Senin, 02 Agustus 2021

Menabur Garam di Atas Luka

Cerita Horor

Menabur Garam di Atas Luka. Sebagai penjual pecel sayur, rutinitasku selalu sama setiap harinya. Sebelum subuh, aku harus menimba air untuk keperluan mandi anak-anak. Kemudian, menyiapkan pakaian mereka dan menulis daftar belanjaan sambil menunggu adzan subuh. Setelah sholat subuh, aku berangkat ke pasar, untuk membeli bahan dagangan. Berjalan menyelusuri jalan kampung yang berbatu dan licin karena hujan semalam. Udaranya sejuk sekali. Matahari pun baru bangun dari tidurnya. Aku terus berjalan, hingga ke jalan utama yang beraspal. Lalu berdiri di pinggir jalan, menunggu angkutan umum yang memiliki rute melewati pasar. Tidak lama kemudian, angkutan umum (angkot) berwarna kuning berhenti di hadapanku. Sepertinya angkotnya baru keluar, soalnya tidak ada penumpang lain di dalam. Aku pun naik dan duduk di dekat jendela yang terbuka. Kupandangi jalan raya yang masih sepi. Dari jendela, angin mulai bertiup sangat kencang, menandakan laju angkot yang semakin kencang. Kututup jendela, kemudian mengambil catatan belanjaan dari dalam kantong celana. Mengecek satu persatu daftar belanjaan, agar tidak ada yang terlewat. Tidak ada penumpang lain yang naik, sampaiku tiba di tempat tujuan. Kondisi pasar selalu ramai setiap paginya. Aku berjalan menuju penjual sayur langganan. Serta membeli bahan-bahan untuk membuat sambal kacang dan bakwan. Setelah itu langsung pulang ke rumah. * Pukul enam pagi, aku sudah kembali ke rumah. Kedua anakku sudah bersiap-siap berangkat ke sekolah. Anak pertamaku, Rayhan, duduk di kelas tiga SMP. Sedangkan anak kedua, Abdul, baru kelas 4 SD. Aku memberikan sepotong roti dan segelas susu untuk mereka sarapan. Lalu memberikan uang jajan. Walaupun jumlahnya tidak besar, tapi mereka sama sekali tidak pernah protes. Aku pergi ke dapur untuk mempersiapkan dagangan. Mulai dari merebus sayuran, menggoreng kacang dan membuat adonan bakwan. Sebelum berangkat, anak-anak menghampiriku di dapur. Lalu mereka mencium tanganku. Entah kenapa, hari ini aku ingin memeluk mereka. Kupeluk mereka satu persatu. Nampak sekali wajah mereka heran dengan tingkahku ini. Lalu mengantar mereka sampai ke pintu depan. Mereka pun pergi, berjalan menjauh dari rumah. Mataku terus tertuju pada mereka, sampai hilang dari pandangan. Aku duduk di teras dengan pikiran menerawang jauh, membayangkan masa depan anak-anakku. Ada perasaan gembira sekaligus cemas, ketika memikirikan Rayhan. Gembira, karena sebentar lagi dia masuk SMA, berharap nasibnya bisa jauh lebih baik dariku. Cemas, tentang biaya sekolahnya nanti, walaupun ada yang bilang biaya masuknya sudah gratis. Semenjak kepergian suamiku, setelah lebih dulu menghadap Allah. Aku berusaha banting tulang untuk memenuhi semua kebutuhan anakku. Setiap hari, harus berjualan pecel, keliling dari kampung ke kampung. Tak terasa butiran hangat mulai jatuh dari sudut mataku, mengingat perjuanganku selama ini. Kuusap air mata, lalu kembali ke dapur. * Aku mulai berjualan, mengelilingi kampung. Beberapa orang sudah setia menunggu kehadiranku setiap paginya. Aku terus berjalan, menjajakan dagangan, sampai di perbatasan kampung. Sebuah jalan raya yang lumayan besar. "Mbak Sari ... pecel dong," panggil seorang pelanggananku dari sebrang jalan. "Iya Mas," sahutku sambil menyebrang jalan. Ketika aku menyebrang, tiba-tiba ada motor yang melaju sangat kencang. "Mbak, awas!" Terdengar suara teriakan seseorang memperingkatkanku. Sayang, semuanya sudah terlambat. Tubuh mungilku sudah melayang, hingga mendarat di aspal jalan. Aku tergeletak, bersimbah darah. Tubuhku seakan remuk. Kepala pun terasa sakit sekali. Aku mencoba menggerakan tubuh, tapi tidak bisa. Kaki mulai terasa dingin. Sayup- sayup terdengar seseorang memanggil namaku. Namun, rasa dingin ini terus menjalar ke seluruh tubuh. Aku mulai kesulitan bernafas. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap gulita. * Ada cahaya terang menyorot kedua mata. Aku membuka mata, tidak ingat apa yang terjadi. Tersadar, posisiku sudah berdiri di pinggir jalan. Terihat kerumuman orang sedang mengelilingi sesuatu. Aku berjalan mendekat. Kulihat tubuh seseorang tegeletak dan ditutupi koran. Mencoba bertanya pada orang-orang, siapa yang tertabrak, tapi tidak ada jawaban. Kulihat sebuah sepeda motor setengah rusak, terparkir di pinggir jalan. Di dekatnya ada seorang pria yang terbaring di trotoar. Kulihat sekelilingnya, banyak sayuran tercecer di tengah jalan, serta tumpahan sambal kacang. Bukannya itu daganganku? Mobil ambulan pun datang, mengangkat tubuh orang itu. Tak sengaja koran yang menutupi wajahnya terbang teriup angin. Itu aku! Ya ... itu aku. Apakah aku sudah mati? Aku sangat terkejut, tidak bisa menerima semua ini. Rasanya lemas sekali, air mata mengalir. Lalu terduduk lesu, menangisi nasib yang malang ini. Ada rasa marah dan dendam yang tumbuh di diriku. Aku lihat orang-orang sedang membersihkan noda darah di jalan. Menyiramnya dengan air dan menaburinya dengan tanah. Sekarang, sekujur tubuhku mulai terasa sakit. Darah pun mengalir dari kepalaku, membahasi sebagian wajahku. Bahkan sudah mati pun, rasa sakit ini masih belum juga hilang. Aku berusaha sekuat tenaga, mendirikan badanku. Berjalan pulang menuju rumah. Darah yang terus menetes, membasahi setiap langkahku, sampai di depan rumah. Kulihat kursi-kursi plastik berjejer, sebagiannya sudah diduduki oleh para tetangga. Aku berjalan, masuk ke dalam rumah, melihat ragaku sudah dibaringkan di ruang tamu, lengkap dengan kain putih yang menutupinya. Kulihat sekeliling, tapi tidak bisa menemukan keberadaan anakku. Kemana mereka pergi? Apa mereka masih di sekolah? Di antara suara orang-orang yang sedang membaca doa, aku mendengar suara tangis anakku. Kudatangi sumber suara itu, yang ternyata berasal dari dalam kamar. Abdul sedang menangis, memeluk guling di tempat tidur. Di sampingnya ada adik kandungku, berusaha menenangkannya. Ke mana Rayhan? Aku datangi kamarnya. Dia sedang duduk di meja belajarnya. Tatapan matanya kosong. Sesekali terlihat air mata jatuh dari pipinya. Tangan kanannya memegang sebuah foto kami bertiga di sebuah danau. Aku sama sekali tidak mengingat momen itu. Aku mendekat, memeluknya dari belakang. "Kaka yang kuat ya," bisikku, berharap dia dapat mendengarkan suara lirihku ini. Adikku memanggil Rayhan untuk ke ruang tamu, aku pun mengikutinya dari belakang. Ragaku sudah diangkat, dipindahkan ke dalam keranda. Beberapa orang mulai mengangkat kerandanya, ke luar rumah. Rayhan pun ikut mengiringi kepergianku menuju tempat peristirahatan terakhir. Aku tetap berdiri di ruang tamu. Lalu pergi ke kamarku menemani Abdul yang masih menangis. Berbaring di sampingnya, mengelus-elus rambutnya dan berusaha mengusap air matanya. Ibu! Ibu! Dalam tangisnya, Abdul terus memanggilku. Aku terus menemaninya, sampai dia tertidur. * Tiba-tiba, kepalaku terasa sangat sakit. Rasa sakit itu kini berubah menjadi perih. Tak kuat, aku pun menjerit kesakitan. Sebuah bayangan muncul. Sekelompok pemuda sedang menaburkan serbuk berwana putih (garam) di atas noda darah yang masih tersisa di jalan. Mataku memerah, melihat perbuatan mereka. Apa salahku sampai mereka menyiksaku seperti ini? Kuperhatikan wajah mereka baik-baik. Besok malamnya kudatangi mereka satu persatu-satu. Salah satu dari mereka lari tunggang-langgang, ketika melihat kehadiranku di dalam kamarnya. Yang lainnya, sampai jatuh pingsan ketika aku muncul di hadapannya. Aku menampakan diri dengan wajah yang paling menyeramkan, dengan baju berlumuran darah. Setiap malam, aku menangis di depan rumah mereka, meminta pertanggung jawaban atas perbuatannya. Bukannya menyesal dan meminta maaf, mereka malah memanggil seorang kakek tua berbaju hitam, untuk mengusirku dari lingkungan mereka. Bodoh, mereka kira itu berhasil. Setelah kakek tua itu pergi, aku datangi salah satu dari mereka. Kududuki dia ketika tidur, hingga kesulitan bernafas. Lalu kubanting pintu kamarnya, sampai dia terkencing-kencing di balik selimut. Lalu, tertawa di dekat telinganya. Rasanya puas sekali. Amarahku memuncak, ketika mereka memanggil seseorang berbaju putih. Bukannya menolongku, orang itu malah menambah rasa sakitku. Badanku terasa sangat panas dengan doa-doa yang dia ucapkan. Setelah malam itu, dendamku semakin membara. Kali ini tidak hanya pada pelaku yang menaburkan garam, tapi semua warga di kampung ini terkena imbasnya. Tengah malam, kuketuk pintu rumah mereka satu persatu. Kadang aku hanya berdiri di dekat jendela kamar yang terbuka, atau hanya duduk diam di meja makan. Itu saja sudah membuat mereka menjerit ketakutan. Rasa takut mereka itu membuatku semakin kuat. Kini aku bisa melempar perabotan dapur mereka. Aku juga bisa mendorong mereka hingga jatuh tersungkur. Orang-orang yang melewati tempat kecelakaan pun tidak luput dari terorku. Aku sering berdiri dan menangis di sana, sehingga membuat orang-orang takut melewati jalan itu. Sampai aku bertemu kamu .... * Kamu tidak sengaja melihatku yang sedang berdiri di tengah jalan. Saat melihatku, wajahmu terlihat kaget, tapi tetap berlalu melewatiku. Aku ikuti sampai ke rumahmu, tapi tidak dapat masuk ke dalamnya. Kutunggu kamu di luar rumah, sambil terus menangis dan meminta tolong. Kamu pun akhirnya ke luar rumah dan mencoba mengusirku. Namun, aku tidak pergi kemana-mana, sampai kamu mau menolongku atau sekedar mendengar keluh kesahku. Kamu pun menyerah, lalu mengizinkanku masuk ke kamar. Pada saat itulah aku menceritakan semua cerita ini, berharap kamu bisa menolongku. Kamu meminta waktu beberapa hari, untuk memberi keputusan terakhir. Ketika aku sedang duduk, menangis di tempat kecelakaanku. Tiba-tiba, kamu memanggilku ke rumahmu. Aku lihat di sampingmu sudah ada seorang kakek berbaju putih, membawa tongkat bercahaya. Kakek tua itu tersenyum melihatku, "Saya bisa menyembuhkan lukamu, tapi dengan satu syarat," ucap Kakek itu. "Apa syaratnya Kek?" tanyaku. "Berhentilah menakut-nakuti warga." "Mereka sudah jahat, Kek. Apa salahku sampai mereka berbuat seperti ini." "Kamu harus memaafkan mereka." "Lalu bagaimana dengan orang yang menabrakku." "Apakah kamu tau atau ingat dengannya?" "Tidak ... justru itu membuatku semakin tersiksa, karena ada rasa dendam yang tak tuntas." "Dia sudah mati, beberapa hari setelah kecelakaan itu. Itulah sebabnya kamu tidak akan pernah bisa menemuinya." "Sekarang ... aku harus bagaimana, luka ini masih terasa sangat perih. Aku sudah tak kuat." "Jika masih ada dendam kamu akan tetap seperti itu. Lebih baik ikut ke tempat saya, sampai bisa memaafkan perbuatan mereka." Aku pun mengangguk, menyetujui persyaratannya. Kakek itu berjalan mendekat, mengusap luka-lukaku. Tangannya hangat sekali. Perlahan-lahan, rasa sakit dan perih itu pun menghilang. Sebelum diajak pergi ke tempatnya, aku meminta izin untuk menemui anak-anakku untuk terakhir kalinya. Setelah itu, Kakek itu memindahkanku ke sebuah taman yang indah. Aku hanya duduk di bangku taman itu,menunggu waktunya tiba. Waktu di mana aku bisa berkumpul dengan anak-anakku. Pesanku. "Dibalik teror yang mengerikan, pasti ada yang tersakiti. Hanya kamu saja yang tidak menyadarinya." SEKIAN
Share:

0 Comment:

Posting Komentar

-->