Kakek di Gerbang Pemakaman. Sudah menjadi kegiatan rutin setiap lebaran. Aku dan keluarga pergi mengunjungi makam ayah dan kakak. Letaknya di sebuah pemakaman umum di tengah kota. Siang ini jalan utama agak sepi. Berbeda sekali dengan kemarin yang macet parah. Apa mungkin orang-orang masih sibuk bersilaturahmi. Atau ... malah tidur karena kekenyangan. Mobil mulai masuk ke jalan di dekat area pemakaman. Jalanan sudah mulai padat. Akibat banyak mobil parkir di pinggir jalan. Ibu meminta Akbar mencari tempat parkir yang agak jauh. Daripada harus terjebak macet di depan pemakaman. Setelah itu kami lanjutkan dengan berjalan kaki. Tibalah kami di gerbang pemakaman. Dari sana aku bisa melihat dengan jelas makam kakak. Yang terletak di samping pos penjaga. Sedangkan makam ayah agak jauh di tengah. Aku berjalan pelan-pelan melewati jalan setapak di pinggir makam. Sebelumnya aku sengaja untuk tidak mengaktifkan mata batinku. Soalnya masuk ke tempat yang ‘ramai dengan mereka’ pasti akan menghabiskan banyak energi. * Sampailah kami di depan makam ayah, lalu berdiri mengelilinginya. Bergegas kami membersihkan makam, soalnya langit sudah mulai mendung. Takut hujan. Dani mulai memimpin doa. “Amir, bersihin makam Faisal sana!” bisik Ibu, mengganggu konsentrasiku yang sedang berdoa. “Iya.” Aku berjalan ke arah makam Kak Faisal. Sedangkan Dani, Akbar dan Ibu masih melanjutkan doanya. Jika Kak Faisal masih ada, usainya hanya terpaut satu tahun denganku. Saat itu, baru satu hari dia dilahirkan, tapi Allah memintanya untuk kembali. Mungkin Allah jauh lebih sayang padanya. Aku berdiri di samping makam Kak Faisal. Makam yang berukuran kecil, tidak lebih dari satu meter. Dengan keramik berwana biru menghijau. Yang sebagian besar sudah mulai rusak. Aku jongkok. Lalu, mulai membersihkan makam. Baru saja akan membaca doa. Dari ekor mata terlihat seorang kakek mondar-mandir di gerbang pemakaman. Duh, padahal sudah berusaha untuk tidak melihat ‘mereka’. Namun tetap saja ada yang lolos. Selama membaca doa, sesekali aku menoleh ke arahnya. Dia terus mondar-mandir tidak jelas. Menghampiri para peziarah yang melewati gerbang. Apakah itu bentuk sambutan darinya? Entahlah, aku tak peduli. Selesai membaca doa. Aku kembali menoleh ke arahnya. Ya ... ternyata dia masih ada di sana. Ada rasa penasaran untuk tahu lebih dalam mengenai si Kakek ini. Kenapa dia daritadi mondar-mandir? * Aku pun berjalan mendekati gerbang. Duduk di sebuah kursi kayu di samping pos penjaga. Dan mulai berkonsentrasi. “Bu ... liat anak saya?” “Pak ... liat cucu saya?” “Dek ... bisa antarkan saya pulang?” Kakek itu terus bertanya pada orang-orang yang melewati gerbang. Aku pun mencoba bertanya padanya. Tentunya tidak dalam wujud manusia, tapi astral. “Kek, kenapa mondar-mandir di sini?” tanyaku. Matanya terbelalak, mungkin dia kaget melihatku yang tiba-tiba ada di dekatnya. “Kamu berbicara dengan saya?” “Iya. Siapa lagi?” “Akhirnya ... sudah lama, saya bertanya-tanya. Tapi tidak ada satupun yang menanggapinya. Mungkin mereka tidak suka dengan saya yang lusuh ini.” “Bukan tidak suka, Kek. Tapi kakek sudah berbeda alam dengan mereka.” “Berbeda gimana. Sama-sama manusia kok. Kamu aja bisa liat saya.” “Ya ... gimana ya ... gak semua orang bisa liat kakek.” “Terus kamu ngapain dekat-dekat saya.” “Lah, saya kan nanya. Kakek ngapain mondar-mondar di sini?” “Saya tidak tahu, Nak. Bangun-bangun saya sudah ada di sini. Terus saya bertanya pada orang-orang lewat untuk diantarkan pulang?” “Emang di mana rumah kakek?” “Saya lupa, Nak.” “Wuaduh, sama aja boong dong.” “Biasanya anak dan cucu saya datang ke sini. Saya hanya tinggal mengikuti mereka saja. Tapi ... sudah lama mereka tidak datang ke sini.” “Hmm ... coba kakek pikirkan letak rumah kakek semampunya. Nanti saya coba bantu.” Kakek itu menutup matanya. Mencoba mengingat-ingat di mana letak rumahnya. Samar-samar aku melihat warna pink. “Warna Pink? Apa maksudnya?” pikirku. “Ayo, Kek. Berusaha lebih kuat lagi.” Aku memberinya semangat. “Kok saya pusing ya, Nak?” “Ups.” Kulihat darah mulai mengalir dari atas keningnya. Menandakan dia sudah mulai mengingat peristiwa yang merenggut nyawanya. “Jangan ingat ya itu, Kek. Rumah aja,” perintahku. Sebuah gambaran muncul, sekuntum bunga kamboja berwarna pink. “Oh ....” Aku edarkan pandangan melihat sekeliling pemakaman. Ada tiga pohon kamboja berwarna pink. “Ayo, Kek! Saya antarkan ke rumah.” Aku bangkit dari kursi dan berjalan ke pohon pertama, yang tidak jauh dari gerbang. “Tunggu, Nak. Kok saya lemas ya.” “Aduh, dibilang jangan ingat-ingat yang itu. Sini ikut saya aja.” * “Kek, siapa namanya?” tanyaku sambil melihat-lihat nama yang tertulis di batu nisan. “Saya lupa.” “Ya ampun ... coba diingat-ingat lagi, Kek! Masa saya disuruh tebak-tebakan.” “Saya benar-benar lupa.” Aku mulai menyebutkan satu persatu nama pemilik makam yang dekat dengan pohon kamboja pink itu. “Reza? Hmm ... gak deh, kebagusan namanya. Pasti namanya yang agak kuno,” pikirku sambil berjalan mengitari pohon kamboja. “Sulastri? Eh ... nama cewek.” Kakek itu hanya diam saja, tak merespon ucapanku. Berpindahlah aku ke pohon kamboja kedua. Mungkin rumahnya memang bukan di sini. “Hartono?” “Gugum?” Kakek itu masih tak merespon. Coba deh ke pohon terakhir. Setelah saya liat, di sekelilingnya hanya ada nama perempuan. Ting! Ponselku berbunyi. Ada pesan masuk dari Dani. [Mir, buruan balik! Lu ngapain jalan-jalan keliling pemakaman. Kaya orang stress] [Bentar, Kak. Ajak yang lain tunggu di depan aja. Nanti Amir nyusul] [OK] * “Kek, masih gak inget juga?” “Saya lupa, Nak.” “Kakek yakin kan gak salah pemakaman.” “Tidak.” “Ya kali, kakek lupa terus nyasar.” Tiba-tiba, sebuah gambaran muncul. Sebuah makam dengan keramik berwarna hitam. Tapi aku tidak bisa melihat namanya. Aku kembali mengeceknya. Tidak ada makam berkeramik hitam di sekitar pohon ketiga. Lanjut ke pohon kedua, tidak ada juga. “Terakhir ya, Kek. Kalau gak ada berarti kakek salah pemakaman,” ucapku sambil berjalan ke arah pohon pertama. Dari kejauhan aku melihat ada makam berkemarik hitam. Tapi, bukannya itu makam atas nama .... “SULASTRI?” Aku menatap wajah Kakek itu baik-baik. “Masa sih ini nama dia?” pikirku. Gregetan, terpaksa aku memaksa untuk melihat ‘flashback-nya’ lebih dalam. Benar, ternyata makam berkemarik hitam ini. Kutatap tulisan di batu nisan. Sulastri Lahir: 12 Januari 1962 Wafat: 22 Juni 2014 Aku kembali konsentrasi, mencoba agak melihat jauh ke belakang. Sebelum Sulastri dimakamkan di sini. Walaupun agak samar, aku bisa melihat ada sebuah gundukan tanah berwarna merah. Dengan kayu nisan yang sudah lapuk dan kotor. Tidak terlihat sedikit pun tulisan di sana. Sepertinya benar di sini rumah si Kakek. Hanya saja makamnya sudah ditumpuk dengan makam orang lain. “Kek ....” “Kenapa, Nak?” “Rumah kakek kayanya sudah digusur.” “Digusur?” Kakek itu pun menangis. “Jangan nangis, Kek.” “Lalu saya harus kemana, Nak?” tanyanya. “Kakek duduk di sini aja. Jangan kemana-mana. Tidak usah tanya ke orang-orang yang lewat juga.” “Tapi, Nak ....” “Ada apa lagi, Kek.” “Kenapa kepala saya sakit ya?” Kulihat darah sudah mulai menutupi sebagian wajahnya. Kakek itu semakin mengingat kejadian tragis yang menimpanya. Sebuah tragedi tabrak lari. “Pokoknya kakek di sini aja ya,” pintaku. “Nanti juga, sakit itu akan hilang dengan sendirinya,” sambungku berusaha menenangkannya. “Semoga saja anak dan cucu kakek segera datang ke sini,” sambungku lagi. “Baik, Nak.” * Aku pun bergegas ke luar area pemakaman. Dani sudah menungguku sambil meminum es kelapa. “Udah, Mir?” tanyanya. “Udah. Yuk balik ke mobil!” ajakku. “Siapa tadi yang ngajak keliling?” “Pusing, Kak. Kakek-kakek pikun nyari kuburannya.” “Hahahaha ... ada-ada aja. Terus gimana?” “Kuburannya gak ada, udah ditumpuk.” “Wah kasian amat.” “Mangkanya, sekarang Amir suruh dia duduk sana aja,” ucapku sambil menunjuk ke pohon kamboja pink dekat gerbang. “Tapi dia gak ganggu kan?” “Awalnya ganggu sih, sekarang gak bakal bisa.” “Kok gitu?” “Soalnya Amir minta Genderuwo di pohon beringin itu buat jagain. Kalau dia ganggu orang, suruh diomelin aja.” “Ih jahatnya.” “Ya daripada bikin orang ketakutan.” SEKIAN
0 Comment:
Posting Komentar