Aku Yang Terbaring di Bawah Bangku Taman. Sejak sore, Bandung terus diguyur hujan. Udara dingin mulai masuk melalui celah-celah pintu kosan. Sehingga menggangguku yang daritadi meringkuk di atas kasur. Krucuk-krucuk, perutku mulai berbunyi. Sepertinya cacing-cacing di dalam perut sudah mulai kelaparan. Aku pun bangkit dari kasur, lalu mengintip suasana koridor dari balik pintu. Suasananya sepi seperti tidak ada kehidupan. Hanya ada Si Kingkong yang sedang bermain-main dengan anak kucing Ibu Kos. Ya ... begitulah kerjaanya sehari-hari. “Kong,” panggilku berbisik. “Apa, Mir?” sahutnya sambil menarik-narik buntut anak kucing itu. “Liatin Wildan dong, dia lagi ngapain di kamar,” pintaku. “Ish, ganggu aja,” balasnya lalu menghilang, menembus langit-langit menuju lantai dua. Hanya dalam hitungan detik, dia sudah duduk di atas kasur. “Lagi ngapain dia?” “Tidur, mau saya bangunkan?” “Jangan, ntar dia marah-marah lagi.” Aku pun terpaksa naik ke lantai atas, menuju kamar Wildan. Pintunya sedikit terbuka, lalu aku mengintip ke dalam. Benar saja, dia masih tidur pulas. “Dan ... Wildan,” ucapku sambil menggoyang-goyangkan badannya. “Apaan, Mir,” balasnya masih dengan mata tertutup. “Keluar yuk! beli makan,” ajakku. “Gak ah, lagian masih hujan kan?” “Sedikit, gerimis doang.” “Duluan aja deh, Mir. Gw ntar mesen online aja.” “Oh ya udah,” ucapku lalu ke luar kamarnya. Aku pun kembali kamar, mengambil jaket dan kunci motor. Lalu berjalan menuju parkiran. “Ikut, Mir,” ucap Si Kingkong yang sedang duduk di salah satu motor yang terparkir. “Jangan, cuman bentar doang.” “Yah ... padahal kalau cuacanya begini pasti rame.” “Mangkanya gak usah ikut, ntar aku yang repot.” * Motorku mulai melaju, melewati gang-gang sempit menuju jalan besar. “Makan apa ya?” pikirku sambil melihat kanan-kiri jalan. Dingin-dingin begini, enaknya makan mie instan di Warkop Mang Heri. Tidak butuh waktu lama, motorku sudah terparkir di depan Warkop Mang Heri. Warkop terlihat masih sepi, hanya ada dua sepeda motor yang terparkir di depannya. “Mang, biasa ya,” ucapku memesan menu andalan, mie goreng dobel plus telur. Lalu duduk di bangku kayu panjang. “Siap, Mir,” balasnya langsung mempersiapkan pesananku. Aku mengambil ponsel di saku celana. Sudah hampir jam setengah sembilan malam, tapi kondisi jalan masih belum seramai biasanya. “Wildan mana, Mir?” tanya Mang Heri sambil memotong tiga helai sawi. “Masih tidur di kosan, Mang.” “Pantesan, biasanya kemana-mana berdua.” “Bisa aja, Mang. Kan kalau ke kamar mandi tetep sendiri,” balasku diikuti tawa Mang Heri. “Dah buruan, Mang, lapar nih,” sambungku. * “Ini, Mir.” Mang Heri meletakan mangkuk mie dia hadapanku. Rasa lapar membuatku langsung menyantapnya dengan cepat. Selesai makan, aku mengobrol sebentar, lalu pulang. Tak terasa, ternyata hujan sudah reda. Kubatalkan niat untuk langsung pulang ke kosan. Memutuskan untuk jalan-jalan sebentar berkeliling kota Bandung. Jalan sudah mulai ramai, didominasi oleh sepeda motor. Kuarahkan sepeda motor menuju sebuah taman di tengah kota Bandung. Setelah mencari parkir motor yang paling dekat dengan taman, aku pun mulai berjalan masuk ke area taman. Ada sambutan hangat dari seorang Kakek Tua penunggu salah satu pohon beringin. Suasana taman pada malam ini sudah lumayan ramai. Muda-mudi sedang memadu kasih di bangku-bangku taman. Mereka tidak sadar, ada banyak ‘Wanita Berdaster’ yang menonton dari atas pohon. Aku pun lanjut berjalan menyusuri taman, mencari bangku yang masih kosong. Agak jauh, akhirnya aku menemukan sebuah bangku kosong. Letaknya agak pojok, bersebelahan dengan sebuah pohon besar. Padahal ini bisa menjadi tempat yang strategis untuk memadu kasih. Namun tak ada muda-mudi yang menempatinya. Aku sedikit curiga. Sebelum duduk, aku tatap pohon besar itu. Tidak ada sesuatu yang aneh, hanya beberapa ‘Wanita Berdaster’ saja yang terbang dari dahan satu ke dahan lain. Itupun mereka membubarkan diri, ketika aku duduk. Suasananya berbeda sekali, tenang tanpa gangguan suara kendaraan bermotor dari jalan raya. Aku hanya duduk, sambil menghirup udara Bandung di malam hari. Ketenangan itu pun sirna, ketika terdengan suara tangis seorang wanita, lirih sekali. Aku berusaha fokus, mencari sumber suara itu. Ternyata dari arah belakangku. Terlihat seorang wanita sedang duduk menyender ke pohon besar. Kepalanya tertunduk. Wajahnya tak terlihat, terhalang rambutnya yang menjuntai hingga menyentuh tanah. “Ada apa ya, Mbak?” tanyaku pada sosok yang daritadi hanya diam mematung. “Tolong saya ...,” balasnya masih dengan kepala menunduk. “Hadeuh, Mbak. Saya lagi gak buka sesi curhat.” “Tapi kamu sudah menginjak-injak tempat tidur saya,” ucapnya agak marah lalu mengangkat kepalanya. Kali ini aku bisa melihat wajahnya. Seorang wanita berwajah melayu dengan luka terbuka di keningnya. Dari luka itu masih mengalir darah segar, yang mulai membasahi wajahnya. “Biasa aja, Mbak. Gak usah diserem-seremin.” “Kamu mau menolong saya?” “Ya udah ... Mbak duduk dimari, biar enak ngobrolnya.” Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada manusia, hantu pun tak apa-apa. “Tidak mau,” balasnya. “Hah? Kenapa?” Dia pun mengangkat tangannya, menunjuk sesuatu di belakangku. Dengan cepat aku menengok. “Astagfirullah ... Tebo, lu ngapain di mari?” ucapku pada sosok Genderuwo yang berdiri di belakangku. “Cantik, Mir,” balasnya dengan sorot mata menatap wanita itu. “Pantesan, cewe-cewe yang lagi nongkrong di atas pohon pada kabur. Ada lu ternyata.” “Si Kingkong nyuruh ikut.” “Ya udah, pulang sana!” “Tapi ... cantik, Mir. Boleh dibawa pulang?” “Gak! Mending cari di danau tuh, banyak yang lagi mandi.” “Oke, Bos.” Dalam kedipan mata, dia pun menghilang. “Nah sudah aman. Sini, Mbak!” * “Tadi Mbak bilang tempat tidur?” tanyaku pada sosok yang sudah duduk di sudut bangku taman. Dia pun mengangguk pelan. “Jadi ini ...?” Tiba-tiba wanita itu memberikan ‘flashback’. Momen-momen terakhir di hidupnya. Kami sudah berdiri, di depan rumah kecil, di sebuah desa. Lalu aku diajak masuk ke dalam rumah itu. “Masni, udah malam, Nak. Jangan ke luar rumah,” ucap seorang wanita paruh baya. “Oh namamu Masni. Itu ibumu?” tanyaku pada sosok yang daritadi berdiri tak bersuara. Dia pun hanya membalas dengan anggukan, sedangkan matanya terus menatap ke arah wanita paruh baya itu. “Cuman ke kota sebentar, Bu. Ini kan malam minggu,” balas Masni berlalu menuju pintu depan. “Pulangnya jangan malam-malam,” ucap ibunya sebelum pintu depan tertutup. “Iya,” sahut Masni dari luar rumah. Masni pun berlari ke ujung jalan di depan rumahnya. Seprang pria sudah menunggunya di sana. Berdiri di samping motor yang terparkir di pinggir jalan. “Honda CB, berarti ini tahun 70an ya?” tanyaku pada Masni. “Iya.” Gambaran itu pun berlanjut. Kini aku sudah ada di sebuah tempat yang di kelilingi pepohonan. Aku lihat Masni sedang duduk di atas jok motor sambil bersandar di bahu pria itu. “Dia pacarmu?” “Dayat, itu namanya.” “Oh ....” Tak lama kemudian, ada dua motor lain yang mendekat. Dayat pun menghampirinya. Terjadi percakapan antara Dayat dengan empat orang pria lainnya. Sedangkan Masni masih duduk di atas jok motor. Kemudian, Dayat dan keempat pria itu berjalan mendekati Masni, membawakan beberapa botol minuman dan makanan ringan. Masni mengingatkan Dayat untuk tidak ‘minum-minum’, karena dia masih harus mengantarnya pulang. Berkendara dalam keadaan mabuk itu berbahaya. Ucapan Masni malah menyulut emosi Dayat dan teman-temannya. Terjadi adu mulut, hingga Dayat pun menampar wajah Masni. Tamparan yang keras membuat tubuhnya jatuh tersungkur. Kekejaman malam itu masih berlanjut. Teman-teman Dayat mulai memegangi tangan dan kaki Masni. Lalu, Dayat membekap wajah Masni dengan jaket kulitnya yang dikenakannya. Masni pun berontak, tangannya berhasil lepas, lalu memukul wajah Dayat dengan keras. Pengaruh alkohol membuat Dayat gelap mata. Dia mengambil sebuah batu, lalu menghantamkannya pada kepala Masni yang masih tertutup jaketnya. Seketika itu, tubuh Masni sudah tak lagi bergerak. Dayat membuka jaketnya. Dia terkejut melihat wajah pacarnya yang sudah bersimbah darah. Namun penyesalannya sudah terlambat. Di tengah kepanikan, salah satu temannya berinisiatif untuk menguburkan jasad Masni. Dia memerintahkan kedua teman lainnya untuk pergi mencari cangkul. Dayat yang terlihat masih syok, ikut menggotong jasad Masni menuju area yang lebih sepi. Disanalah mereka akhirnya menguburkan jasad Masni. * Gambaran pun berlanjut, kembali ke rumah Masni. Di sana ibunya sedang menangis, menanti kepulangan anaknya yang tak pernah pulang. Masni sudah beberapa kali berusaha memberitahu ibunya tentang keberadaan jasadnya. Namun, usahanya tidak berhasil. Amarahnya kian hari kian bertambah. Apalagi melihat kelima pelaku itu masih bebas berkeliaran. Masni mulai membalas dendam, dengan meneror mereka satu persatu. Sebuah teror yang sangat menakutkan, hingga mereka pun mati dalam penyesalan. Setelah itu, jiwanya terkunci, terus menunggu seseorang untuk mengangkat tubuhnya yang masih terbaring di sini. Ya ... di bawah bangku taman tempatku duduk sekarang. “Aku hanya ingin dikuburkan dengan layak,” ucap Masni. “Tapi ... aku tidak bisa membantumu untuk hal itu,” balasku. “Kenapa? Apa kamu tidak kasian denganku?” “Bukan begitu, kejadiannya kan sudah puluhan tahun. Sekarang keadaannya sudah berubah.” “Ya sudah jika kamu tidak mau membantuku,” balasnya memalingkan wajah. “Tapi ....” Dia kembali menghadapkan wajahnya padaku. “Apalagi?” “Tolong bilang pada ibuku, kalau aku dikubur di sini.” Aku pun tersenyum. “Kenapa senyum? Bisa tidak?” “Ih minta tolong maksa amat. Masni ... sekarang ini tahun 2020, sudah lebih dari 40 tahun semenjak kamu meninggal. Aku mana tau kalau ibumu masih ada atau tidak. Alamat rumah saja kamu tidak ingat.” “Ibu pasti masih nunggu aku pulang.” “Coba kamu cari orang lain yang bisa bantu, aku sih gak sanggup.” “Sekarang cuman ada kamu.” “Ya, cari dulu sana!” “Ternyata semua pria sama saja.” “Gak gitu juga, Bambang.” “Bambang? Aku Masni!” “Maaf salah sebut. Ya udah deh nanti aku pikirin gimana caranya, sekarang mau pulang dulu.” “Aku ikut boleh?” “Gak! Kamu mau ketemu Genderuwo tadi emang?” “Ih ....” “Sudah ya.” Aku berdiri, pergi meninggalkannya yang masih duduk di bangku taman. “Besok datang lagi?” tanyanya. “Gak tau,” balasku lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu. * Sesampainya di tempat parkir. Ting! Ponselku berbunyi, ada sebuah pesan Whatsapp yang masuk. [Mir, lu belum balik kosan] Argh, ternyata dari Wildan. [Ini gw mau balik] [Kebetulan nih, nitip mie goreng sama bubur kacang dong di Warkop Mang Heri] [Ya elah ini anak, tadi katanya mau pesen online] [Gak ah, lagi gak ada promo. Ayolah lah kali-kali nitip] [‘Kali-kali’ perlu digaris bawahi. Entar gw beliin, sekalian balik] [Ok] Aku memasukan ponsel ke kantong celana, lalu pulang ke kosan. Sebelum pulang, tidak lupa membeli makanan titipan Wildan dulu. Setibanya di kosan, Wildan sudah ada di kamarku. “Lu ngapain dimari?” tanyaku pada Wildan yang sedang tiduran di atas kasurku. “Nungguin makanan lah, laper gw, baru bangun,” balasnya tanpa rasa terimakasih. “Sana balik kamar lu aja.” “Pinjem mangkok sama sendok dong, punya gw masih kotor, lagi males nyuci.” “Duh nih anak.” “Lu tadi kemana aja, lama bener.” “Jalan-jalan aja, terus duduk berduaan di taman.” “Beuh, sama siapa?” “Cewe cantik,” balasku tersenyum. “Ah pasti begituan kan?” “Beneran, mau kenalan? Gw panggil sekarang.” “Nah kan ... beneran setan. Dah lah Mir, ntar gw gak bisa tidur.” “Dah ah gw ke belakang dulu, sakit perut,” ucapku lalu berlari menuju kamar mandi. Kembali dari kamar mandi, Wildan sudah selesai makan. “Cuci, Dan!” “Besok aja, Mir. Abis makan ngantuk nih gw,” balasnya seraya berlari ke kamarnya. “Awas ya.” Sudah jam 11 malam, lagian aku juga sudah mengantuk. Aku pun langsung naik ke kasur untuk tidur. Di tengah-tengah mimpi indah, aku merasakan ada hawa dingin di wajahku. Aku langsung terbangun, dengan mata masih berat kulihat seseorang sudah ada di hadapanku. “Sudah ketemu belum?” tanya sosok itu. Aku membuka mata lebar-lebar. “Masni, kok bisa ke sini.” “Itu, dia yang ngajak aku ke sini,” balasnya sambil menunjuk Si Kingkong duduk di atas lemari. “Kebangetan ya, gak tau orang ngantuk.” “Kasian, Mir. Dia dari tadi mondar-mandir di parkiran.” “Ya usirlah!” “Kok diusir? Jahat banget ih,” balas Masni. “Eh lupa ... masih ada di sini.” “Jadi gimana? Udah ketemu ibuku?” “Ya Allah ... baru juga beberapa jam, udah nanya itu lagi. BELOM!” “Jangan marah dong, aku pulang lagi deh.” “Eh tunggu, coba tanyain ke atas.” “Ke atas?” “Kong, anterin ke kamar Wildan gih!” “Siap, Mir.” Mereka pun menghilang, aku bisa lanjut tidur dengan tenang. Dari kamar atas, aku mendengar suara teriakan seseorang, pasti itu Wildan. SEKIAN bisa diklik aja ‘Hastag’nya.
0 Comment:
Posting Komentar