makanan dengan makhluk kecil itu,” ucapnya sambil menoleh ke arah kucing orange yang lewat di depan rumah. “Terus kamu mau makan apa?” “Bolehkah saya memakan Kuntilanak di atap rumahmu itu?” “Jangan, dia tidak mengganggu. Cari yang lain saja. Yang sering mengganggu warga sini.” “Baiklah.” Sosok Hitam itupun menghilang dari hadapanku. SEKIAN
0 Comment:
Posting Komentar