Anak Kecil di Kuah Soto. Ting! Bunyi pesan masuk di ponselku. Kulihat ternyata ada pesan dari Wildan.
[Mir, Lu lagi kosong gak? Keluar yuk]
[Ke mana?]
[Jalan-jalan aja, bosen gw di rumah]
[Lu jemput gw ya]
[Di mana?]
[Kuburan]
[Hah?]
[Ya, rumah lah]
[Ok, gw datang bentar lagi]
Aku bangkit dari tempat tidur, lalu bergegas ke kamar mandi.
*
Sepuluh menit kemudian ....
Tet!
Tet!
Suara klakson motor matic terdengar di depan rumah.
"Bentar Dan, gw pake baju dulu," ucapku sambil berlari ke kamar, masih menggunakan handuk. Setelah mengenakan baju, aku langsung menghampirinya di depan.
"Mau kemana?" tanyaku.
"Keluar dulu lah, entar baru dipikirin kemana."
"Ya dah, deh."
*
Diantara teman yang lain, Wildan ini yang paling dekat denganku. Walaupun dia tau aku bisa melihat makhluk lain, tapi jarang sekali dia ingin tau tentang 'mereka'.
Sejujurnya, aku masih merasa bersalah tentang tragedi Nasi Goreng beberapa bulan lalu. Sampai detik ini dia sama sekali belum tau kalau yang dimakannya itu bukan Nasi Goreng. Yah ... tapi dia kelihatan sehat-sehat saja. Jadi lebih baik tidak tau.
*
Sepeda motor mulai melaju, meninggalkan perumahan menunju ke jalan utama.
"Mir."
"Oit."
"Laper gak, Lu?"
"Laper."
"Makan Soto yuk! Katanya ada tempat baru, terus rame banget."
"Dimana emangnya?"
"Itu di deket jembatan layang."
"Oh gas lah."
Wildan memacu motornya dengan cukup kencang, menuju Jalan Layang.
"Tuhkan rame."
Terlihat, sudah banyak motor dan mobil parkir di depan resto itu.
Wildan memparkirkan motornya, sedangkan aku mengambil nomor antrian meja.
"Dapet nomor berapa, Mir?" tanya Wildan.
"Nomor 17, katanya sih gak lama. Sekarang baru nomor 13."
"Sip, tunggu aja."
Kuedarkan pandangan mengamati setiap sudut resto. Desainnya terlihat apik, dengan ornamen khas jawa.
*
"Tujuh Belas!" teriak salah satu pelayan resto.
Aku dan Wildan yang sedang duduk di parkiran, langsung berjalan menghampirinya. Bahkan Wildan sampai belari, sepertinya dia tidak sabar mencicipi makanan di resto ini.
Kami pun diberi tempat duduk khusus berdua, di pojok kiri resto. Salah seorang pelayan meletakan menu makanan, lalu pergi lagi ke area dekat kasir.
"Lu mau makan apa Mir?"
"Bentar."
Aku masih serius melihat-lihat menu. Satu persatu halaman menunya kubuka, sampai di halaman khusus Soto. Mataku langsung tertuju pada Soto Babat Kambing.
"Hmm ... kayanya enak," pikirku.
"Jangan itu, yang lain aja," ucap suara di batinku.
"Sop Kaki Kambing," pikirku.
"Jangan ... yang lain aja." Masih suara yang sama.
"Soto Ayam," pikirku lagi.
Dug!
Kakiku terbentur meja.
"Napa Lu?"
"Gak."
Sebenarnya aku kaget, karena kepala Si Kingkong tiba-tiba muncul dari bawah meja.
"Yang lain," bisiknya.
Aku membuka lembaran lain, "SIOMAY," ucapku agak keras. Si Kingkong langsung mengancungkan jempolnya dan menghilang.
"Oke Siomay, minumnya?" ucap Wildan.
"Teh anget aja."
Wildan langsung mengangkat tangan, memanggil salah satu pelayan resto.
"Mbak ... satu Soto Daging, satu Siomay dan dua Teh Anget ya," ucap Wildan memesan makanan.
"Sotonya pakai Nasi?" tanya Si Mbak.
"Pake."
Setelah menulis pesanan di secarik kertas. Si Mbak itu pergi meninggalkan meja.
*
Beberapa menit kemudian, dua gelas teh hangat sudah ada di meja kami. Aku meminumnya sedikit, sambil mengedarkan pandangan.
"Perasaan gak ada yang aneh," ucapku dalam hati. Lantas, kenapa Si Kingkong tiba-tiba muncul dan menghilang?
Tidak lama kemudian, Soto dan Siomay sudah tersedia di meja. Tanpa aba-aba, Wildan langsung menyantap makanannya. Aku masih saja memikirkan kejadian tadi, sambil pelan-pelan memakan Siomay.
"Pasti ada apa-apa, gak mungkin dia tiba-tiba muncul," pikirku menerawang.
"Lu lama amat makan Siomay doang aja," ucap Wildan menghamburkan lamunanku.
"Eh ... Lu dah kelar."
Aku langsung menghambiskan Siomaynya, lalu minum.
Ohok!
Aku batuk, nyaris tersedak ketika Si Kingkong tiba-tiba sudah duduk di atas meja.
"Ikut ke sana," ucapnya sambil menunjuk ke arah kasir. Aku pun mengangguk pelan.
"Lu duluan aja Mir ke parkiran, gw yang bayar," ucap Wildan, lalu berdiri dan berjalan ke arah kasir. Tanpa sepengetahuannya, aku membuntutinya dari belakang.
"Lu ngapain dimari?" tanya Wildan yang baru sadar kalau aku ada di belakangnya.
"Ikut aja, pengen liat."
Dari depan kasir, aku bisa langsung melihat jelas area dapur. Padahal dapurnya terbuka, kenapa aku tidak memperhatikannya daritadi.
Mataku langsung fokus ke area dapur, khususnya panci besar dan panjang yang berisi kuah soto.
"Oh ... ngerti," gumamku pelan.
"Apa, Mir?"
"Udah bayarnya?"
"Udah."
"Yuk!" ajak Wildan.
"Bentar ...." Aku berdiri mendekat ke depan kasir.
"Mas ... itu Anak Kecil kasian banget direbus di kuah soto," ucapku pelan.
Si Mas penjaga kasir terlihat bingung dengan ucapanku. Belum sempat menjawab ucapanku. Aku langsung pergi meninggalkan resto itu.
*
"Anak Kecil apaan sih, Mir?" tanya Wildan, sebelum menaiki motornya.
"Itu ...."
"Itu apa?"
"Anak kecil buat kencingin kuah sotonya, biar enak," jelasku.
"Maksud, Lu? Restonya pake begituan."
"Huuh."
"Dih napa Lu gak bilang daritadi, kan gw dah terlanjur makan."
"Gw aja baru tau."
"Lah terus gimana nih gw?" tanya Wildan sambil memegang perutnya.
"Tenang ... gak bakal kenapa-kenapa kok."
"Ah ... Lu sih parah. Balik jalan kaki dah sana!"
"Ish ... gitu aja ngambek."
Dalam hati, tumben Si Kingkong lagi baik.
SEKIAN
0 Comment:
Posting Komentar