Penari di Balik Pondasi Jembatan. Malam ini, Hendra mengajakku bermain futsal bersama teman-temannya. Dia tidak mau bilang siapa teman-temannya itu. Setiap kali ditanya jawabannya pasti rahasia. Khawatir nanti tidak ada teman lain. Aku pun mengajak Wildan yang sedang asik berbaring di kasurnya. “Loh? Lu juga ikut, Dan?” tanya Hendra ketika aku dan Wildan menghampiri mobil. “Iye, daripada gw di kosan sendirian. Ntar diisengin,” balas Wildan sambil melirik ke arahku. “Kok gw?” elakku. “Siapa lagi yang suka nyuruh demit ketok-ketok jendela kamar gw.” “Ibu Kos kali.” “Ya kali Ibu Kos ngelayang-layang. Kan kamar gw di lantai dua.” “Oh iya.” “Udah woy, buruan naek! Malah ribut di sini,” sela Hendra. Aku dan Wildan masuk ke dalam mobil. Benar dugaanku wajah-wajah orang di dalam mobil sudah tidak asing lagi. Orang yang pernah diajak Hendra untuk penelusuran ke Rumah Sarang Kuntilanak. “Halo Kak Amir,” sapa Saiful yang duduk di bangku depan. “Eh ada Saiful,” balasku. Tentunya aku ingat dengannya. Soalnya pada saat penelusuran itu, pundaknya dijadikan tempat bersandar Kuntilanak. “Ini bukan mau penelusuran kan?” tanyaku. “Ah masa penelusuran sih? Katanya mau maen futsal. Si Amir bohong ini ma gw!” ucap Wildan kesal. “Gw kan nanya, Dan! Soalnya ini orang-orangnya sama kaya penelusuran dulu.” “Maen futsal kok, Dan. Panik amat,” balas Hendra. “Oh ... oke.” “Pulangnya baru penelusuran,” sambung Hendra disertai tawa. “Jebakan ini sih, parah si Amir.” “Gw juga gak tau, Dan. Hendra ditanya rahasia mulu jawabnya,” balasku. “Emang beneran mau penelusuran, Dra?” sambungku. “Enggak kok. Gw demen aja liat Wildan panik.” “Parah.” Wildan memukul lengan Hendra yang duduk di dekatnya. Obrolan kami bertiga sukses menjadi bahan tertawaan teman-teman Hendra lainnya. Wildan yang awalnya telihat kaku pun sudah mulai bisa mencair. Menceritakan pengalaman-pengalamannya selama tinggal sekosan denganku. Hingga tak terasa mobil sudah sampai di tempat futsal. * Tempatnya agak jauh dari keramaian kota. Namun, parkirannya terlihat lumayan ramai. Sampai detik ini, aku tidak tau alasan Hendra memilih tempat ini. Kuperhatikan deretan pohon bambu yang mengitari pagar area parkiran. Di sana sudah banyak wanita-wanita berdaster putih sedang bergelantungan. Di bagian samping gedung lapangan futsal, ada lahan kosong yang ditumbuhi rerumputan yang tinggi. Makhluk yang ada di sana sangat jauh berbeda dengan yang ada di parkiran. Didominasi oleh Siluman Ular dengan anak buahnya. Seperti biasa, aku tidak mengajak siapa pun saat ini. Takut terjadi bentrokan dengan makhluk-makhluk yang ada di sini. Tau sendiri kan bagaimana isengnya para penjagaku. “Liat apa sih, Mir? Daritadi serius amat. Ada sesuatu ya?” tanya Hendra ketika mataku sedang mengamati pohon besar di dekat pintu masuk. “Enggak,” balasku singkat. “Amir tuh kalau bilang enggak, pasti aslinya iya,” ucap Wildan. “Emang ada apa, Kak?” tanya Saiful. “Ah gak usah kepo, biarin aja.” Aku berjalan masuk ke dalam gedung. “Tuhkan.” “Tuhkan apaan, Dan? Mau liat?” tanyaku pada Wildan. “Ampun, Mir.” Di dalam gedung ternyata sudah ada beberapa teman Hendra yang menunggu. Kali ini aku tidak mengenalnya sama sekali. Mungkin mereka teman kelasnya di kampus. Setelah membagi tim, kami mulai bermain futsal. Hendra sudah mem-booking lapangan ini selama dua jam. Selama itu pula aku terganggu dengan sosok wanita yang berjalan kayang. Yang daritadi naik-turun di jaring pembatas antar lapangan. Entah maunya apa. * Di sela-sela istirahat, kami berkumpul di pinggir lapangan. “Kak, kapan penelusuran lagi?” tanya Saiful. “Waduh, males ah.” “Bukannya abis futsal mau penelusuran?” ucap Hendra. Sukses membuat cubitan keras Wildan mendarat di perutnya. “Aw, sensi banget ni anak.” “Emang mas bisa liat?” tanya salah seorang teman Hendra. “Bisa, nih sekarang lagi liat.” “Liat apa?” “Liat kamu lah, emang liat apaan?” “Maksudnya, liat makhluk gaib.” “Kata siapa?” “Tuh, kata Hendra.” “Gosip doang itu sih.” “Bohong, emang beneran dia bisa liat begituan,” sela Wildan. “Diem kali, Dan.” “Di sini ada begituan gak, Mas?” tanya teman Hendra lainnya. “Mereka tuh ada di mana-mana. Di sini pun pasti ada.” “Oh begitu, bentuknya apa, Mas?” “Pocong.” Aku menatap ke arah Wildan. “Apaan sih, Mir. Jangan nakutin dah.” “Ada di mana sekarang?” tanya Hendra. “Liat aja mata gw ke mana.” “Gak usah becanda, Mir.” Wildan menggeser tempat duduknya, mendekatiku. Aku pun tertawa. “Beneran ada?” tanya Wildan. “Kagak,” balasku. “Ah kirain beneran,” ucap Hendra. “Yuk! Maen lagi aja, gak usah dipikirin yang begituan sih. Entar mereka ke-geer-an terus ngikut sampe rumah.” Aku bangkit dan berjalan ke lapangan. Kami pun bermain satu babak lagi. Diakhiri dengan kemenangan teamku. Sebelum pulang, kami mengobrol sebentar di parkiran. “Lapar gak?” tanya Hendra. Dia paling mengerti soal urusan perut. “Huuh,” balasku. “Cari makan dulu lah kita,” ajaknya. “Lu yang bayar, Kan?” Dengan cepat Wildan menjawab ajakan Hendra. “Aman.” “Asik.” * Mobil meninggalkan tempat parkir. “Dan, lu gak pamitan dulu sama tuh cowok,” ucapku. “Cowok?” “Iya, pocong yang tadi. Kasian dicampakan.” “Bah! Beneran ada pocong, Ya?” tanya Hendra. “Iya, dia ngintilin si Wildan terus pas balik dari kamar mandi.” “Pantesan, gw merinding mulu pas di kamar mandi,” balas Wildan. “Sial banget dah lu, Dan. Masa yang ngikut pocong absurb begitu.” “Absurb gimana?” “Pocongnya cowok, tapi agak kemayu gitu.” “Banci maksudnya?” “Huuh.” “Astaga.” Mobil pun masih melaju dengan cepat, melewati jalan yang sudah sangat sepi. Ya, karena sekarang sudah jam 11 malam. “Makan di mana?” tanya teman Hendra yang memegang kemudi, sebut saja Ogi. “Tempat biasa aja,” balas Saiful. Mobil terus melaju, jika tidak salah ini arahnya menuju perbatasan antara kota dan kabupaten. Berarti akan melewati sebuah jembatan besar. Dugaanku benar, mobil melewati jembatan bercat merah. Di dekatnya ada sebuah lapangan agak besar. Yang dijadikan pusat jajanan malam. Di ujung jembatan, aku melihat seorang wanita sedang menari. Berpakaian serba hijau dengan bercak-bercak merah. Wanita itu sepertinya tau akan kehadiranku. Dia terus menatap ke arah mobil yang kutumpangi. “Ada apa, Mir? Daritadi diem aja,” ucap Wildan. “Ah, enggak.” “Pasti ada apa-apa, Kan?” “Biasa aja sih, kan udah malem juga. Terus lewat jembatan yang dibangun di zaman Belanda. Pasti banyak lah begituannya,” jelasku. “Oh, emang ada apa aja?” tanya Hendra. “Kebanyakan Kuntilanak sih, gelantungan dan duduk di tiang jembatan.” “Ih, serem aja.” Mobil berhenti di pinggir jalan, dekat dengan lapangan pusat jajanan malam. Aku masih bisa merasakan ada energi yang besar mengikutiku. Penuh dengan amarah. Namun aku masih berusaha menutup rapat-rapat gerbang dialog. “Lesehan aja yuk!” Hendra berjalan mendekati pedagang wedang jahe. Di dekatnya sudah ada tikar dan meja kecil. Kami pun duduk di sana. Satu persatu dari kami memesan makanan dan minuman. Aku masih belum bisa berkonsentrasi penuh. Sosok itu rasanya semakin mendekat. “Mir? Lu kagak kenapa-napa, Kan?” tanya Hendra. “Hah?” “Pasti ada sesuatu nih,” selidik Wildan. “Kagak.” “Kagak apaan, orang daritadi lu nengok ke belakang mulu. Ada apaan sih di belakang?” ucap Wildan sambil menoleh ke belakang. “Kagak, Dan.” “Jangan bohong, cerita aja.” “Ada cewek lagi nari, daritadi ngikutin kita.” “Seriusan?” Aku pun mengangguk pelan. “Energinya gede banget, tapi lebih ke arah negatif.” “Aih, jadi gak nafsu makan gw. Balik yuk!” ucap Wildan. “Lah, tadi lu sendiri yang suruh cerita, Dan,” balas Hendra. “Biasanya kan dia gak mau cerita.” “Terus gimana, Kak?” tanya Ogi. “Ini lagi nahan dia biar gak ngedeket.” * “Aku mati di sini,” ucap Penari itu. “Mereka semua menipuku,” sambungnya. Aku memejamkan mata, terpaksa membuka gerbang dialog dengannya. Tentunya melalui batin. “Menipu bagaimana?” tanyaku. “Mereka bilang aku diundang untuk acara pembangunan jembatan. Ternyata semua itu bohong!” Penari itu meninggikan suaranya. Dia mulai memberikan gambaran. Sebuah acara yang cukup meriah di zamannya. Lokasinya tepat di bawah jembatan. Terlihat banyak pria dan wanita Belanda sedang duduk, sambil menyaksikan pentas kesenian. Seorang wanita berparas ayu, naik ke atas panggung. Menari dengan indahnya, sambil diiringi gamelan. “Itu kamu?” tanyaku. “Iya,” balasnya. “Siapa namamu?” “Ajeng.” Setelah menari, seorang warga desa membawanya ke belakang panggung. Di sana sudah menunggu seorang pria berperawakan tinggi besar, berkulit putih dan berambut pirang. Pria Belanda. Terjadi obrolan antara Ajeng, warga desa dan Pria Belanda itu. Selanjutnya, Ajeng diajak ke sebuah rumah. “Aku diminta melayani pria itu!” ucap Ajeng. “Kenapa kamu mau?” “Terpaksa, jika aku menolak maka dia bisa saja membunuhku.” “Sama saja, Kan?” “Aku tidak menduga akan seperti ini.” Setelah memuaskan nafsu bejatnya. Pria Belanda itu kemudian menyiksa Ajeng. Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Ajeng. Ajeng pun menjerit kesakitan, terus meminta ampun. Namun semakin lama situasi tidak terkendali. Tangan besar Pria Belanda itu mencekik leher Ajeng dengan keras. Ajeng pun meronta-ronta, berusaha teriak tapi suaranya tertahan. Saat Ajeng tidak sadarkan diri, Pria Belanda itu masih terus memukuli tubuhnya. Sampai akhirnya, dia menembak tubuh Ajeng dengan senapan besar yang dibawanya. Darah pun mengalir, membasahi tubuh Ajeng. Beberapa warga desa masuk ke dalam kamar, menggotong tubuhnya yang bersimbah darah. Mereka membawa ke sebuah tiang beton, yang dijadikan pondasi jembatan. Kemudian tubuh disandarkan di antara beton dengan posisi bediri. “Aku masih bernafas,” ucap Ajeng. “Hah?” “Mereka menguburku hidup-hidup.” “Apa kamu tau alasannya?” “Tumbal. Itu yang kudengar,” balasnya. “Untuk kelancaran pembangunan jembatan, harus ada nyawa yang ditumbalkan. Mereka meminta nyawa seorang penari,” imbuhnya. “Lalu, apa maksudmu mendatangiku? Toh aku tidak akan bisa berubat apa-apa.” “Aku hanya ingin bercerita, menumpahkan kekesalanku.” “Ngomong-ngomong apa yang kamu lakukan pada orang-orang itu.” Ajeng pun tertawa melengking. “Kamu mau melihatnya?” “Tidak.” “Aku hancurkan mereka satu persatu, sampai mereka semua mati dan pergi meninggalkan desa.” “Ya sudah, sekarang kamu boleh pergi. Aku mau makan.” “Apa aku boleh datang dan bercerita lagi?” tanyanya. “Kamu harus minta izin ke dia.” Aku menatap ke atap lapak wedang jahe. Di sana salah satu penjagaku sedang duduk santai. “Monyet itu?” “Saya bukan monyet. Dasar wanita jelek!” protes si Kingkong. “Kingkong, bukan monyet,” balasku. “Sama saja.” Ajeng terbang melayang ke arah jembatan. “Huh, liat saja nanti saya ikat dia di tiang jembatan,” ucap Si Kingkong. “Jangan! Kasian.” “Lagian kamu ngapain ke sini?” “Saya kira dia punya niat jahat padamu. Ternyata hanya ingin berbicara saja.” “Ya sudah sana pergi! Aku mau makan.” Si Kingkong pun menghilang. * “Jadi gimana, Mir?” tanya Wildan. “Beres, udah pergi.” “Siplah, bisa makan dengan tenang kita.” “Tapi ....” “Tapi apa?” “Itu cowok masih ngikutin lu, Dan.” “Usirlah!” “Udah gak apa-apa, Dan. Biar pas tidur ada guling tambahan,” ledek Hendra. “Balik ah gw!” “Jalan kaki?” “Eh, iya.” Kami pun tertawa melihat tingkah Wildan. SEKIAN
Sabtu, 14 Agustus 2021
Rambut di Mangkuk Mie Ayam
Rambut di Mangkuk Mie Ayam. Wildan memarkirkan mobil di samping Pujasera. Aku sudah turun duluan dan menunggu di depan pintu masuk. Tidak lama Wildan menyusul. “Yuk!” ajak Wildan. Kami pun mengelilingi Pujasera, melihat-lihat menu makanan apa yang dijual. Ada belasan resto, yang menjual aneka makanan dan minuman. Aku pun mengamatinya satu persatu. “Jadi mau makan apa, Dan?” “Hmm ... gw lagi males makan nasi. Makan mie aja yuk!” “Ya udah lu pilih yang mana, gw sih bebas.” “Yang itu aja.” Wildan menunjuk resto di pojok kiri, yang cukup ramai. “Kenapa gak yang itu aja.” Aku menunjuk resto di sebrangnya, yang agak sepi. “Sepi gitu, berarti kurang enak makanannya.” “Ah so tau, kalau rame gw males antrinya. Dah laper banget nih.” “Gw ngalah dah. Tadi katanya bebas, tetep aja lu yang milih,” keluh Wildan seraya berjalan ke arah resto rekomendasiku. Aku mengikutinya dari belakang. Di depan resto, terpampang menu olahan mie. Kami berdiri sebentar sambil melihat menu dan harganya. “Cocok?” tanyaku. “Ya udah.” Wildan masuk ke dalam. “Selamat malam,” sapa salah satu pekerja resto. Kami hanya membalasnya dengan senyum. Setelah memilih tempat duduk. Tidak lama pramusaji pun datang, memberikan kertas menu. “Langsung aja, Mbak.” Sebelumnya Wildan sudah memilih menu duluan. “Mie Ayam Bakso plus Ceker pedas ya.” “Saya yang tanpa Ceker,” pesanku. “Minumnya?” “Es teh manis aja, dua.” “Ditunggu ya, Mas.” Pramusaji itu menuju kasir dan memberikan daftar pesanan kami. * “Kenapa gak yang itu aja si, Mir?” bisik Wildan, yang masih mengingikan makan di resto sebrang. “Yang rame belum tentu enak.” “Kalau gak enak, gak mungkin rame.” “Lu gak inget makan Soto di jembatan dulu? Enak dan rame tapi ....” “Ada bocah kencingin kuah sotonya. Huek, jadi jijik kalau inget itu, Mir.” Wildan memotong ucapanku. “Mangkanya.” “Di sini aman kan?” “Insya Allah.” “Kalau di sana?” “Argh ... lu mancing-mancing.” “Aman?” Aku menggelengkan kepala. “Oh ... ya sudah lah sekarang gw ikhlas makan di sini.” Wildan pun tertawa. Pramusaji mengantarkan dua mangkuk mie ayam beserta minumannya. Setelah itu kembali ke tempat duduknya di dekat kasir. “Baca doa dulu!” perintahku pada Wildan yang sedang mengaduk-aduk Mie Ayam. “Pasti.” Beberapa saat kemudian .... “Tuhkan kurang enak, Mir,” bisik Wildan. “Masa sih?” Aku pun mengaduk-aduk Mie Ayamnya. Setelah menambahkan sedikit sambal, lalu menyantapnya. Ehem! “Nah kan ....” Wildan tersenyum. “Kali ini lu salah, Mir,” sambungnya. Lagi-lagi aku berdehem, merasakan seperti ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokan. Sudah kucoba meminum beberapa teguk teh, tapi rasa gatalnya belum juga hilang. Curiga, aku memfokuskan padangan pada mangkuk mie di hadapanku. “Rambut?” pikirku ketika melihat ada beberapa helai rambut di mangkuk mie. Aku mengaduknya perlahan. Ternyata jumlahnya lumayan banyak. Spontan aku menoleh ke kiri dan kanan melihat situasi resto. “Ah ... pantesan,” gumamku. “Napa, Mir?” “Kagak.” Aku membaca doa sambil memegang memegang ujung meja. Seketika itu rambutnya menghilang. “Coba lu makan lagi,” pintaku pada Wildan. “Gak enak, Mir. Dagingnya bau, entar gw muntah gimana?” Wildan menolak. “Percaya sama gw, coba lagi. Nih liat gw aja makan.” Wildan pun akhirnya menurut dan kembali memakan Mie Ayam itu. “Loh kok?” “Enak kan?” “Iya ... rasanya bisa berubah, aneh banget.” Wildan melanjutkan makan. “Nanti gw ceritain,” balasku ikut melanjutkan makan. * Selesai makan, kami langsung beranjak dari tempat duduk. “Dan, biar gw aja yang bayar,” ucapku sambil berdiri. “Asik ... tumben.” Wildan ikut berdiri. “Ya gak apa-apa, ada yang musti gw omongin sama ibu-ibu itu.” Aku mengarahkan pandangan pada seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di balik meja kasir. “Ya udah, gw duluan ya. Mau beli Pop Ice.” “Ya ampun ... tapi lu gak mau tau, Dan?” “Enggak ah, takutnya malah mual ntar.” Wildan pun berjalan ke luar resto, sedangkan aku sudah berdiri di depan kasir. Ibu kasir sudah menyambutku dengan senyuman hangat. Aku membuka dompet dan memberika satu lembar uang 100.000. “Bu, boleh saya tanya?” ucapku sambil menunggu uang kembalian. “Ya, ada apa, Dek?” “Udah berapa lama restonya sepi?” “Beberapa bulan terakhir ini agak sepi. Langganan yang biasa datang juga udah gak pernah kemari,” ucap Ibu itu sambil memegang uang kembalianku. “Ini Dek kembaliannya.” Ibu itu memberikan kembalian. “Hmm ... maaf nih, Bu. Kayanya resto ibu ada yang jailin,” ucapku blak-blakan. “Ibu juga merasa begitu. Banyak yang makan di sini komplen. Ada yang bilang dagingnya bau dan busuk, padahal selalu baru. Rasa Mie dan bumbunya juga katanya hambar dan gak enak. Padahal dari dulu resepnya selalu sama.” Ibu itu menjelaskan dengan mata berkaca-kaca. “Intinya, ada yang menyimpan sesuatu di sini. Supaya resto ibu tidak laku. Ibu gak perlu cari tau siapa orangnya. Yang jelas, sekarang ibu harus berusaha mengusirnya.” “Gimana caranya, Dek?” “Setiap hari, ibu siapkan satu ember air. Terus dibacain al Fatiha, ayat kursi dan tiga Qul. Setiap selesai membaca satu kali, tiupkan ke embernya. Lakukan sebanyak tiga kali. Sebagai bonusnya, ibu baca atau putar murotal Qur’an khusus surat Al Baqarah juga. Nanti, airnya bisa dipergunakan untuk mengepel lantai restonya. Lakukan rutin, insya Allah, jin negatifnya gak bakal betah.” “Wah ... makasih banyak, Dek.” “Sama-sama, Bu.” Aku pun berlalu ke luar resto. * “Wildan kemana ya?” ucapku dalam hati sembari berjalan mengelilingi resto. Ting! Ada pesan Whatsapp dari Wildan. [Mir, gw udah ada di mobil] [Loh? Kagak jadi beli Pop Ice?] [Kagak, malu gw banyak bocah] [Wkwkwkwk] Aku pun berjalan menuju parkiran. Wildan sudah menungguku di balik setir mobil. “Gimana, Mir?” tanyanya ketika aku masuk ke dalam mobil. “Beres.” Aku tersenyum lebar. “Emang tadi kenapa sih? Kok bisa begitu?” “Ih ... tadi katanya gak mau tau.” “Kepo juga gw, Mir.” Wildan pun tertawa. “Resto tadi ternyata dikerjain sama orang.” “Dikerjain gimana?” “Ada orang yang mau bikin resto itu gak laku.” “Terus ....” “Nah orang itu, nyimpen sesuatu di sana.” “Nyimpen apaan?” “Pocong.” “Ish ... ngeludah?” “Kagak, kalau ngeludah sih makanannya jadi enak, kaya ....” “Kaya apa?” “Kaya resto di sebrangnya,” “Oh pantesan lu kagak mau makan di sana. Tapi biasanya kan ngeludah tuh Poci.” “Yang ini enggak, dia cuman diem doang deket tempat godokan mie. Terus ngibas-ngibasin rambutnya.” “Dih ... emang pocong ada rambutnya? Pan ketutupan sama kain kafan.” “Lu juga kalau pake topi, masa gw bilang gak ada rambut.” Wildan pun tertawa. “Terus sama lu diapain?” tanya Wildan. “Lu tadi liat gw doa sambil megang meja?” “Iya.” “Nah itu gw lagi ngusir tuh Poci, balik ke yang ngirimnya.” “Emang lu tau yang ngirimnya siapa?” “Lah tadi kan lu mau makan di sana.” “Oooh ... okay, pantesan.” Percakapan selesai, kami pun pergi meninggalkan Pujasera dengan hati yang senang. SEKIAN
Selasa, 10 Agustus 2021
Jambak Rambut Kuntilanak
Jambak Rambut Kuntilanak
(Penyelusuran ke Sarang Kuntilanak). “Mir, temenin gw yuk!” ajak Hendra yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarku.
“Kemana?”
“Jalan-jalan ajalah, yuk!”
“Malem-malem? Jalan-jalan kemana nih?” tanyaku.
“Temenin gw penyelusuran.”
“Bilang kek dari tadi, duh gw lagi mager banget, Hen.”
“Ayolah, lu temenin aja, gak usah ngapa-ngapain.”
“Ujung-ujungnya, gw lagi yang kena kan?” Hendra pun cengengesan.
“Ayo, Mir! Bantuin temen lah.”
“Jawab dulu, mau penyelusuran kemana?”
“Ke Rumah Kosong di Jalan Gading, tau kan lu?”
“Ya.”
“Katanya banyak Kuntilanaknya, gw pengen tau bener atau gak.”
“Hadeh, gak ada kerjaan amat dah.”
“Yuk, yuk, ntar gw kasih sesajen.”
”OK! Nasi Bebek Penyet Komplit ya. Deal?”
“Sip,” balas Hendra sambil mengangkat jempolnya.
“Gw siap-siap dulu bentar, hus!”
*
Aku pun ke luar kosan. Di parkiran, Hendra sudah berdiri menungguku.
“Udah, Mir?” tanyanya.
“Hayu lah.”
“Lu bawa siapa, Mir?”
“Gak bawa siapa-siapa, lah katanya tadi gw gak usah ngapa-ngapain.”
“Kalau ada apa-apa gimana?”
“Ya ... ntar juga pada datang sendiri.”
Dilema memang, kalau mengajak Tebo nanti Kuntilanaknya malah dipinang. Terus ... dibawa ke pohon nangka di samping kosan. Ujung-ujungnya tiap malem pada berisik. Tidak jarang malah mengintip penghuni kosan pas lagi mandi.
Kalau bawa Si Hitam atau Si Kingkong, bisa-bisa belum mulai sudah pada bubar duluan. Atau ... malah bikin rusuh, kaya kejadian di penyelusuran sebelumnya. Jadi, kali ini biar aku sendiri saja, toh cuman Kuntilanak.
Hendra mengajakku berjalan ke jalan utama. Disana sudah ada sebuah mobil minibus, terparkir di pinggir jalan. Terlihat beberapa orang sudah menunggu kehadiran kami.
“Banyak juga ya?” tanyaku.
“Berdelapan, sama lu.”
Setelah memperkenalkan diri, aku pun langsung masuk ke dalam mobil, duduk di kursi paling belakang, di samping Hendra.
*
“Mas, kata Hendra penyelusuran terakhir rusuh ya?” tanya salah satu teman Hendra, sebut saja Saiful.
“Iya,” balasku.
“Itu gara-gara apa, Mas?”
Tidak mungkin aku bilang, itu semua karena ulang Si Kingkong melepaskan beberapa Jin anak kecil yang disekap oleh Jin Pesugihan.
“Ada yang sompral dan songong, jadi pada marah,” balasku.
“Saran gw sih, nanti jangan ada yang sompral. Jaga sopan santun. Takutnya nanti ada yang ikut pulang kan berabe,” sambungku.
“Iya, Mas.”
*
Kami pun sudah tiba di lokasi penyelusuran. Sebuah rumah megah yang sudah lama terbengkalai. Rumahnya memilki dua lantai. Cat temboknya sudah kotor menghitam dan hampir semua jendelanya sudah pecah.
Dari pagar depan sampai teras depan, sudah ditumbuhi ilalang. Jujur, aku lebih takut bertemu ular daripada penghuni rumah ini.
“Gimana, Mir?” tanya Hendra.
“Gimana apanya?” Aku bertanya balik.
“Rumahnya lah, rame gak?”
“Oh ... ya mayan sih, tadi udah ada yang duduk atas atap sama balkon,” balasku.
“Kunti?”
“Huuh.”
Kami semua pun masuk ke dalam. Hawanya terasa sangat dingin sekali. Tiba-tiba, suasananya berubah menjadi lebih pengap. Beberapa anggota penyelusuran sudah mulai merasakan perubahan itu.
“Merinding banget gw,” ucap salah satu anggota. Aku pun hanya tersenyum mendengar reaksi mereka.
Saiful mulai mengeluarkan kamera dari dalam tasnya, merekam situasi sekitar.
“Oalah malah pada nge-vlog,” ucapku dalam hati.
Bosan, aku mencari tempat duduk sambil menunggu mereka selesai nge-vlog. Terlihat sebuah papan kayu tergeletak dekat tembok. Tidak pakai lama, aku duduk di sana, sambil menyandarkan punggung ke tembok.
•
“Ada apa sih rame-rame.” Terdengar suara wanita dari plafon yang bolong.
“Iya,” sahut suara wanita lainnya.
“Ih, cakep banget.”
“Aku mau yang itu ah ....”
“Itu cakep juga, yang duduk di deket tembok.”
Aku pun menengadah, terlihat beberapa Kuntilanak sedang duduk di plafon yang bolong, sambil ongkang-ongkang kaki.
“Eh, dia liat kemari, hihihihi,” ucap salah satu Kuntilanak diiringi tawa genitnya.
“Ya Allah, udah mati aja mati begitu, gimana pas hidup,” ucapku dalam hati.
Jumlahnya tidak hanya satu atau dua, tapi sudah puluhan Kuntilanak berkumpul, mengelilingi kami. Sebagian besar duduk di plafon dan tangga. Salah satu Kuntilanak mulai melayang-layang di atas kepala Hendra.
“Jangan ganggu dia, nanti ada yang marah,” ucap salah satu Kuntilanak yang lebih senior. Dia sedang duduk di dekat tangga, matanya terus menatap ke arah Hendra. Aku hanya bisa tertawa geli, melihat tingkahnya.
“Yang ini aja, deh.” Kuntilanak itu terbang ke salah satu anggota dan memeluknya dari belakang. Suara tawa ‘mereka’ pun saling bersahutan.
Kuntilanak yang sedang duduk di plafon sudah mulai turun mendekati Hendra dkk. Ada yang sedang menatap dari dekat. Ada juga yang meraba-raba anggota tubuh anggota lain.
“Pegel ya?” kataku pada Saiful yang sedang memegang kamera.
“Iya, Mas,” balasnya.
“Ada yang nyender di pundak lu tuh,” ucapku.
“Yang bener, Mas?”
“Iya, dua biji pula.”
“Trus gimana, Mas?”
“Baca doa aja dalam hati, ntar juga pergi sendiri.”
Kuntilanak itu mulai tidak nyaman, sedikit demi sedikit mulai menjauh dari Saiful.
•
“Ih ... kayanya dia bisa liat kita deh,” keluh Kuntilanak itu.
“Masa sih?” balas Kuntilanak lainnya.
“Coba kamu cek!” perintah Si Kuntilanak Senior.
Salah satu Kuntilanak mulai melayang ke arahku. Dia melambai-lambaikan tangannya, tepat di depan wajahku. Aku tak bergeming, berpura-pura tidak melihat. Setelah itu, dia mulai mengibas-ngibaskan rambut panjang ke wajahku, geli rasanya. Lagi-lagi, aku berusaha menahannya.
“Kayanya gak bisa liat,” ucap Kuntilanak itu lalu melayang menjauh dariku, kembali mendekati Saiful.
“Masa sih?” Datang Kuntilanak lain mendekat. Dia mulai membelai-belai rambutku, menyandarkan tubuhnya yang bau itu. Aku menutup mata, berusaha konsentrasi untuk melepaskan sukma.
“Nakal banget sih lu!” ucapku sambil menjambak rambutnya dari belakang.
“Ah ... sakit!” teriak Kuntilanak itu.
“Mangkanya gak usah iseng, mandi sana badan lu bau.”
“Ampun-ampun.”
Seketika suasana ruangan menjadi riuh, banyak suara saling bersahut-sahutan.
“Dia bisa liat ternyata.”
“Iya ... ih, kabur ah.”
“Kasian Si Reni.”
*
“Argh ... lepasin aku, sakit tau!” ucapnya.
“Pergi! Jangan ganggu, gak tau orang lagi mager apa!”
“Iya ... iya.”
Aku lepaskan genggaman. Kuntilanak itu langsung terbang menembus plafon.
*
Bau anyir bercampur busuk mulai menyeruak memenuhi ruangan. Aku sudah tau, ini pasti tanda kedatangan Kuntilanak Merah. Sepertinya Kuntilanak tadi mengadu pada pimpinannya.
Tidak hanya satu, ada dua Kuntilanak Merah mulai turun dari plafon. Dari wajahnya terpancar amarah yang lumayan besar.
“Pergi!” teriaknya sambil melotot ke arahku.
“Hihihihi ....” Kuntilanak Merah kedua tertawa melengking. Suara tawanya sampai terdengar oleh beberapa anggota.
Beberapa anggota mulai mengalami sesak nafas, karena tubuhnya dihimpit oleh anak buah Kuntilanak Merah itu. Yang lain, ada yang pusing, mual dan pundaknya berat. Dengan cepat aku berlari mendekati mereka, mengusir anak buahnya itu.
“Dra, pulang sekarang!” ucapku pada Hendra yang nampak panik.
“Tapi, Mas ...,” sela salah satu anggota.
“Pulang sekarang atau makin parah. Pemimpinnya udah marah banget itu.”
Mereka pun menurutiku, mulai membereskan barang dan ke luar dari rumah. Namun ada yang masih belum puas. Kuntilanak Merah itu masih mengejar salah satu anggota, mendorongnya hingga jatuh tersungkur.
“Woi!” teriakku mambalikan badan, bertolak pinggang dan melotot pada Kuntianak Merah itu.
•
“Jangan macam-macam kamu anak kecil,” balasnya.
“Yeeee ... mau gw kepang tuh mulut?” terdengar suara dari sosok yang aku kenal.
“Tebo, ngapain lu dimari?” tanyaku pada Sosok Genderuwo itu.
“Disuruh Si Macan, padahal gw lagi asik tidur tadi.”
“Hey! Tadi apa lo bilang? Badan borokan gitu, mau gw cakar-cakar?” ancam Tebo pada Kuntilanak Merah itu.
“Beuh, kaya kulit lu halus aja, Bo,” ucapku.
“Diem, Mir!” balasnya.
“Anak ini udah ganggu kami, dia juga melukai anak buahku,” balas Kuntilanak Merah itu.
“Emang lu apain anak buahnya, Mir?” bisik Si Tebo.
“Gw jambak, abis ganggu banget.” Si Tebo pun tertawa.
“Pergi, jangan balik kesini lagi!” ucap Kuntilanak Merah.
“Iya, ini udah mau pulang, lu malah dorong temen gw,” balasku.
“Cepat pergi!”
“Cerewet bener ini cewek jelek, Mir. Gw iket di pager aja gimana?” ucap Si Tebo.
“Jangan, ntar kalau ada orang lewat kasian.”
“Ya udah, sip. Dah balik, ntar makin rame. Gw lagi males buang-buang energi lawan beginian. Mau lanjut tidur lagi.”
“Awas ya, kalau ada anak buah lu yang ngikut. Gw makan ntar,” ancam Si Tebo pada Kuntilanak Merah itu. Kuntilanak yang tadi menonton di balkon dan atap, langsung berhamburan masuk ke dalam rumah.
•
“Gimana, Mir?” tanya Hendra.
“Aman, gak ada yang ngikut kok.”
“Udah pada enakan?” tanyaku pada semua anggota penyelusuran.
“Alhamdullilah, Mas. Udah gak mual sama pusing lagi,” balas Saiful.
“Sebelum pulang baca doa dulu.”
Kami semua sudah masuk ke dalam mobil. Pergi meninggalkan lokasi penyelusuran itu.
“Mir, tadi kenapa sih sampe marah?” tanya Hendra.
“Hmm ....” Aku tidak bisa mengungkap alasannya. Kan aneh, masa gara-gara aku menjambak rambut Kuntilanak.
“Mereka keganggu aja sama kehadiran kalian,” ucapku.
“Owh begitu, emang lu gak minta izin dulu, Mir?”
“Enggak,” balasku cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Pantesan.”
SEKIAN
.
Apa Salah Saya?
Apa Salah Saya? Daritadi aku hanya duduk di teras sembari memainkan ponsel. Jemariku naik-turun di atas layar ponsel. Untuk me-refresh halaman grup literasi. Mencari cerita seru yang inginku baca malam ini. Sampai akhirnya kutemukan satu cerita dan mulai membacanya. “Apa salah saya?” tanya sesosok makhluk hitam kehijauan yang berdiri di pojokan. Dia berjalan mendekat dengan sorot mata tajam dan merah menyala. “Eh, kamu,” ucapku menyambut sosok itu. “Kenapa kamu tidak melanjutkan membaca ceritanya?” tanyanya yang sudah berdiri di sampingku. “Mangkanya jangan ganggu.” Kulanjutkan membaca beberapa baris tulisan itu. “Apa salah saya?” tanyanya lagi. Aku meliriknya. Mulutnya menganga, menunjukan deretan gigi tajam. Lalu, memamerkan kukunya yang panjang. “Kenapa kamu marah?” tanyaku heran dengan tingkahnya itu. “Saya kesal mendengar cerita itu.” Ah ... aku lupa kalau mereka bisa mendengar ketika membaca dalam hati. “Apa yang membuatmu kesal?” “Dia bilang kami itu jahat dan menyeramkan,” ucapnya. Dengusan nafasnya semakin terdengar jelas. Aduh, sepertinya dia lupa dengan dirinya sendiri. “Tapi ... memang kalian itu menyeramkan. Lihat saja di kaca jendela! Seseram apa wajahmu itu.” Dia melihat kaca jandela. “Seramkan?” “Tidak!” “Bagimu tidak, tapi bagi kami iya.” “Lalu, kenapa kami dibilang jahat?” “Hmm ....” Aku berpikir sejenak, mencari jawaban atas pertanyaannya itu. “Bangsamu sering mengganggu bangsaku. Malahan kamu pernah mencoba membunuhku kan?” balasku. “Itu ketika saya masih mengikuti perintah dukun, tapi sekarang tidak lagi.” “Nah ... masih banyak bangsamu yang bekerja untuk dukun. Dan mengganggu kehidupan kami.” “Padahal bangsamu itu yang mengganggu kami lebih dulu,” ucap Sosok Hitam itu. “Maksudmu?” “Kami ini bangsa berumur panjang. Hidup kami damai sebelum bangsamu datang. Dulu ... kami tinggal di pohon-pohon tua. Tanpa pernah mengganggu bangsamu sedikit pun. Semenjak bangsamu datang, mulailah terjadi gesekan. Sampai akhirnya, mereka mengusir kami. Lalu ... menebang pohon itu. Padahal kami hanya bermaksud menjaga sumber kehidupan mereka,” jelasnya. “Kasian juga kamu,” ucapku. “Tidak sampai disitu! Mereka menangkap beberapa anggota keluarga saya. Termasuk anak kesayangan saya. Lalu ....” “Lalu apa?” tanyaku sembari memperhatikan raut wajahnya yang mulai berubah. Aku pun mulai merasakan ada kesedihan yang mendalam. “Mereka membunuh anak saya.” “Kejam sekali.” “Jadi siapa yang jahat?” tanyanya. “Bangsamu juga jahat. Sering membunuh bangsaku. Apakah kamu pernah menghitung? Berapa banyak nyawa yang sudah kamu ambil selama bersekutu dengan dukun itu?” Sosok menyeramkan itu terdiam. “Saya terpaksa. Dukun itu menahan istri dan anak saya. Jika saya tidak mengikuti perintahnya, maka kami semua akan dibunuh.” “Sekarang dimana istri dan anakmu?” “Mereka berdua sudah dibunuh oleh dukun itu. Gara-gara saya mengikutimu.” “Duh kasihan sekali.” * “Sekarang giliranku bertanya, apa benar yang diceritakan orang-orang. Kalian suka meniduri seorang wanita, bahkan hingga hamil?” tanyaku pada Sosok Hitam itu. “Menurutmu? Apa kami bisa melakukan itu?” “Bisa. Kalian diberi kemampuan untuk berubah wujud menjadi manusia.” “Saya tidak pernah berbuat seperti itu!” “Bukan kamu, tapi yang lain.” “Mungkin, tapi itu jarang terjadi. Lagian apa salah kami? Wanita-wanita itu tidak membentengi dirinya. Mudah sekali terkena tipu daya. Malahan banyak yang berbohong.” “Berbohong?” “Mereka mengaku dihamili bangsaku. Padahal itu ulah bangsamu sendiri. Hanya untuk menutupi perbuatan buruknya, lalu seenaknya memfitnah kami.” “Hahaha ... ada-ada saja,” balasku disertai tawa. “Terus, kenapa bangsamu sering sekali masuk ke dalam rumah. Lalu, mengganggu penghuni di dalamnya,” imbuhku. “Kami hanya ingin mencari tempat tinggal. Mengisi ruang-ruang kosong di rumah kalian. Yang bahkan kalian sendiri jarang sekali menempati atau membersihkannya.” “Hmm ... kenapa kalian tidak mencari tempat di hutan atau gunung saja? Agar tidak menganggu kami. Dan kecil kemungkinan ditangkap atau dibunuh.” “Kamu pikir pindah ke sana itu mudah?” “Kan tinggal terbang saja, sebentar juga sampai.” “Tidak bisa seperti itu. Hutan atau gunung memiliki penjaga. Kami tidak bisa sembarang masuk ke dalam. Kecuali ada seseorang yang meminta izin dan membawa kami ke sana.” “Membawa gimana?” “Menggendong kami sampai ke sana, hahaha,” sosok Hitam itu tertawa. “Stt ... sudah kubilang jangan tertawa di rumahku. Jika tetangga dengar nanti akan heboh.” “Maaf.” “Kenapa harus digendong?” “Begitulah syaratnya jika ingin memindahkan kami secara baik-baik.” “Repotnya, badan sebesar itu pasti sangat berat.” “Haha ....” Aku melotot ke arahnya, agar berhenti tertawa. “Maaf, saya lupa.” “Mau kemana kamu?” tanyaku ketika melihatnya terbang menjauhiku. “Berbicara denganmu menghabiskan energiku. Saya lapar, mau mencari makan.” “Aku tidak akan memberimu makan.” “Saya sudah tau, lihat saja daritadi Macan itu terus melotot ke arahku.” “Ya cari saja makanan di tong sampah. Jangan sampai terlihat oleh orang lain.” “Ih ... saya tidak mau berebut makanan dengan makhluk kecil itu,” ucapnya sambil menoleh ke arah kucing orange yang lewat di depan rumah. “Terus kamu mau makan apa?” “Bolehkah saya memakan Kuntilanak di atap rumahmu itu?” “Jangan, dia tidak mengganggu. Cari yang lain saja. Yang sering mengganggu warga sini.” “Baiklah.” Sosok Hitam itupun menghilang dari hadapanku. SEKIAN
Senin, 09 Agustus 2021
Mati Sendirian
Mati Sendirian. “Nek ... jangan di sini,” ucapku sembari menatap seorang nenek berpakaian lusuh dan kotor penuh dengan tanah. “Apa salah saya, Nak?” “Nenek gak salah apa-apa.” “Lantas, kenapa semua pergi meninggalkan saya?” Kutatap wajahnya. Ada gurat kesedihan yang amat dalam. Bahkan sedikit demi sedikit mulai aku rasakan. “Tapi Nek ... kasian teman saya kalau nenek tetap di sini.” “Apa aku ibu yang jahat?” “Nenek bukan ibu yang jahat.” “Kenapa anak saya pergi?” * Gambaran demi gambaran muncul. Sampai pada masa dimana nenek itu masih muda. Mungkin lebih dari setengah abad lalu. Jauh sebelum kos-kosan ini dibangun. Seorang ibu sedang menjajakan dagangannya. Sebuah tampah ditaruh di atas kepalanya penuh dengan berbagai jenis kue. Tangan kanannya membawa jinjingan rotan. Sedangkan tangan kirinya menggenggam tangan seorang anak kecil. Ada kain batik mengitari tubuhnya. Kain itu dilebarkan, agar bayi mungil itu bisa tidur dengan nyaman. Sungguh wanita yang kuat, berjualan sambil membawa kedua anaknya. Menjelang magrib, dia sudah kembali ke rumah. Sebuah rumah yang terbuat dari bilik bambu yang mulai menghitam. Sebagian atap rumahnya pun terlihat nyaris ambruk. Dia hanya hidup bertiga, dengan kedua anaknya yang masih kecil itu. Tanpa suami. Yang pergi entah kemana. Hari demi hari mereka lalui dengan hidup sangat sederhana. Tidur beralaskan tikar. Untuk makan sehari-hari tergantung upah hasil berjualan kue. Jika tak ada uang, dia akan memakan ketela yang ditanam di belakang rumahnya. * Singkat cerita, sang anak sulung kini sudah beranjak dewasa. Dia meminta izin untuk pergi merantau ke kota. Demi kehidupan yang lebih layak. Dengan berat hati, nenek itu melepaskan kepergiannya. Kini hanya tinggal dia dan si Bungsu. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Tak terasa, sudah hampir tiga tahun nenek itu belum bersua dengan anak sulungnya. Setiap malam, dia duduk di bangku kayu, di teras rumahnya. Menantikan kepulangan anak sulungnya itu. Namun dia tak juga kembali. Dia hanya bisa memendam rasa rindunya itu selama bertahun-tahun. Waktu berlalu begitu cepat, sampai anak bungsunya pun sudah tumbuh dewasa. Dia meminta izin untuk pergi merantau. Mengikuti jejak kakaknya. Dengan tegas, nenek itu menolak. Khawatir dia pun tak kembali seperti kakaknya. Namun anaknya itu bersikukuh untuk tetap pergi. Akhirnya nenek itu tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa melepas anaknya untuk mencari kehidupan di kota. Keseharian nenek itu hanya duduk melamun di teras. Menunggu kedua anaknya yang tak kunjung pulang. Tubuhnya yang semakin menua sudah mulai menghambat aktifitasnya. Dia tak lagi bisa berjualan, hanya mengharap belas kasihan tetangganya. Memendam rasa rindu yang teramat dalam sungguh menyakitkan. Penyakit pun mulai berdatangan, menghinggapi tubuhnya yang semakin kurus. Bahkan untuk berjalan saja sudah sangat sulit. Malam itu, mungkin bisa dibilang malam terakhir di hidupnya. Tubuhnya demam tinggi dan mengigil. Dalam keadaan setengah sadar, berkali-kali dia menyebut nama kedua anaknya. Dia pun berusaha bangkit. Dengan sekuat tenaga menyeret tubuhnya ke pintu depan. Berharap ada seseorang yang menolongnya. Namun ... belum sampai di depan pintu. Tubuhnya sudah roboh, tak kuat lagi menahan sakit. Nafasnya perlahan-lahan memendek, diikuti pandangan yang kian meredup. Nenek itu akhirnya meninggal. Mati sendirian, tanpa kehadiran orang-orang terdekatnya. Jiwanya sudah pergi, tapi tidak dengan Qorinnya. Sepeninggalannya, sering terdengar suara isak tangis dan meminta tolong dari dalam rumah. Warga pun kerap kali melihat sosok yang menyerupai Nenek itu sedang duduk di teras rumahnya. Karena membuat resah, akhirnya warga sepakat untuk merobohkan rumah itu. Yang lambat laun berubah menjadi lahan kosong. Dan kini telah berdiri kos-kosan tempat Hendra tinggal. * Tak terasa air mataku menetes, melihat ‘flashback’ yang menyedihkan itu. “Napa lu, Mir? Kelilipan?” tanya Hendra heran. “Iya, kelilipan sendal,” balasku. “Abisnya tumben nangis.” “Kagak! Ini cuman keringet,” elakku. “Ah bohong!” “Ya udah, si Nenek gw biarin di sini aja ya?” ancamku. “Dih ... ngambek. Pindahin dong, Mir! Gw takut.” Ya ... untuk orang yang awam, sosoknya memang mengerikan. Begitu pula Hendra, yang belum lama ini bisa melihat ‘mereka’. Padahal di balik wajahnya yang menyeramkan itu, tersimpan sebuah cerita yang sangat menyedihkan. Sehingga ada rasa tak tega untuk mengusirnya pergi. “Ya bentar gw coba negosiasi, mau gak si Nenek pindah. Kalau gak mau ya nasib dah, Hen. Setidaknya lu ada yang nemenin di kamar.” “Jangan gitu lah, Mir.” Aku kembali berkomunikasi dengannya. Setelah negosiasi yang cukup alot. Akhirnya nenek itu mau pindah ke tempat yang agak jauh. Supaya tidak mengganggu penghuni kosan, terutama Hendra. SEKIAN
Kakek di Gerbang Pemakaman
Kakek di Gerbang Pemakaman. Sudah menjadi kegiatan rutin setiap lebaran. Aku dan keluarga pergi mengunjungi makam ayah dan kakak. Letaknya di sebuah pemakaman umum di tengah kota. Siang ini jalan utama agak sepi. Berbeda sekali dengan kemarin yang macet parah. Apa mungkin orang-orang masih sibuk bersilaturahmi. Atau ... malah tidur karena kekenyangan. Mobil mulai masuk ke jalan di dekat area pemakaman. Jalanan sudah mulai padat. Akibat banyak mobil parkir di pinggir jalan. Ibu meminta Akbar mencari tempat parkir yang agak jauh. Daripada harus terjebak macet di depan pemakaman. Setelah itu kami lanjutkan dengan berjalan kaki. Tibalah kami di gerbang pemakaman. Dari sana aku bisa melihat dengan jelas makam kakak. Yang terletak di samping pos penjaga. Sedangkan makam ayah agak jauh di tengah. Aku berjalan pelan-pelan melewati jalan setapak di pinggir makam. Sebelumnya aku sengaja untuk tidak mengaktifkan mata batinku. Soalnya masuk ke tempat yang ‘ramai dengan mereka’ pasti akan menghabiskan banyak energi. * Sampailah kami di depan makam ayah, lalu berdiri mengelilinginya. Bergegas kami membersihkan makam, soalnya langit sudah mulai mendung. Takut hujan. Dani mulai memimpin doa. “Amir, bersihin makam Faisal sana!” bisik Ibu, mengganggu konsentrasiku yang sedang berdoa. “Iya.” Aku berjalan ke arah makam Kak Faisal. Sedangkan Dani, Akbar dan Ibu masih melanjutkan doanya. Jika Kak Faisal masih ada, usainya hanya terpaut satu tahun denganku. Saat itu, baru satu hari dia dilahirkan, tapi Allah memintanya untuk kembali. Mungkin Allah jauh lebih sayang padanya. Aku berdiri di samping makam Kak Faisal. Makam yang berukuran kecil, tidak lebih dari satu meter. Dengan keramik berwana biru menghijau. Yang sebagian besar sudah mulai rusak. Aku jongkok. Lalu, mulai membersihkan makam. Baru saja akan membaca doa. Dari ekor mata terlihat seorang kakek mondar-mandir di gerbang pemakaman. Duh, padahal sudah berusaha untuk tidak melihat ‘mereka’. Namun tetap saja ada yang lolos. Selama membaca doa, sesekali aku menoleh ke arahnya. Dia terus mondar-mandir tidak jelas. Menghampiri para peziarah yang melewati gerbang. Apakah itu bentuk sambutan darinya? Entahlah, aku tak peduli. Selesai membaca doa. Aku kembali menoleh ke arahnya. Ya ... ternyata dia masih ada di sana. Ada rasa penasaran untuk tahu lebih dalam mengenai si Kakek ini. Kenapa dia daritadi mondar-mandir? * Aku pun berjalan mendekati gerbang. Duduk di sebuah kursi kayu di samping pos penjaga. Dan mulai berkonsentrasi. “Bu ... liat anak saya?” “Pak ... liat cucu saya?” “Dek ... bisa antarkan saya pulang?” Kakek itu terus bertanya pada orang-orang yang melewati gerbang. Aku pun mencoba bertanya padanya. Tentunya tidak dalam wujud manusia, tapi astral. “Kek, kenapa mondar-mandir di sini?” tanyaku. Matanya terbelalak, mungkin dia kaget melihatku yang tiba-tiba ada di dekatnya. “Kamu berbicara dengan saya?” “Iya. Siapa lagi?” “Akhirnya ... sudah lama, saya bertanya-tanya. Tapi tidak ada satupun yang menanggapinya. Mungkin mereka tidak suka dengan saya yang lusuh ini.” “Bukan tidak suka, Kek. Tapi kakek sudah berbeda alam dengan mereka.” “Berbeda gimana. Sama-sama manusia kok. Kamu aja bisa liat saya.” “Ya ... gimana ya ... gak semua orang bisa liat kakek.” “Terus kamu ngapain dekat-dekat saya.” “Lah, saya kan nanya. Kakek ngapain mondar-mondar di sini?” “Saya tidak tahu, Nak. Bangun-bangun saya sudah ada di sini. Terus saya bertanya pada orang-orang lewat untuk diantarkan pulang?” “Emang di mana rumah kakek?” “Saya lupa, Nak.” “Wuaduh, sama aja boong dong.” “Biasanya anak dan cucu saya datang ke sini. Saya hanya tinggal mengikuti mereka saja. Tapi ... sudah lama mereka tidak datang ke sini.” “Hmm ... coba kakek pikirkan letak rumah kakek semampunya. Nanti saya coba bantu.” Kakek itu menutup matanya. Mencoba mengingat-ingat di mana letak rumahnya. Samar-samar aku melihat warna pink. “Warna Pink? Apa maksudnya?” pikirku. “Ayo, Kek. Berusaha lebih kuat lagi.” Aku memberinya semangat. “Kok saya pusing ya, Nak?” “Ups.” Kulihat darah mulai mengalir dari atas keningnya. Menandakan dia sudah mulai mengingat peristiwa yang merenggut nyawanya. “Jangan ingat ya itu, Kek. Rumah aja,” perintahku. Sebuah gambaran muncul, sekuntum bunga kamboja berwarna pink. “Oh ....” Aku edarkan pandangan melihat sekeliling pemakaman. Ada tiga pohon kamboja berwarna pink. “Ayo, Kek! Saya antarkan ke rumah.” Aku bangkit dari kursi dan berjalan ke pohon pertama, yang tidak jauh dari gerbang. “Tunggu, Nak. Kok saya lemas ya.” “Aduh, dibilang jangan ingat-ingat yang itu. Sini ikut saya aja.” * “Kek, siapa namanya?” tanyaku sambil melihat-lihat nama yang tertulis di batu nisan. “Saya lupa.” “Ya ampun ... coba diingat-ingat lagi, Kek! Masa saya disuruh tebak-tebakan.” “Saya benar-benar lupa.” Aku mulai menyebutkan satu persatu nama pemilik makam yang dekat dengan pohon kamboja pink itu. “Reza? Hmm ... gak deh, kebagusan namanya. Pasti namanya yang agak kuno,” pikirku sambil berjalan mengitari pohon kamboja. “Sulastri? Eh ... nama cewek.” Kakek itu hanya diam saja, tak merespon ucapanku. Berpindahlah aku ke pohon kamboja kedua. Mungkin rumahnya memang bukan di sini. “Hartono?” “Gugum?” Kakek itu masih tak merespon. Coba deh ke pohon terakhir. Setelah saya liat, di sekelilingnya hanya ada nama perempuan. Ting! Ponselku berbunyi. Ada pesan masuk dari Dani. [Mir, buruan balik! Lu ngapain jalan-jalan keliling pemakaman. Kaya orang stress] [Bentar, Kak. Ajak yang lain tunggu di depan aja. Nanti Amir nyusul] [OK] * “Kek, masih gak inget juga?” “Saya lupa, Nak.” “Kakek yakin kan gak salah pemakaman.” “Tidak.” “Ya kali, kakek lupa terus nyasar.” Tiba-tiba, sebuah gambaran muncul. Sebuah makam dengan keramik berwarna hitam. Tapi aku tidak bisa melihat namanya. Aku kembali mengeceknya. Tidak ada makam berkeramik hitam di sekitar pohon ketiga. Lanjut ke pohon kedua, tidak ada juga. “Terakhir ya, Kek. Kalau gak ada berarti kakek salah pemakaman,” ucapku sambil berjalan ke arah pohon pertama. Dari kejauhan aku melihat ada makam berkemarik hitam. Tapi, bukannya itu makam atas nama .... “SULASTRI?” Aku menatap wajah Kakek itu baik-baik. “Masa sih ini nama dia?” pikirku. Gregetan, terpaksa aku memaksa untuk melihat ‘flashback-nya’ lebih dalam. Benar, ternyata makam berkemarik hitam ini. Kutatap tulisan di batu nisan. Sulastri Lahir: 12 Januari 1962 Wafat: 22 Juni 2014 Aku kembali konsentrasi, mencoba agak melihat jauh ke belakang. Sebelum Sulastri dimakamkan di sini. Walaupun agak samar, aku bisa melihat ada sebuah gundukan tanah berwarna merah. Dengan kayu nisan yang sudah lapuk dan kotor. Tidak terlihat sedikit pun tulisan di sana. Sepertinya benar di sini rumah si Kakek. Hanya saja makamnya sudah ditumpuk dengan makam orang lain. “Kek ....” “Kenapa, Nak?” “Rumah kakek kayanya sudah digusur.” “Digusur?” Kakek itu pun menangis. “Jangan nangis, Kek.” “Lalu saya harus kemana, Nak?” tanyanya. “Kakek duduk di sini aja. Jangan kemana-mana. Tidak usah tanya ke orang-orang yang lewat juga.” “Tapi, Nak ....” “Ada apa lagi, Kek.” “Kenapa kepala saya sakit ya?” Kulihat darah sudah mulai menutupi sebagian wajahnya. Kakek itu semakin mengingat kejadian tragis yang menimpanya. Sebuah tragedi tabrak lari. “Pokoknya kakek di sini aja ya,” pintaku. “Nanti juga, sakit itu akan hilang dengan sendirinya,” sambungku berusaha menenangkannya. “Semoga saja anak dan cucu kakek segera datang ke sini,” sambungku lagi. “Baik, Nak.” * Aku pun bergegas ke luar area pemakaman. Dani sudah menungguku sambil meminum es kelapa. “Udah, Mir?” tanyanya. “Udah. Yuk balik ke mobil!” ajakku. “Siapa tadi yang ngajak keliling?” “Pusing, Kak. Kakek-kakek pikun nyari kuburannya.” “Hahahaha ... ada-ada aja. Terus gimana?” “Kuburannya gak ada, udah ditumpuk.” “Wah kasian amat.” “Mangkanya, sekarang Amir suruh dia duduk sana aja,” ucapku sambil menunjuk ke pohon kamboja pink dekat gerbang. “Tapi dia gak ganggu kan?” “Awalnya ganggu sih, sekarang gak bakal bisa.” “Kok gitu?” “Soalnya Amir minta Genderuwo di pohon beringin itu buat jagain. Kalau dia ganggu orang, suruh diomelin aja.” “Ih jahatnya.” “Ya daripada bikin orang ketakutan.” SEKIAN
Sabtu, 07 Agustus 2021
Wanita di Tengah Rel Kereta
Wanita Di Tengah Rel Kereta. Pukul delapan malam, jadwal terakhir kereta menuju Bandung. Aku masih menunggu, duduk di bangku, di pinggir rel kereta. Kupandangi area di tengah rel kereta. Mataku tiba-tiba terpaku pada tiang listrik di peron tengah. Aku sudah berusaha untuk mengalihkan pandangan. Namun seperti ada sesuatu menarikku untuk terus melihat ke sana. Kuambil ponsel dan mulai bermain game. Sesekali aku melihat ke sana. Sama-samar, terlihat seorang wanita sedang berdiri di samping tiang listrik. Aku fokus, untuk memastikan apakah itu manusia atau bukan. Ada noda darah di pakaiannya. Semakin lama semakin jelas. Dia berjalan, mondar-mondir di tengah rel kereta. Tiba-tiba ... kepalanya berputar 180 derajat. Melihat ke arahku. “Duh, kenapa harus ngeliat ke sini sih,” pikirku lalu kembali menatap layar ponsel. Aku bisa merasakan kalau dia mulai mendekat. Dari ekor mata, kulihat dia berdiri. Tak jauh dari tempatku duduk. Kepalanya terkulai ke kiri dengan wajah hancur. Satu kakinya terlihat remuk, hanya tersisa sebagian. Dan gaun putihnya penuh dengan noda darah. “Kenapa harus pake wujud asli sih,” keluhku dalam hati. Sepertinya dia mendengar keluh kesahku. Mulai berjalan mendekat dengan kaki terpincang-pincang. “Kamu bisa melihatku?” tanyanya, berdiri di hadapanku. Aku pura-pura tidak mendengar dan melihatnya. Terus menatap ke layar ponsel. “Apa kamu bisa melihatku?” tanyanya lagi. Lagi-lagi aku tidak memperdulikannya. Kubuka tas, lalu mengambil ear phone. Kusenderkan kepala ke tembok di belakang bangku. Dan mulai mendengarkan lagu, sambil menutup mata. Tiba-tiba, aku merasakan hawa dingin di paha. Rasa dinginnya melekat ke kulit, khas bangsa Kuntilanak. Bau darah menyeruak, menusuk hidungku. Lagu rock yang kudengar terasa seperti lagu mellow. Argh ... dia sudah mulai mentransferkan perasaannya padaku. Aku membuka mata. Terkejut, ketika melihatnya sedang berbaring di pangkuanku. “Tuhkan kamu bisa melihatku,” ucapnya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Spontan aku beranjak dari kursi dan meninggalkannya. Tak lama kereta yang kutunggu pun datang. Cepat-cepat aku naik dan mencari tempat duduk. Penumpang untuk jadwal terakhir tidak terlalu banyak. Aku mengambil tempat duduk di samping jendela. “Kenapa kamu pergi?” tanya Wanita itu, yang sudah duduk di sampingku. “Mbak mending turun, daripada nanti nyasar gak bisa pulang,” ucapku melalui batin. “Aku tidak akan pergi sebelum kamu menolongku.” Tangan dinginnya mulai menyentuh tanganku. Gambaran demi gambaran mulai muncul di pikiranku. Wanita itu sedang berjalan, menyusuri rel kereta. Sesekali duduk di bangku di tengah peron. Dia menunduk dan menangis. Seperti sedang menghadapi masalah pelik. “Aku tak sanggup menafkahi anakku,” ucapnya pelan dengan bibir bergetar. “Terus, kemana suamimu?” tanyaku. “Dia pergi dengan wanita lain.” Gambaran berlanjut, dia bangkit dari bangku. Berjalan mendekati rel kereta dengan langkah ragu. Dia menutup mata dan berdiri di pinggir rel kereta. Air mata terlihat membasahi pipinya. Beberapa saat kemudian, kereta pun datang. Lalu dia melompat ke tengah rel. Hingga tubuhnya tersambar kereta itu. Mati seketika. “Kenapa kamu melakukan hal bodoh macam itu?” tanyaku kesal. “Aku terpaksa. Anakku membutuhkan uang untuk makan dan biaya sekolah. Aku malu, setiap hari harus mengutang ke sana kemari. Sampai tidak ada seorang pun yang mau lagi meminjamkan uang.” “Apa dengan melakukan itu, masalahmu langsung selesai? Bahkan sudah mati pun kamu masih tersiksa. Aku saja jijik melihat bentukmu.” “Setidaknya anak-anakku sekarang bisa hidup dengan layak.” “Maksudmu?” “Salah satu tetanggaku pernah bilang. Jika aku melakukan itu, maka anak-anakku akan mendapatkan uang santunan.” “Dan dengan bodohnya kamu mengikuti ucapannya?” “Mau bagaimana lagi?” “Berapa lama anak-anakmu bisa hidup tanpa kehadiran seorang ibu dan ayah? Santunan itu hanya sementara, tapi pandangan buruk orang-orang terhadapmu, akan terus menghantui anak-anakmu kelak.” Wanita itu pun menangis tersedu-sedu. “Lalu aku harus bagaimana?” “Sekarang lebih baik kamu pergi. Jangan mengikuti dan mengangguku.” “Tapi kamu belum menolongku?” “Enggak!” “Tolong sampaikan maaf pada anak-anakku.” “Percuma! Semuanya sudah terlambat. Seharusnya kamu berpikir dua kali sebelum melakukan hal bodoh itu.” “Tolong ....” “Pergi atau aku terpaksa berbuat kasar.” “Dasar manusia jahat!” “Ih ....” Aku mulai membaca doa. Pelan-pelan kutiupkan padanya yang masih duduk di sampingku. “Aduh panas tau!” Dia masih tidak mau pergi. Lalu kutiupkan ke wajahnya yang rusak itu. “Perih ... ampun,” ucapnya seraya terbang ke luar gerbong. Akhirnya aku bisa terbebas dari gangguan wanita jelek itu. SEKIAN
Aku Yang Terbaring di Bawah Bangku Taman
Aku Yang Terbaring di Bawah Bangku Taman. Sejak sore, Bandung terus diguyur hujan. Udara dingin mulai masuk melalui celah-celah pintu kosan. Sehingga menggangguku yang daritadi meringkuk di atas kasur. Krucuk-krucuk, perutku mulai berbunyi. Sepertinya cacing-cacing di dalam perut sudah mulai kelaparan. Aku pun bangkit dari kasur, lalu mengintip suasana koridor dari balik pintu. Suasananya sepi seperti tidak ada kehidupan. Hanya ada Si Kingkong yang sedang bermain-main dengan anak kucing Ibu Kos. Ya ... begitulah kerjaanya sehari-hari. “Kong,” panggilku berbisik. “Apa, Mir?” sahutnya sambil menarik-narik buntut anak kucing itu. “Liatin Wildan dong, dia lagi ngapain di kamar,” pintaku. “Ish, ganggu aja,” balasnya lalu menghilang, menembus langit-langit menuju lantai dua. Hanya dalam hitungan detik, dia sudah duduk di atas kasur. “Lagi ngapain dia?” “Tidur, mau saya bangunkan?” “Jangan, ntar dia marah-marah lagi.” Aku pun terpaksa naik ke lantai atas, menuju kamar Wildan. Pintunya sedikit terbuka, lalu aku mengintip ke dalam. Benar saja, dia masih tidur pulas. “Dan ... Wildan,” ucapku sambil menggoyang-goyangkan badannya. “Apaan, Mir,” balasnya masih dengan mata tertutup. “Keluar yuk! beli makan,” ajakku. “Gak ah, lagian masih hujan kan?” “Sedikit, gerimis doang.” “Duluan aja deh, Mir. Gw ntar mesen online aja.” “Oh ya udah,” ucapku lalu ke luar kamarnya. Aku pun kembali kamar, mengambil jaket dan kunci motor. Lalu berjalan menuju parkiran. “Ikut, Mir,” ucap Si Kingkong yang sedang duduk di salah satu motor yang terparkir. “Jangan, cuman bentar doang.” “Yah ... padahal kalau cuacanya begini pasti rame.” “Mangkanya gak usah ikut, ntar aku yang repot.” * Motorku mulai melaju, melewati gang-gang sempit menuju jalan besar. “Makan apa ya?” pikirku sambil melihat kanan-kiri jalan. Dingin-dingin begini, enaknya makan mie instan di Warkop Mang Heri. Tidak butuh waktu lama, motorku sudah terparkir di depan Warkop Mang Heri. Warkop terlihat masih sepi, hanya ada dua sepeda motor yang terparkir di depannya. “Mang, biasa ya,” ucapku memesan menu andalan, mie goreng dobel plus telur. Lalu duduk di bangku kayu panjang. “Siap, Mir,” balasnya langsung mempersiapkan pesananku. Aku mengambil ponsel di saku celana. Sudah hampir jam setengah sembilan malam, tapi kondisi jalan masih belum seramai biasanya. “Wildan mana, Mir?” tanya Mang Heri sambil memotong tiga helai sawi. “Masih tidur di kosan, Mang.” “Pantesan, biasanya kemana-mana berdua.” “Bisa aja, Mang. Kan kalau ke kamar mandi tetep sendiri,” balasku diikuti tawa Mang Heri. “Dah buruan, Mang, lapar nih,” sambungku. * “Ini, Mir.” Mang Heri meletakan mangkuk mie dia hadapanku. Rasa lapar membuatku langsung menyantapnya dengan cepat. Selesai makan, aku mengobrol sebentar, lalu pulang. Tak terasa, ternyata hujan sudah reda. Kubatalkan niat untuk langsung pulang ke kosan. Memutuskan untuk jalan-jalan sebentar berkeliling kota Bandung. Jalan sudah mulai ramai, didominasi oleh sepeda motor. Kuarahkan sepeda motor menuju sebuah taman di tengah kota Bandung. Setelah mencari parkir motor yang paling dekat dengan taman, aku pun mulai berjalan masuk ke area taman. Ada sambutan hangat dari seorang Kakek Tua penunggu salah satu pohon beringin. Suasana taman pada malam ini sudah lumayan ramai. Muda-mudi sedang memadu kasih di bangku-bangku taman. Mereka tidak sadar, ada banyak ‘Wanita Berdaster’ yang menonton dari atas pohon. Aku pun lanjut berjalan menyusuri taman, mencari bangku yang masih kosong. Agak jauh, akhirnya aku menemukan sebuah bangku kosong. Letaknya agak pojok, bersebelahan dengan sebuah pohon besar. Padahal ini bisa menjadi tempat yang strategis untuk memadu kasih. Namun tak ada muda-mudi yang menempatinya. Aku sedikit curiga. Sebelum duduk, aku tatap pohon besar itu. Tidak ada sesuatu yang aneh, hanya beberapa ‘Wanita Berdaster’ saja yang terbang dari dahan satu ke dahan lain. Itupun mereka membubarkan diri, ketika aku duduk. Suasananya berbeda sekali, tenang tanpa gangguan suara kendaraan bermotor dari jalan raya. Aku hanya duduk, sambil menghirup udara Bandung di malam hari. Ketenangan itu pun sirna, ketika terdengan suara tangis seorang wanita, lirih sekali. Aku berusaha fokus, mencari sumber suara itu. Ternyata dari arah belakangku. Terlihat seorang wanita sedang duduk menyender ke pohon besar. Kepalanya tertunduk. Wajahnya tak terlihat, terhalang rambutnya yang menjuntai hingga menyentuh tanah. “Ada apa ya, Mbak?” tanyaku pada sosok yang daritadi hanya diam mematung. “Tolong saya ...,” balasnya masih dengan kepala menunduk. “Hadeuh, Mbak. Saya lagi gak buka sesi curhat.” “Tapi kamu sudah menginjak-injak tempat tidur saya,” ucapnya agak marah lalu mengangkat kepalanya. Kali ini aku bisa melihat wajahnya. Seorang wanita berwajah melayu dengan luka terbuka di keningnya. Dari luka itu masih mengalir darah segar, yang mulai membasahi wajahnya. “Biasa aja, Mbak. Gak usah diserem-seremin.” “Kamu mau menolong saya?” “Ya udah ... Mbak duduk dimari, biar enak ngobrolnya.” Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada manusia, hantu pun tak apa-apa. “Tidak mau,” balasnya. “Hah? Kenapa?” Dia pun mengangkat tangannya, menunjuk sesuatu di belakangku. Dengan cepat aku menengok. “Astagfirullah ... Tebo, lu ngapain di mari?” ucapku pada sosok Genderuwo yang berdiri di belakangku. “Cantik, Mir,” balasnya dengan sorot mata menatap wanita itu. “Pantesan, cewe-cewe yang lagi nongkrong di atas pohon pada kabur. Ada lu ternyata.” “Si Kingkong nyuruh ikut.” “Ya udah, pulang sana!” “Tapi ... cantik, Mir. Boleh dibawa pulang?” “Gak! Mending cari di danau tuh, banyak yang lagi mandi.” “Oke, Bos.” Dalam kedipan mata, dia pun menghilang. “Nah sudah aman. Sini, Mbak!” * “Tadi Mbak bilang tempat tidur?” tanyaku pada sosok yang sudah duduk di sudut bangku taman. Dia pun mengangguk pelan. “Jadi ini ...?” Tiba-tiba wanita itu memberikan ‘flashback’. Momen-momen terakhir di hidupnya. Kami sudah berdiri, di depan rumah kecil, di sebuah desa. Lalu aku diajak masuk ke dalam rumah itu. “Masni, udah malam, Nak. Jangan ke luar rumah,” ucap seorang wanita paruh baya. “Oh namamu Masni. Itu ibumu?” tanyaku pada sosok yang daritadi berdiri tak bersuara. Dia pun hanya membalas dengan anggukan, sedangkan matanya terus menatap ke arah wanita paruh baya itu. “Cuman ke kota sebentar, Bu. Ini kan malam minggu,” balas Masni berlalu menuju pintu depan. “Pulangnya jangan malam-malam,” ucap ibunya sebelum pintu depan tertutup. “Iya,” sahut Masni dari luar rumah. Masni pun berlari ke ujung jalan di depan rumahnya. Seprang pria sudah menunggunya di sana. Berdiri di samping motor yang terparkir di pinggir jalan. “Honda CB, berarti ini tahun 70an ya?” tanyaku pada Masni. “Iya.” Gambaran itu pun berlanjut. Kini aku sudah ada di sebuah tempat yang di kelilingi pepohonan. Aku lihat Masni sedang duduk di atas jok motor sambil bersandar di bahu pria itu. “Dia pacarmu?” “Dayat, itu namanya.” “Oh ....” Tak lama kemudian, ada dua motor lain yang mendekat. Dayat pun menghampirinya. Terjadi percakapan antara Dayat dengan empat orang pria lainnya. Sedangkan Masni masih duduk di atas jok motor. Kemudian, Dayat dan keempat pria itu berjalan mendekati Masni, membawakan beberapa botol minuman dan makanan ringan. Masni mengingatkan Dayat untuk tidak ‘minum-minum’, karena dia masih harus mengantarnya pulang. Berkendara dalam keadaan mabuk itu berbahaya. Ucapan Masni malah menyulut emosi Dayat dan teman-temannya. Terjadi adu mulut, hingga Dayat pun menampar wajah Masni. Tamparan yang keras membuat tubuhnya jatuh tersungkur. Kekejaman malam itu masih berlanjut. Teman-teman Dayat mulai memegangi tangan dan kaki Masni. Lalu, Dayat membekap wajah Masni dengan jaket kulitnya yang dikenakannya. Masni pun berontak, tangannya berhasil lepas, lalu memukul wajah Dayat dengan keras. Pengaruh alkohol membuat Dayat gelap mata. Dia mengambil sebuah batu, lalu menghantamkannya pada kepala Masni yang masih tertutup jaketnya. Seketika itu, tubuh Masni sudah tak lagi bergerak. Dayat membuka jaketnya. Dia terkejut melihat wajah pacarnya yang sudah bersimbah darah. Namun penyesalannya sudah terlambat. Di tengah kepanikan, salah satu temannya berinisiatif untuk menguburkan jasad Masni. Dia memerintahkan kedua teman lainnya untuk pergi mencari cangkul. Dayat yang terlihat masih syok, ikut menggotong jasad Masni menuju area yang lebih sepi. Disanalah mereka akhirnya menguburkan jasad Masni. * Gambaran pun berlanjut, kembali ke rumah Masni. Di sana ibunya sedang menangis, menanti kepulangan anaknya yang tak pernah pulang. Masni sudah beberapa kali berusaha memberitahu ibunya tentang keberadaan jasadnya. Namun, usahanya tidak berhasil. Amarahnya kian hari kian bertambah. Apalagi melihat kelima pelaku itu masih bebas berkeliaran. Masni mulai membalas dendam, dengan meneror mereka satu persatu. Sebuah teror yang sangat menakutkan, hingga mereka pun mati dalam penyesalan. Setelah itu, jiwanya terkunci, terus menunggu seseorang untuk mengangkat tubuhnya yang masih terbaring di sini. Ya ... di bawah bangku taman tempatku duduk sekarang. “Aku hanya ingin dikuburkan dengan layak,” ucap Masni. “Tapi ... aku tidak bisa membantumu untuk hal itu,” balasku. “Kenapa? Apa kamu tidak kasian denganku?” “Bukan begitu, kejadiannya kan sudah puluhan tahun. Sekarang keadaannya sudah berubah.” “Ya sudah jika kamu tidak mau membantuku,” balasnya memalingkan wajah. “Tapi ....” Dia kembali menghadapkan wajahnya padaku. “Apalagi?” “Tolong bilang pada ibuku, kalau aku dikubur di sini.” Aku pun tersenyum. “Kenapa senyum? Bisa tidak?” “Ih minta tolong maksa amat. Masni ... sekarang ini tahun 2020, sudah lebih dari 40 tahun semenjak kamu meninggal. Aku mana tau kalau ibumu masih ada atau tidak. Alamat rumah saja kamu tidak ingat.” “Ibu pasti masih nunggu aku pulang.” “Coba kamu cari orang lain yang bisa bantu, aku sih gak sanggup.” “Sekarang cuman ada kamu.” “Ya, cari dulu sana!” “Ternyata semua pria sama saja.” “Gak gitu juga, Bambang.” “Bambang? Aku Masni!” “Maaf salah sebut. Ya udah deh nanti aku pikirin gimana caranya, sekarang mau pulang dulu.” “Aku ikut boleh?” “Gak! Kamu mau ketemu Genderuwo tadi emang?” “Ih ....” “Sudah ya.” Aku berdiri, pergi meninggalkannya yang masih duduk di bangku taman. “Besok datang lagi?” tanyanya. “Gak tau,” balasku lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu. * Sesampainya di tempat parkir. Ting! Ponselku berbunyi, ada sebuah pesan Whatsapp yang masuk. [Mir, lu belum balik kosan] Argh, ternyata dari Wildan. [Ini gw mau balik] [Kebetulan nih, nitip mie goreng sama bubur kacang dong di Warkop Mang Heri] [Ya elah ini anak, tadi katanya mau pesen online] [Gak ah, lagi gak ada promo. Ayolah lah kali-kali nitip] [‘Kali-kali’ perlu digaris bawahi. Entar gw beliin, sekalian balik] [Ok] Aku memasukan ponsel ke kantong celana, lalu pulang ke kosan. Sebelum pulang, tidak lupa membeli makanan titipan Wildan dulu. Setibanya di kosan, Wildan sudah ada di kamarku. “Lu ngapain dimari?” tanyaku pada Wildan yang sedang tiduran di atas kasurku. “Nungguin makanan lah, laper gw, baru bangun,” balasnya tanpa rasa terimakasih. “Sana balik kamar lu aja.” “Pinjem mangkok sama sendok dong, punya gw masih kotor, lagi males nyuci.” “Duh nih anak.” “Lu tadi kemana aja, lama bener.” “Jalan-jalan aja, terus duduk berduaan di taman.” “Beuh, sama siapa?” “Cewe cantik,” balasku tersenyum. “Ah pasti begituan kan?” “Beneran, mau kenalan? Gw panggil sekarang.” “Nah kan ... beneran setan. Dah lah Mir, ntar gw gak bisa tidur.” “Dah ah gw ke belakang dulu, sakit perut,” ucapku lalu berlari menuju kamar mandi. Kembali dari kamar mandi, Wildan sudah selesai makan. “Cuci, Dan!” “Besok aja, Mir. Abis makan ngantuk nih gw,” balasnya seraya berlari ke kamarnya. “Awas ya.” Sudah jam 11 malam, lagian aku juga sudah mengantuk. Aku pun langsung naik ke kasur untuk tidur. Di tengah-tengah mimpi indah, aku merasakan ada hawa dingin di wajahku. Aku langsung terbangun, dengan mata masih berat kulihat seseorang sudah ada di hadapanku. “Sudah ketemu belum?” tanya sosok itu. Aku membuka mata lebar-lebar. “Masni, kok bisa ke sini.” “Itu, dia yang ngajak aku ke sini,” balasnya sambil menunjuk Si Kingkong duduk di atas lemari. “Kebangetan ya, gak tau orang ngantuk.” “Kasian, Mir. Dia dari tadi mondar-mandir di parkiran.” “Ya usirlah!” “Kok diusir? Jahat banget ih,” balas Masni. “Eh lupa ... masih ada di sini.” “Jadi gimana? Udah ketemu ibuku?” “Ya Allah ... baru juga beberapa jam, udah nanya itu lagi. BELOM!” “Jangan marah dong, aku pulang lagi deh.” “Eh tunggu, coba tanyain ke atas.” “Ke atas?” “Kong, anterin ke kamar Wildan gih!” “Siap, Mir.” Mereka pun menghilang, aku bisa lanjut tidur dengan tenang. Dari kamar atas, aku mendengar suara teriakan seseorang, pasti itu Wildan. SEKIAN bisa diklik aja ‘Hastag’nya.
Jumat, 06 Agustus 2021
Hantu Tiktok
Hantu TikTok. “Dra ... Dra, liat deh,” ucapku pada Hendra yang lagi menatap layar ponsel. “Apaan, Mir?” balasnya. “Itu, liat ke sana!” Aku menunjuk ke arah jalan raya di samping taman. “Wanjrit, apaan itu. Hahaha ....” Hendra tertawa kencang. “Lu pada ngomongin apa sih?” tanya Wildan. “Biasa nge-ghibahin setan,” balasku. “Hadeh, kebiasaan,” ucap Wildan lalu kembali sibuk dengan ponselnya. “Kok itu setan aneh sih, Mir? Masa jalannya mundur.” “Coba tanyain aja langsung, kenapa jalannya mundur.” “Ogah.” “Dan, lu mau kenalan gak sama setannya?” tanyaku. “Nehi, ntar gw dikerjain lagi. Kemaren aja gw ampe gak bisa tidur, gara-gara setan cewe yang nyariin emaknya.” “Ya ampun, masih diinget aja.” “Ya gimana gak inget, orang tu setan duduk di kasur ampe subuh.” “Siapa, Dan? Si Masni ya? Kan cantik itu.” “Gak usah disebutin juga namanya, HENDRA! Ntar dia datang.” Selagi Wildan dan Hendra ribut, aku coba memanggil hantu itu. Soalnya penasaran juga, kenapa dia berjalan mundur. “Duh, dianya gak mau,” keluhku. “Si Setan Mundur?” tanya Hendra. “Iya, dia gak mau ngedeket. Apa coba di mediasi aja.” “Terus siapa yang mau mediasi?” tanya Hendra. “Ya lu, Hen.” “Ih, males banget liat bentukannya begitu. Kaya lelaki tulang lunak.” “Ayolah, demi Wildan. Biar dia bisa denger juga.” “KOK GW?” balas Wildan ngegas. “Oke deh.” Hendra pun setuju. Dengan cepat, hantu itu kutarik paksa, masuk ke dalam tubuh Hendra. “Loh ... hahahaha.” Wildan tertawa melihat Hendra tiba-tiba berdiri dan berjalan mundur. “Tahan lah, Dan! Lu malah nontonin doang.” Aku dan Wildan berusaha menahan tubuh Hendra. “Dra, jangan diikutin kemauannya. Lawan aja,” ucapku. Tidak lama kemudian, Hendra sudah berhenti jalan mundur. * “Iiiihh, apaan sih! Ganggu guweh aja,” ucap Hantu yang ada di tubuh Hendra. “Jangan jalan mundur terus, Mas. Nanti temen gw nyemplung ke kolam,” balasku. “Abieznya, guweh lagi maen TikTok malah lu tarik ke sini.” “Coba tanyain gih, Dan. Sensi kayanya ni setan ma gw,” ucapku. “Setan? Pala lo setan!” balas Si Hantu. “Mas, kenapa jalannya mundur?” tanya Wildan lembut. “Ih beib, kan akuh lagi rekam video TikTok,” balasnya. “Tuhkan, ke lu cara ngomongnya beda,” ucapku. “Apaan sih LO! Ganggu ih,” balas Hantu itu masih ngegas. “Akuh juga gak tau beib, kenapa begini. Terakhir kali aku lagi bikin video TikTok di deket lampu merah. Eh, tiba-tiba gelap,” jelasnya sambil menatap ke arah Wildan. “Tanya namanya, Dan!” bisikku. “Nama kamu siapa?” tanya Wildan. “Orang-orang sih panggil akuh Nayla,” balasnya manja. “Nama asli, woi! Pan lu cowo,” ucapku kesal. “Siapa sih lu, daritadi ganggu aje!” “Nama aslinya siapa?” tanya Wildan. “Ih akuh tuh, malu.” “Gak usah malu.” “Sunarya,” balasnya sambil senyum-senyum manja. “Ya Allah, jauh banget. Nyesel gw narik dia,” gumamku pelan. Daripada pusing lihat kelakuan tuh makhluk. Aku mulai fokus, coba melihat flashbacknya. Malam hari, Sunarya bersama teman-temannya lagi nongkrong di dekat lampu merah. Mereka mengobrol sambil bercanda. Entah darimana dia memiliki ide untuk membuat video TikTok yang sedang viral. Dengan sigap, Sunarya menyuruh teman-temannya untuk berbaris. Sedangkan dia berada agak di depan, menghadap barisan sambil memegang ponsel. Satu teman lainnya merekam dari arah samping. Mulai lah, mereka melakukan aksinya. Berjalan agak membungkuk dengan pinggul bergoyang ke kiri dan kanan, sambil menyebrangi jalan. Tiba-tiba ada sepeda motor melaju dengan kencang. Saking asiknya berlenggak-lenggok sambil mundur, Sunarya tidak sadar kalau sepeda motor itu mengarah padanya. “Nayla, awas!” teriak teman-temannya. Harusnya itu menjadi momen mengharukan, tapi setiap kali mendengar nama itu aku selalu ingin tertawa. Duag! Motor itu menabrak Sunarya. Tubuhnya terpelanting, hingga kepalanya mendarat di trotoar. Seketika itu, dia langsung menghebuskan nafas terakhir. * “Aduh pusing,” keluh Sunarya yang masih ada di tubuh Hendra. “Kenapa?” tanya Wildan. “Kepala aku pusing banget beib,” balasnya sambil memegang kepala. “Ya pusing pasti, orang kepalanya kejedot trotoar,” selaku. “Bantuin dong,” ucapnya memelas ke arahku. “Dih, tadi ngegas sekarang malah memelas.” “Liat nih, netes terus,” ucapnya sambil menunjukan luka menganga di kepalanya. “Ini apa sih, lembek-lembek,” sambungnya sambil memasukan jari ke luka itu. “Itu otak lu. Pantesan gesrek, otaknya bocor,” ledekku. “Jahat ih, bantuin dong,” pintanya lagi. “Gak! Dah ... dah, pergi sana!” “Tadi dipanggil, sekarang diusir.” “Sana keluar, kasian itu temen gw.” “Setel lagu dulu baru akuh keluar.” “Lagu apaan?” “Lagu TikTok lah, gak gaul banget sih.” “Coba lu cek, Dan. Gw gak ada aplikasinya.” Wildan langsung membuka aplikasi TikTok. “Yang mana?” tanya Wildan. “Itu yang biasa dipake buat orang baris sambil mundur-mundur,” balasku. “Oh ya, yang ini.” Tu ut tu ut Tu ut tut .... Wildan memutar lagu TikTok. “Inikan?” tanya Wildan ke Sunarya. “Iya, Beib. Makasih.” * “Tuh, Dan. Pelajaran buat lu, kalau bikin video TikTok jangan yang aneh-aneh,” ucapku sambil menghadap ke Wildan. “Gw gak pernah bikin yang begituan, Mir.” “Lah terus biasanya ngapain?” “Bikin TUTORIAL HIJAB. Puas lu?” “Dih emosi dia, Hen.” Aku menoleh ke kanan, tetapi Hendra sudah tidak ada. “Wah kemana dia?” “Itu, Mir. Lagi jalan mundur.” Spontan kami berlari mengejarnya. Sayang sudah terlambat. Byur! Hendra pun tercebur ke kolam. “Mampus dah kita, Dan,” bisikku pada Wildan sambil berdiri mematung. Hendra pun tersadar dan berkata, “AMIR ... WILDAN ... AWAS LO YA!” SEKIAN
Nasi Goreng Berdarah
Nasi Goreng Berdarah. “Mir ... lu laper gak?” tanya Wildan yang sedang memegang kemudi mobil. “Laper.” Selama perjalanan dari Cirebon ke Karawang, kami memang belum makan. Cemilan di mobil pun sudah raib, masuk ke dalam perut. “Malem-malem begini mau makan dimana?” tanyaku. “Cari yang di pinggir jalan aja.” “Pecel ayam, sate atau nasi goreng?” tanyaku sambil melihat ke luar mobil. “Nasi goreng aja deh.” “Sip.” Aku edarkan pandangan, mencari tukang nasi goreng terdekat. “Tuh ... ada tukang nasi goreng.” “Mana?” “Di kiri, deket pohon beringin.” Wildan pun mengarahkan mobilnya ke sana. Lalu, memarkirkan mobilnya di bawah pohon beringin. Aku lebih dulu keluar dari mobil, mencari tempat duduk. Sedangkan Wildan, berjalan menghampiri gerobak untuk memesan nasi goreng. “Mir ... pedes gak?” teriak Wildan yang sedang berdiri di samping gerobak nasi goreng. “Pedes,” sahutku. Setelah memesan, Wildan duduk di sampingku. Kami pun mengobrol-ngobrol sebentar, sambil menunggu pesanan datang. * Tidak terlalu menunggu lama. Dua piring nasi goreng sudah tersedia di hadapan kami. Ya ... memang sedang tidak ada pembeli, selain kami. Wildan langsung menyantapnya dengan lahap, sedangkan aku masih belum mau menyentuhnya. “Ini nasi gorengnya kok merah?” tanyaku bingung, sambil menatap nasi goreng di hadapanku. “Merah?” “Iya.” “Gak ah, normal-normal aja,” balas Wildan sambil menyantap nasi goreng. Bau amis menyeruak, menusuk hidungku. Aku mengendus-endus, mencari sumber bau tersebut. Hue! Mual, spontan tanganku menutup mulut dan hidung, agar tidak muntah. Sekarang aku sudah tau, baunya berasal dari nasi goreng itu. “Napa sih lu nutup mulut gitu? Lagian bukannya dimakan malas diendus-endus doang.” “Perut gw gak enak, mual,” balasku masih menutup hidung dan mulut dengan tangan. “Ya udah gw makan aja dah, mubazir tau.” “Jangan!” “Kasian tau, udah dibikinin gak dimakan,” ucapnya sambil menggeser piringku ke dekatnya. Aku terus menatap piring yang dimakan Wildan. Warnanya tidak berubah, masih merah. “Astagfirullah,” ucapku ketika melihat potongan ayamnya berubah menjadi potongan jari dan telinga. “Napa, Mir?” tanya Wildan heran. “Udah jangan dimakan.” Aku langsung merebut piringku dan membuang nasi gorengnya ke tanah. Benar dugaanku, nasinya kini berubah menjadi belatung-belantung kecil. “Nanti gw ceritain dah. Sekarang lu balik ke mobil aja, biar gw yang bayar.” “Beuh tumben baik.” Wildan pun kembali ke mobil, sedangkan aku mau berhadapan langsung dengan si penjual nasi goreng. * “Nasi gorengnya enak, Dek?” tanya tukang nasi goreng yang berdiri membelakangiku. “Enak, Pak.” “Jangan bohong,” ucap Bapak itu membalikan badannya. Wajahnya hancur. Matanya keluar menggantung di pipi. Rahang bawahnya sudah tak berbentuk, dengan darah yang terus menetes. Aku sempat kaget dan mundur satu langkah. Perlahan kutatap wajahnya, ternyata tidak se-menyeramkan makhluk-makhluk yang pernah kutemui. Tiba-tiba, aku mendapatkan ‘flashback’. Seorang bapak sedang melintas rel kereta api, sambil mendorong gerobaknya. Kereta api pun datang. Lalu, menyambar tubuh dan gerobaknya dengan cepat. “Sakit, Dek ...,” ucap Bapak itu lirih. “Salah bapak sendiri, nyebrang gak liat-liat.” “Tolong ... sakit, Dek ....” “Gak!” ucapku, lalu membalikan badan dan kembali ke mobil. “Sudah tau lagi lapar, malah dikasih begituan,” keluhku kesal. Baru saja mau membuka pintu mobil. Terdengar seseorang menertawaiku. Aku tengok ke atas pohon beringin. Si Kingkong, salah satu penjagaku, sedang nangkring di salah satu dahan pohon. “Oh gitu ... jail ya ... liat aja aku laporin ke Kakek,” ucapku dalam hati. “Mangkanya ... fokus, Mir, fokus ...,” balasnya lalu tertawa. “Orang lapar disuruh fokus.” Aku pun langsung masuk ke dalam mobil. * “Berapa Mir?” tanya Wildan yang sedang menghidupkan mobil. “Gratis!” balasku agak ketus, gara-gara masih kesal dengan ulah Si Kingkong. “Biasa aja kali, gitu amat.” “Mending buruan balik dah.” “Iya ... iya ... sabar.” Mobil sudah menjauh dari tempat itu. “Mir ... Mir,” panggil Wildan. “Apa?” “Diem aja lu.” “Perut gw lagi gak enak banget nih.” “Salah sendiri tadi gak makan, malah dibuang.” “Emang enak banget ya?” tanyaku sambil tersenyum licik. “Enak kok.” “Kenyang?” “Iya.” Aku pun tertawa puas sekali. SEKIAN
Selasa, 03 Agustus 2021
Boneka Mampang di Taman Rumah Sakit
Boneka Mampang di Taman Rumah Sakit
Sstt!
Sstt!
Amir ....
“Apaan sih, Hen.”
“Dih ... kok lu tau sih!” Kepala Hendra muncul dari balik pintu.
“Ya tau lah, kan gak mungkin Wildan juga.”
“Heeh. Ngomong-ngomong lu udah ngejenguk Wildan?” tanya Hendra, sembari masuk ke kamarku dan tiduran di kasur.
“Belom, kan lu bilang besok siang. Gimana sih? Masih muda udah pikun.”
“Argh! Lu kagak ngerti kode dari gw.”
“Maksudnya?”
“Gak usah besok, sekarang aja yuk!”
“Idih ... sekarang udah jam 7 malem, Hendra! Ngapain ke rumah sakit malem-malem.”
“Ya sekalian itu.”
“Oohhh ... gw paham. Lama-lama lu stress juga ya, nyari begituan mulu. Entar giliran diikutin sampe kosan, teriak-teriak minta tolong.”
“Hahaha, namanya juga anak baru, Mir. Masih penasaran lah sama ‘mereka’. Yuk, cabut sekarang. Sekalian kita nginep nemenin Wildan. Katanya dia sendirian doang, kasian.”
“Gw masih baca Slide Kuliah ini, Hen,” ucapku sambil menatap layar laptop.
“Bawa aja laptopnya ke rumah sakit. Baca di sana!”
“Ni anak maksa banget dah.”
“Yuk! Yuk!” Hendra mengangkat alisnya sambil tersenyum.
“Jijik, Hen! Gw mau, asal pake motor lu. Kan lu yang ngajak.”
“Beres kalau itu sih. Gw tunggu di depan ya.” Hendra bangkit dari kasur dan ke luar kamar.
Aku ganti baju dan memasukan laptop ke dalam tas. Setelah itu, pergi ke parkiran motor. Hendra sudah menyalakan motornya.
“Gerak cepet amat lu, Hen.”
“Wooh, iya dong.”
“Yuk! Cepetan, ntar kemaleman.” Aku naik ke atas motor. Hendra pun langsung memacu sepeda motornya.
Sebenarnya jarak dari kosan ke rumah sakit lumayan jauh. Kira-kira butuh waktu 45 menit, jika menggunakan sepeda motor. Hanya saja, hasrat Hendra untuk berkenalan dengan ‘Penghuni Rumah Sakit’ sudah tak terbendung lagi. Begitulah sifatnya, semenjak bisa melihat ‘mereka’.
“Biasanya di rumah sakit ada apaan aja, Mir?” tanyanya sedikit berteriak, karena suaranya hampir tenggelam dalam hembusan angin yang kencang.
“Banyak lah, Hen,” balasku ikut berteriak.
“Contohnya?”
“Nanti juga lu liat sendiri! Yang penting sekarang konsen bawa motornya.”
“Siap, Bos!”
Jujur saja aku deg-degan melihatnya mengendari motor dengan cepat dan mata batin terbuka. Khawatir akan terjadi benturan dengan ‘mereka’ yang tidak sengaja lewat atau menyebrang. Bisa-bisa dia kaget dan malah bikin celaka. Jadi saja aku harus menugaskan Si Tebo untuk mengamankan jalan. Dari ‘Wanita-Wanita Centil’ yang hobi mondar-mondar di jalan.
*
Kurang dari setengah jam, kami sudah sampai di depan rumah sakit. Lumayan cepat, mungkin karena Hendra memacu sepeda motor seperti orang kesetanan. Didukung dengan jalan yang agak sepi.
“Lu tunggu di sini dulu ya! Gw parkir bentaran.” Hendra menurunkanku di depan lobi rumah sakit.
Tak lama, Hendra sudah kembali dari parkiran.
“Yuk, masuk! Anggap aja rumah sendiri.”
Aku hanya bisa mengerutkan dahi. Mungkin temanku ini perlu dirawat di rumah sakit juga. Rumah Sakit Jiwa.
“Lu tau kamarnya emang, Hen?”
“Bentar gw liat di Whatsapp.” Hendra mengambil ponsel di kantong jaketnya.
“Kamar Raflesia, nomer 8,” ucap Hendra sembari menatap layar ponsel.
Aku berjalan menghampiri satpam yang berdiri di lobi. Menanyakan di mana letak Kamar Raflesia.
“Ke sana katanya, Hen. Lurus terus tinggal belok kiri.” Aku menunjuk sebuah lorong panjang di samping kanan.
“Sip, lu jalan duluan, Mir!”
“Takut?”
“Gw suka kaget kalau ada yang tiba-tiba nongol.”
Kami pun menyusuri lorong panjang. Kemudian berbelok ke kiri tepat di ujung lorong. Di hadapan kami sudah ada selasar yang tidak kalah panjang. Kata satpam tadi, ruangan tempat Wildan dirawat berada di ujung selasar. Aku pun lanjut berjalan.
“Mir ....”
“Apa, Hen?”
“Mir ....” Hendra menarik bajuku.
“Apa sih, Hen? Narik-narik baju segala.”
“Lu kagak liat?”
“Liat kok! Badan lu segitu gedenya mana mungkin gak keliatan.”
“Bukan gw, Amir!”
“Lah terus?”
“Itu bocah-bocah yang lagi lari-lari di taman.” Hendra menunjuk ke arah taman di samping kiri.
“Kagak liat, Hen.”
“Ah lu curang, bisa buka tutup mata batin. Lah gw kagak bisa.”
“Yang ngajak ke rumah sakit malem-malem siapa?”
“Gw.”
“Nah, salah sendiri berarti.”
“Asli, Mir. Lu liat dah, aneh.”
“Dah cuekin aja, Hen.” Aku lanjut berjalan.
“Lu liat dulu, itu kok bocah-bocah ada yang kepalanya gede banget.”
Aku pun penasaran. Kuhentikan langkah, lalu melirik ke arah taman. Benar apa yang dikatakan Hendra. Ada banyak anak-anak sedang berlari mengitari taman. Bentuknya memang aneh-aneh. Ada yang kepalanya besar. Tangannya besar sebelah. Kakinya panjang sebelah. Ada juga yang sangat pendek, berbadan gemuk tanpa leher.
“Udah liat? Itu apa, Mir?”
“Gw juga kagak tau, Hen. Dah yuk, buruan.” Aku kembali berjalanan menyusuri selesar rumah sakit. Hendra masih mengikuti dari belakang.
Di ujung selasar, aku kembali menghentikan langkah.
“Gw bilang juga cuekin, Hen,” ucapku sambil menoleh pada Hendra.
“Udah gw cuekin kok, Mir,” elaknya.
“Tapi kok, mereka malah ngikutin kita.”
Hendra celingak-celinguk, “Kagak ada!”
“Noh, di balik semak-semak, pada ngumpet.” Aku mengarahkan pandangan ke semak-semak yang tidak jauh dari tempat kami berdiri.
“Masa sih?”
“Matanya merah gitu masa kagak keliatan.”
“Eh iya. Terus gimana?”
“Bentar deh.”
Aku memanggil Si Tebo. Memintanya untuk menjaga anak-anak itu agar tidak mengikuti kami sampai ke kamar Wildan.
“Beres, yuk!” ucapku ketika melihat Si Tebo berhasil menakuti anak-anak itu.
*
Tibalah, kami di depan kamar Wildan.
“Assalamualaikum ...,” ucapku sambil membuka pintu kamarnya. Sebuah kamar kelas satu yang cukup besar.
Wildan nampak kaget dengan kehadiran kami berdua.
“Ngapain lu berdua ke sini malem-malem?” tanyanya heran.
“Si Hendra yang ngajak, Dan,” balasku.
“Iya, Dan. Sekalian gw liat-liat penghuni sini kalau malem.”
“Hen. Plis banget dah. Gak usah ngomongin begituan. Gw masih perlu beberapa hari lagi ‘bed rest’ di sini.”
“Lagian lu demen amat tidur di rumah sakit lama-lama,” balas Hendra.
“Mau gimana lagi, kata dokternya begitu.”
“Ah bilang aja lu betah karna ada cewe yang nemenin kan?”
“Cewek apaan sih, Hen?”
“Tuh ‘Cewek Cantik’ rambut gimbal di kamar mandi.”
“Dibilang gak usah ngomong begituan.”
“Tau tuh, Hendra. Sok tau banget, padahal itu Nenek-Nenek masa dibilang Cewek Cantik.”
“Lu juga, Amirudin. Sekali lagi ngomongin begituan gw sumpel pake botol infus.”
“Eh, dia ngilang, Mir. Malu kali diomongin.”
“HEN!”
“Ada noh di atas,” ucapku sambil menatap sosok nenek berambut gimbal yang merayap di langit-langit.
“MIR! Gw beneran nih,” ancam Wildan.
“Dijenguk kalian, bukannya sembuh malah tambah sakit,” sambung Wildan.
“Ya maaf, Dan. Dah gw duduk aja ah,” ucapku seraya duduk di sofa panjang. Diikuti Hendra yang duduk di sampingku.
Aku mengeluarkan laptop dari tas. Dan kembali membaca Slide Kuliah.
“Mir, udah tau belum tuh bocah-bocah makhluk apaan?” bisik Hendra.
“Belum, udah jangan dibahas.”
“Hello, gw denger loh,” sahut Wildan.
“Lu tidur aja, Dan! Jangan dengerin kita,” balas Hendra.
“Kalau gak mau kedengeran ngobrolnya di luar.”
“Jahat bener, Mir. Kita diusir.”
“Mangkanya lu diem, Hendra,” balasku masih menatap layar laptop.
“Ya udah deh.”
Beberapa saat kemudian ....
“Berisik ih, gw mau tidur,” protes Wildan.
Aku dan Hendra kebingungan. Sejak tadi kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tidak mengobrol sedikit pun.
“Kita daritadi diem aja, Dan,” ucapku.
“Jangan bohong, orang gw denger tadi ada yang ketawa.”
“Beneran bukan kita,” balas Hendra.
“Terus? Siapa?”
“Siapa, Mir?”
“Itu, tadi Hendra malah ngomongin mereka. Jadi mereka datang.”
“Mereka?” tanya Wildan.
“Oh ... bocah-bocah yang di taman tadi. Lah katanya udah dilarang masuk sama Si Tebo.”
“Bocah-bocah apaan sih, Hen.” Wildan penasaran.
“Katanya gak mau ngomongin gituan.”
“Udah terlanjur, daripada ntar gw mati penasaran.”
“Bentar gw cari gambarnya.” Jemari Hendra menari-nari di atas ponsel pintarnya. Sepertinya dia sedang mengetik sesuatu.
“Nah kaya gini!” Hendra menunjukan sebuah foto yang diambilnya dari google.
“Apaan itu? Cosplay?”
“Ini namanya, Boneka Mampang. Lu liat kepalanya gede banget kan?”
“Huuh.”
“Nah mirip sama yang tadi datang. Bentuknya ada yang begitu.”
“Dih. Kok begitu, Mir?” tanya Wildan.
“Hadeh malah nanya ke gw.”
“Tau nih, Amir gak mau ngasih tau.”
“Bukan gak mau, tapi gw bener-bener kagak tau. Dan males nyari tau.”
“Cari tau lah, Mir. Kasian nanti temen kita mati penasaran.”
•
Aku pun mulai mempertajam penglihatanku. Hal yang pertama aku lakukan adalah mencari keberadaan Si Tebo. Genderuwo itu entah pergi ke mana, kok bisa-bisanya anak-anak itu dibiarkan masuk ke kamar Wildan. Dalam bentuk astral, aku memergokinya sedang berduaan dengan seorang suster.
“Parah ya! Lu malah pacaran,” ucapku mengagetkannya.
“Eh maaf, Mir. Kenapa ya?”
“Tuh anak-anak masuk kamar.”
“Dasar anak-anak bandel, nanti saya pites satu-satu.”
“Eh, Bo. Lu tau kagak tuh anak-anak kenapa bisa begitu?”
Suster itu menengok ke arahku. Setengah wajahnya rusak penuh dengan belatung.
“Mereka itu hanya korban,” ucap Suster itu.
“Korban?”
“Korban kebiadaban ibunya. Mereka ditumbalkan sejak masih dalam kandungan. Janin-janin itu dikeluarkan secara paksa dengan bantuan seorang suster. Lalu diberikan pada seseorang, sebagai mahar untuk praktik ilmu hitam.”
“Pesugihan?”
“Iya. Mereka tidak sadar. Di dunia kami, janin-janin itu bisa bertumbuh besar menjadi seorang anak. Namun bentuknya tidak sempurna.”
“Ih kamu tau aja,” ucap Si Tebo sambil mengelus rambut Suster itu.
“Aku sudah lama di sini,” balas Suster itu dengan senyum manja.
“Ya Ampun, ganjennya,” gumamku. Daripada memperhatikan dua makhluk aneh ini memadu kasih. Lebih baik aku kembali ke kamar.
“Sudah ya, gw balik dulu, Bo. Terimakasih penjelasannya, Sus.”
“Sama-sama.” Suster itu tersenyum. Senyum lebar hingga merobek pipinya. Belatung yang menggantung di pipinya pun berjatuhan.
“Oke, Mir. Nanti saya urus anak-anak itu,” balas si Tebo sambil terus menatap Suster yang menurutnya cantik.
“Jangan sampai menyakiti mereka, kasian,” pesanku.
“Tidak, tenang saja.”
•
“Udah tau, Mir?” tanya Hendra ketika melihatku membuka mata.
“Udah.”
“Jadi kenapa bisa begitu?”
“Itu janin yang dijadikan tumbal pesugihan. Qorinnya tertinggal di sini dan tumbuh jadi anak yang bentuknya abnormal begitu.”
“Oh ... begitu. Akhirnya gw bisa tidur dengan tenang,” ucap Wildan kembali menutup matanya.
“Tapi ‘Boneka Mampang’ itu gak jahat kan?” tanya Hendra.
“Boneka Mampang?”
“Bocah-bocah.”
“Oh ... maaf belum terbiasa sama nama itu."
“Kayanya kagak jahat, paling cuman ngajak maen aja.”
Si Tebo tiba-tiba muncul di pojokan kamar. Hendra sempat tersentak kaget, melihat kehadiran Genderuwo sok tampan itu.
“Sudah beres, Mir.”
“Kamu apakan mereka?”
“Saya kurung di tempat yang paling ramai.”
“Tempat paling ramai?”
“Tempat yang banyak mayat itu. Di dalam sangat ramai. Jadi saya titipkan saja mereka pada penjaga di sana. Seorang wanita cantik. Namun hanya kepalanya saja, hahahaha ....”
“Jangan ketawa, Bo! Kalau ada yang dengar bisa gawat.”
“Maaf saya masih sering lupa.”
“Sudah, sana pergi pacaran sama suster tadi.”
“Saya sudah putus dengannya.”
“Cepet amat.”
“Suster di ruangan pojok sana jauh lebih cantik. Tapi dia sedikit kaget ketika saya berdehem di kamar mandi, sampai lari tunggang langgang.”
“Hah? Maksudmu ...?”
“Saya pergi dulu ya, kasian dia sedang menangis.”
Aku baru paham dengan ucapannya, ternyata Suster yang dimaksud itu Suster beneran alias manusia.
“Hey, Tebo! Kalau sampai kamu menakutinya. Aku akan menyuruh Si Hitam mengurungmu di dalam lemari,” teriakku ketika melihatnya menembus tembok menuju ruangan pojok.
“Tidak, Mir. Aku hanya ingin melihat wajahnya saja,” sahutnya.
Aku masih terjaga sambil membaca satu demi satu Slide untuk bahan kuliah, lusa. Hendra meminta izin tidur duluan, di atas kasur lipat yang ada di ruangan.
Sepanjang malam, kondisi kamar sudah aman. Nenek penghuni kamar mandi pun tidak berani masuk ke dalam. Wildan bisa tidur dengan nyenyak.
Rasa kantuk mulai menyerang. Kumatikan laptop, lalu merebahkan diri di atas sofa. Menutup mata hingga terlelap. Tidur.
SEKIAN