Minggu, 25 Juli 2021

SALAH JALAN (NYASAR KE KANDANG JIN)

Nyasar,  Kandang Jin, Hantu

Salah Jalan (Nyasar ke Kandang Jin)
Ada yang pernah salah jalan? Yah ... minimal selama hidup pasti ada lah sekali atau dua kali salah jalan. Biasanya emang karena tidak tahu amat atau kurang fokus.

Bagi kebanyakan orang, salah jalan ini hanya sekedar salah atau lupa arah jalan. Sedangkan bagiku, salah jalan bisa mrenjadi pengalaman yang menakutkan.

*

Sekitar jam 11 malam, aku pergi ke rumah temen di Cibinong dari rumah seorang teman lain di Bekasi. Kebetulan melewati jalan yang katanya sudah terkenal angker. Bahkan sudah sering memakan korban. Desas-desus yang beredar, mereka dijadikan tumbal pesugihan. Temen yang tahu kalau aku akan melewati jalan itu, sudah mewanti-wanti agar lebih berhati-hati. Jawabanku sederhana saja, untuk apa takut dengan 'mereka'.

*

Aku mengendarai motor sendirian. Baru saja masuk ke jalan raya itu, hawanya sudah jau berbeda. Banyak mata memandang, serasa ,menjadi seorang artis yang dilihat banyak fans. Bedanya, pandangan mata itu tanpa wujud. Udara menjadi lebih panas dan pengap, padahal sudah nyaris tengah malam.

Sedang asik menyalip mobil-mobil truk. Tiba-tiba Si Kingkong, salah satu penjagaku membisikan sesuatu, “Hati-hati.”

“Iya ... liat kok ... banyak mobil gede,” balasku agak menurunkan kecepatan.

“Bukan itu.”

“Terus apaan?”

“Itu di depan.”

“Hah?”

“Kalau jalan lihat-lihat, Amir. Benda sebesar itu pun kamu tidak lihat,” ucapnya sambil mengarahkan jari telunjuknya jauh ke depan.

Saya berkonsentrasi, mempertajam indra penglihatan.

“Oh itu ... gede juga ya. Apaan sih itu?”

“Kandang Jin.”

“Satu, dua, tiga, empat ... banyak juga ya yang pasang di jalan ini. Pantesan ....”

*

Sekilas info,

Kadang Jin ini biasanya ditanam seseorang alias dukun, untuk mencari tumbal di jalanan.

Setiap kandang itu pasti mempunyai satu pemimpin, dengan ribuan anak buah. Ada yang dipimpin siluman ular, ratu kuntilanak, raja genderuwo, buto ijo dan jin-jin lainnya.

Sedangkan anak buahnya ini lebih ke hantu standar, pocong, kuntilanak dan genderuwo. Sisanya lebih ke Jin Qorin yang dijebak atau terjebak di sana. Jin Qorin yang terjebak ini, yang biasa disebut tumbal.

Ke empat kandangnya tidak berjauhan. Berarti yang pasang, masih orang yang sama atau satu perguruan.

*

“Hati-hati.” Lagi-lagi Si Kingkong muncul mengingatkan.

“Iya, cerewet banget ih.”

Aku perhatikan, kandang-kandang itu ada di ujung jalan, dekat persimpangan. Masih jauh dari tempat motorku melaju.

*

Sialnya, karena melamun, tanpa sadar, suasana jalan sudah berubah. Lengang.

Mobil-mobil besar yang tadinya ramai, tiba-tiba menghilang. Hanya terlihat beberapa mobil minibus saja di depan, agak jauh.

Jalan pun berubah menjadi agak gelap. Tidak ada pencahayaan dari warung atau perumahan warga di pinggir jalan.

“Sudah dibilang hati-hati, malah melamun,” ucap Si Kingkong.

“Eh ... masuk ya. Hehehe,” balasku yang baru sadar sudah pindah ke alam lain.

“Aduh, ini pasti merepotkan,” keluh Si Kingkong.

“Jadi gimana?”

“Ya sudah, kamu jalan terus saja.”

Aku tancap gas, menyelusuri jalan lurus dan panjang ini. Dari depan terdengar bunyi sirine cukup kencang. Sirine ambulan, yang melaju berlawanan arah.

Pada satu titik, aku pun berpas-pasan dengan ambulan itu. Bukan manusia. Ambulan itu dikemudikan oleh seorang pria dengan wajah hancur. Aku terus memacu kendaraan, karena ambulan seperti itu sudah biasa terlihat di jalan tol yang sering kecelakaan.

Kondisi jalan semakin mencekam. Banyak bangkai sepeda motor dan mobil. Ada yang remuk dan terbakar.

Di dekat kendaraan-kendaraan itu, ada orang-orang dengan tubuh hancur, gosong, bahkan nyaris tak berbentuk. Mereka itu Jin Qorin dari korban-korban kecelakaan.

“Tolong ... tolong ….”

“Aduh sakit ….”

“Panas ....”

Kata-kata itu terdengar bersahut-sahutan. Ditambah suara jerit dan tangis yang menyayat hati.

*

Di pinggir jalan banyak wanita yang diseret-seret oleh sosok seperti Genderuwo.

“Wanita itu akan dijadikan budak seks,” ucap Si Kingkong.

Nasib Qorin pria pun tidak kalah mengenaskan. Lehernya diikat dan ditarik, seperti hewan peliharaan.

“Mereka itu akan dijadikan anak buah. Tapi ....”

“Tapi apa?”

“Kalau sudah tidak berguna, bisa menjadi makanan mereka.”

“Owh ....” Aku masih memacu sepeda motor dengan santai.

Tiba-tiba ... di depanku sudah berdiri makhluk tinggi besar. Badannya dipenuhi bulu berwarna hitam. Mulutnya bertaring, matanya merah dan membawa tongkat. Sudah pasti ini pemimpin mereka, Raja Genderuwo.

“Mau apa kamu kesini?” tanya Raja Genderuwo itu.

“Saya cuman lewat.”

“Lewat?? Buat apa bawa mereka,” ucapnya sambil menunjuk ke arah belakangku.

Aku menoleh, tenyata Si Kingkong sudah tidak sendirian. Dia sedang tertawa-tawa bareng ‘Trio Macan’, penjagaku yang lain.

“Jangan ganggu, lebih baik cepat pergi.”

“Dari tadi juga mau pergi, tapi ini malah nyasar ke tempat kamu.”

“Boleh saya kerjai dia?” bisik Si Kingkong.

“Jangan, nanti banyak yang ngamuk-ngamuk ke rumah.”

*

*flashback on*

Diantara semua penjagaku, Si Kingkong ini yang paling jahil.

Pernah pas pulang malam, tanpa sengaja ada Kuntilanak lewat. Eh ... bajunya dia ganti menjadi motif polkadot. Kuntilanak itu nangis dan protes padaku.

Bukan hanya Kuntilanak. Dia juga pernah mengikat sesosok Pocong di pohon. Sampai teman-teman pocong lainnya demo ke rumah.

Kejadian yang paling bikin pusing, ketika malam-malam aku melewati sebuah jembatan. Si Kingkong yang sedang duduk di jok belakang. Tiba-tiba membawa seorang anak kecil.

“Hadeuh ... pantesan motornya berat amat. Ngapain sih bawa itu bocah?”

“Kasihan.”

“Hah?”

“Ini anak akan dijadikan makanan oleh Siluman itu,” ucapnya sambil menunjuk sesosok Siluman Kadal yang sedang mengejar motor saya.

“Ya elah ... Kong Guan! Mending balikin dah. Aku males urusan sama dia.”

“Kong Guan apa?”

“Kamu!!” jawabku kesal. “Udah cepet balikin. Tuh dia bawa rombongannya sekarang.”

“Tidak ... kasihan.”

“Terserah lah ... yang penting kamu urus tuh mereka.”

“Ah ..: kecil.”

Si Kingkong menyuruh Qorin anak kecil itu duduk di belakangku. Tangannya memegang badanku dengan erat, dan itu sangat tidak nyaman. Ya ... masa hantu takut jatuh sih?

Dari penglihatan mata batin, terlihat Si Kingkong sedang bermain-main dengan Siluman Kadal dan anak buahnya. Dia melempar wajah Siluman Kadal dengan cairan berwarna hitam. Wajahnya yang cantik, tiba-tiba berubah menjadi gelap. Siluman itu menangis, dan pergi entah kemana.

Gara-gara kejadian itu. Keesokan malamnya, Siluman Kadal itu datang ke rumah, membawa lebih banyak pasukan. Si Kingkong malas meladeni ‘mereka’. Dia lebih memilih bermain bersama anak-anak kucing di dalam rumah.

“Kong ... tuh banyak yang datang,” ucapku yang sedang rebahan di kasur, sambil bermain game mobile.

“Biarkan saja ... nanti juga dimakan Si Macan Kumbang (salah satu anggota ‘Trio Macan’)”

Benar saja, hanya dalam hitungan menit, sudah terjadi pembantaian. Si Macan Kumbang datang menghampiriku , membawa sesuatu. Mahkota dengan berlian berwarna hitam, yang tadi dipakai oleh Siluman Kadal itu.

“Kamu apakan dia?”

“Saya makan.”

“Dih ... beneran dimakan.”

“Tuhkan ... kamu tidak percaya,” ucap Si Kingkong yang sedang menarik-narik buntut anak kucing.

“Habisnya, akhir-akhir ini sepi. Jarang ada yang ke rumah.”

“Whatever ....” Saya tidak memperdulikan obrolan mereka. Lebih baik fokus bermain game tembak-tembakan di gadget.

*flashback off*

*

“Jadi gimana nih ... padahal saya sudah jauh-jauh datang ke sini,” protes Si Macan Putih.

“Gak usah bikin ribut, sana pulang!” balasku.

Si Belang dan Si Putih sudah menghilang, kembali ke rumah. Tinggal satu ekor ini, yang paling resek, Si Hitam (Macan Kumbang).

“Pintu keluarnya ke mana ya?” tanyaku ke Raja Genderuwo itu.

“Kamu jalan terus, nanti di depan ada pintu keluar.”

“Oh oke.”

Saya pun kembali menghidupkan sepeda motor, berlalu melewati Si Raja Genderuwo itu. Pintu keluarnya ternyata agak jauh. Harus melewati dua kandang lain.

“Mir ... itu boleh tidak?” tanya Si Hitam yang sedang memandangi sesosok wanita cantik, dengan pakaian serba merah. Sebut saja Kuntilanak Merah.

“Emang mau diapain?”

“Ya, dimakan lah,” balas Si Kingkong, lalu mereka berdua tertawa. Sepertinya Kuntilanak Merah itu tahu sedang membicarkannya. Dia pun lari ketakutan.

“Eh dia lari,” ucap Si Kingkong.

“Yahhhhh ....” Si Hitam kecewa, lalu menghilang.

Dari kejauhan, terlihat cahaya terang. Sudah pasti itu pintu keluarnya. Aku tancap gas, dan melalui cahaya itu. Lalu, ke luar di sebuah jalan setapak yang gelap, dikelilingi banyak pohon. Jalannya berbatu, membuatku melambatkan laju sepeda motor.

“Ngapain Mas lewat sini?” sapa seorang Kakek Tua yang tiba-tiba muncul dari balik pepohonan.

Reflek kuhentikan sepeda motor, “Enggak Kek,” balasku sambil tersenyum.

“Bilang aja salah jalan.” Kakek itu tertawa puas sekali, lalu menghilang.

SEKIAN
Share:

0 Comment:

Posting Komentar

-->