Senin, 09 Agustus 2021

Mati Sendirian

 

Cerita Horor
Mati Sendirian. “Nek ... jangan di sini,” ucapku sembari menatap seorang nenek berpakaian lusuh dan kotor penuh dengan tanah. “Apa salah saya, Nak?” “Nenek gak salah apa-apa.” “Lantas, kenapa semua pergi meninggalkan saya?” Kutatap wajahnya. Ada gurat kesedihan yang amat dalam. Bahkan sedikit demi sedikit mulai aku rasakan. “Tapi Nek ... kasian teman saya kalau nenek tetap di sini.” “Apa aku ibu yang jahat?” “Nenek bukan ibu yang jahat.” “Kenapa anak saya pergi?” * Gambaran demi gambaran muncul. Sampai pada masa dimana nenek itu masih muda. Mungkin lebih dari setengah abad lalu. Jauh sebelum kos-kosan ini dibangun. Seorang ibu sedang menjajakan dagangannya. Sebuah tampah ditaruh di atas kepalanya penuh dengan berbagai jenis kue. Tangan kanannya membawa jinjingan rotan. Sedangkan tangan kirinya menggenggam tangan seorang anak kecil. Ada kain batik mengitari tubuhnya. Kain itu dilebarkan, agar bayi mungil itu bisa tidur dengan nyaman. Sungguh wanita yang kuat, berjualan sambil membawa kedua anaknya. Menjelang magrib, dia sudah kembali ke rumah. Sebuah rumah yang terbuat dari bilik bambu yang mulai menghitam. Sebagian atap rumahnya pun terlihat nyaris ambruk. Dia hanya hidup bertiga, dengan kedua anaknya yang masih kecil itu. Tanpa suami. Yang pergi entah kemana. Hari demi hari mereka lalui dengan hidup sangat sederhana. Tidur beralaskan tikar. Untuk makan sehari-hari tergantung upah hasil berjualan kue. Jika tak ada uang, dia akan memakan ketela yang ditanam di belakang rumahnya. * Singkat cerita, sang anak sulung kini sudah beranjak dewasa. Dia meminta izin untuk pergi merantau ke kota. Demi kehidupan yang lebih layak. Dengan berat hati, nenek itu melepaskan kepergiannya. Kini hanya tinggal dia dan si Bungsu. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Tak terasa, sudah hampir tiga tahun nenek itu belum bersua dengan anak sulungnya. Setiap malam, dia duduk di bangku kayu, di teras rumahnya. Menantikan kepulangan anak sulungnya itu. Namun dia tak juga kembali. Dia hanya bisa memendam rasa rindunya itu selama bertahun-tahun. Waktu berlalu begitu cepat, sampai anak bungsunya pun sudah tumbuh dewasa. Dia meminta izin untuk pergi merantau. Mengikuti jejak kakaknya. Dengan tegas, nenek itu menolak. Khawatir dia pun tak kembali seperti kakaknya. Namun anaknya itu bersikukuh untuk tetap pergi. Akhirnya nenek itu tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa melepas anaknya untuk mencari kehidupan di kota. Keseharian nenek itu hanya duduk melamun di teras. Menunggu kedua anaknya yang tak kunjung pulang. Tubuhnya yang semakin menua sudah mulai menghambat aktifitasnya. Dia tak lagi bisa berjualan, hanya mengharap belas kasihan tetangganya. Memendam rasa rindu yang teramat dalam sungguh menyakitkan. Penyakit pun mulai berdatangan, menghinggapi tubuhnya yang semakin kurus. Bahkan untuk berjalan saja sudah sangat sulit. Malam itu, mungkin bisa dibilang malam terakhir di hidupnya. Tubuhnya demam tinggi dan mengigil. Dalam keadaan setengah sadar, berkali-kali dia menyebut nama kedua anaknya. Dia pun berusaha bangkit. Dengan sekuat tenaga menyeret tubuhnya ke pintu depan. Berharap ada seseorang yang menolongnya. Namun ... belum sampai di depan pintu. Tubuhnya sudah roboh, tak kuat lagi menahan sakit. Nafasnya perlahan-lahan memendek, diikuti pandangan yang kian meredup. Nenek itu akhirnya meninggal. Mati sendirian, tanpa kehadiran orang-orang terdekatnya. Jiwanya sudah pergi, tapi tidak dengan Qorinnya. Sepeninggalannya, sering terdengar suara isak tangis dan meminta tolong dari dalam rumah. Warga pun kerap kali melihat sosok yang menyerupai Nenek itu sedang duduk di teras rumahnya. Karena membuat resah, akhirnya warga sepakat untuk merobohkan rumah itu. Yang lambat laun berubah menjadi lahan kosong. Dan kini telah berdiri kos-kosan tempat Hendra tinggal. * Tak terasa air mataku menetes, melihat ‘flashback’ yang menyedihkan itu. “Napa lu, Mir? Kelilipan?” tanya Hendra heran. “Iya, kelilipan sendal,” balasku. “Abisnya tumben nangis.” “Kagak! Ini cuman keringet,” elakku. “Ah bohong!” “Ya udah, si Nenek gw biarin di sini aja ya?” ancamku. “Dih ... ngambek. Pindahin dong, Mir! Gw takut.” Ya ... untuk orang yang awam, sosoknya memang mengerikan. Begitu pula Hendra, yang belum lama ini bisa melihat ‘mereka’. Padahal di balik wajahnya yang menyeramkan itu, tersimpan sebuah cerita yang sangat menyedihkan. Sehingga ada rasa tak tega untuk mengusirnya pergi. “Ya bentar gw coba negosiasi, mau gak si Nenek pindah. Kalau gak mau ya nasib dah, Hen. Setidaknya lu ada yang nemenin di kamar.” “Jangan gitu lah, Mir.” Aku kembali berkomunikasi dengannya. Setelah negosiasi yang cukup alot. Akhirnya nenek itu mau pindah ke tempat yang agak jauh. Supaya tidak mengganggu penghuni kosan, terutama Hendra. SEKIAN

Share:

0 Comment:

Posting Komentar

-->