Ditarik ke Pusaran Air Sungai Citarum. Kala itu umurku masih 11 tahun. Ibu menyuruhku untuk mencuci baju di aliran Sungai Citarum yang kebetulan tidak begitu jauh dari rumah.Aku pun berjalan, sambil membawa ember berisi pakaian kotor. Ditemani beberapa anak lain yang mau mandi di sungai. Salah satunya Arman. Anak nakal yang sering menggangguku.
“Cie Eti, dah kaya emak-emak. Bawa ember ke sungai,” ledek Arman, diikuti gelak tawa teman-temannya.
Aku hanya melirik dengan tatapan tajam. Lalu berjalan lebih cepat.
“Buru-buru amat sih,” ujar Arman sambil sedikit berlari mengejarku.
Aku sudah mulai risih dengan tingkahnya itu. Kuambil salah satu baju kotor. Lalu kuayunkan dengan cepat, tepat mengenai badannya.
“Aw!” teriak Arman kesakitan.
“Sakit tau!” lanjutnya dengan nada marah.
“Lagian ngapain ngikutin gw sih?” balasku ketus.
“Galak amat,” balasnya seraya berjalan menjauhiku.
Setibanya di sungai, aku mencari tempat yang agak jauh dari mereka. Kondisi sungai sedang agak sepi. Mungkin karena aku datang kesiangan. Hanya ada dua orang ibu-ibu yang sedang mencuci baju. Itupun sudah hampir selesai.
Aku mulai mengeluarkan baju di ember, menumpuknya di sisi sungai. Lalu duduk di dekat batu besar. Satu persatu baju itu kucelupkan ke air dan dibentangkan di batu besar. Selanjutnya kuoleskan sabun colek dan menyikatnya. Setelah dibilas sampai bersih, baru kusimpan di dalam ember. Karena terlalu fokus mencuci, aku sampai tidak sadar kalau Arman sudah ada di belakangku.
“Eti, gak mau ikut mandi?” ajak Arman mengagetkanku. Aku mengacuhkannya, hanya fokus menyikat baju.
“Kalau ada yang nanya itu dijawab dong!” ucapnya.
“Emang mau dijawab apa?” balasku sambil menoleh ke belakang.
“Ya mau atau enggak?”
“Enggak! Udah jelas gw lagi nyuci. Dah sono pergi!” Aku pun memalingkan muka, lanjut menyikat baju.
Tiba-tiba ....
Ada sebuah dorongan keras dari belakang. Cukup untuk membuat tubuh kecilku itu tercebur ke sungai. Kakiku pun tak sengaja mendepak ember. Hingga akhirnya semua pakaian di dalamnya ikut tercebur.
Aku bisa berenang dan area sisi sungai pun tidak begitu dalam. Seharusnya dengan mudah bisa bangkit dan kembali ke sisi sungai. Namun, kakiku terasa sangat berat. Dengan jelas bisa merasakan ada sesuatu menahannya.
“Tolong!” Aku berteriak minta tolong, sambil menatap Arman yang berdiri di sisi sungai. Dia malah tertawa, sepertinya tidak percaya kalau aku sedang kesulitan.
Entah bagaimana, aliran sungai yang tadinya tenang pun berubah menjadi deras. Tanganku yang berpegangan di batu kecil pun akhirnya terlepas. Setelah itu, aku terbawa arus hingga ke tengah sungai.
Situasi semakin sulit, karena aku mulai merasakan ada yang menarik kakiku. Mengarah ke bagian sungai yang paling dalam.
“Tolong!” ucapku sebelum seluruh tubuhku tenggelam.
Di dalam air, aku terus mengoyang-goyangkan kaki. Agar terlepas dari tarikan itu. Berhasil, aku bisa kembali ke permukaan air. Mengayunkan kedua tangan, mengarah ke sisi sungai.
Belum juga sampai di sisi sungai. Kini tubuhku terasa berat. Pernah merasakan menggendong seseorang sambil berenang. Ya, seperti itulah rasanya. Semakin lama semakin berat, hingga akhirnya aku kembali tenggelam.
Saat itulah aku dengan jelas melihat sosok yang menarik tubuhku. Seorang wanita berambut panjang, mata merah dan sepasang tanduk besar di kepalanya. Wanita itu tidak menggunakan busana sehelai pun. Sehingga aku bisa dengan jelas melihat kulit tubuhnya yang pucah pasi.
Dia terus menarik tubuhku, menjauh dari tempatku mencuci baju. Aku mulai kehabisan nafas dan pandangan mulai meredup. Namun, masih bisa merasakan tubuhku berputar-putar seperti gasing. Semakin lama semakin cepat dan dalam.
Aku sudah pasrah, mungkin memang ini takdirku. Mati tenggelam di sungai. Seperti dua sahabatku yang lain.
Dalam hati terus berdoa, “Ya Allah, Eti enggak mau mati di sini.”
Tiba-tiba, ada tangan yang menarikku kembali ke permukaan. Aku bisa merasakan sentuhannya di telapak tanganku. Sampai di permukaan, tubuhku meluncur dengan sendirinya. Menjauh dari pusaran air, menuju sisi sungai.
Di sisi sungai, kulihat wanita itu menatap tajam. Lalu, menghilang beserta pusaran air itu.
Aku berusaha menenangkan diri dan mengatur nafas. Tangis pun pecah. Berada di situasi antara hidup dan mati memang traumatis. Aku hanya bisa duduk, menundukan kepala, dengan kedua lutut sebagai penopangnya.
Tak lama adzan ashar berkumandang. Aku pun bangkit dari tempat duduk. Bergegas kembali ke rumah.
Tanpa alas kaki, aku menyusuri pepohonan, menuju ke jalan utama. Selanjutnya baru mengetahui, di mana aku sekarang. Ternyata wanita itu membawaku cukup jauh dari tempat semula. Aku terus berjalan. Sesekali menitikan air mata, mengingat kejadian tadi.
Sesampainya di dekat rumah. Kondisi jalan sepi sekali, tidak ada seorang pun. Dengan sedikit berlari aku cepat-cepat menuju rumah. Namun langkahku terhenti, tepat di depan gang rumahku.
Aku baru ingat tentang baju-baju yang tadi hanyut. Karena takut dimarahi ibu, aku memutuskan tidak kembali ke rumah dulu. Bersembunyi di bawah rumah panggung tetanggaku.
Hampir satu jam aku bersembunyi di sana, sampai terdengar suara orang mengobrol di depan rumah. Aku menguping obrolannya.
“Masih belum ketemu, Pak?” tanya suara wanita.
“Belum, Bu. Kayanya hanyut terbawa arus,” balas suara laki-laki itu.
Aku bisa menebak pasti itu suara Bu dan Pak Brata. Pemilik rumah panggung, yang tidak lain tetanggaku.
“Kasian Karni dari tadi nangis terus,” ucap Bu Brata.
“Ibu nangis terus?” pikirku usai mendengar perkataan Bu Brata. Karena hal itu, aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Ternyata di depan rumah sudah ramai orang.
Aku berjalan dengan santainya. Orang-orang yang melihatku sepertinya tidak percaya dan takut. Mereka mundur sedikit, tidak mau mendekat.
“Ini Eti beneran?” tanya Pak Dori, tetanggaku.
“Iya, masa hantu,” balasku kesal dipandang aneh.
“Ya Allah, Eti masih idup!” teriak Tanteku yang sedang duduk di teras depan. Dia langsung memelukku dan mengajak ke dalam rumah.
Di ruang tengah sudah banyak anggota keluarga yang berkumpul. Salah satunya kakek Adha, yang hanya melebarkan senyum.
“Eti, ke mana aja!” ucap Ibu sambil memukul pundakku.
“Kata si Arman Eti hanyut. Ibu udah takut.” Argh, anak nakal itu. Padahal dia yang mendorongku hingga tercebur ke sungai.
“Udah, mandi dulu sana! Takut ada yang ngikut,” ucap Kakek Adha masih tersenyum.
Ibu langsung membawaku ke kamar mandi. Setelah mandi dan ganti baju, aku disuruh duduk di ruang tengah. Tepat di samping kakek Adha.
Wajahnya nampak sekali sedang menahan tawa, tapi aku tidak berani menegurnya. Hanya sedikit menudukan kepala, sambil memegang segelas teh hangat.
“Bener kata Bapak Adha, tadi bilang sebentar lagi juga pulang. Eh pulang beneran,” ucap Ibu.
“Mangkanya, Eti. Jangan suka sembunyi di tempat gelap,” balas Kakek Adha.
“Tempat gelap?” tanya Ibu kebingungan.
“Udah gak usah dibahas, Eti ngerti kan maksud Kakek?”
Aku mengangguk pelan, lalu menyeruput teh hangat.
“Bu, maaf bajunya jadi ikut hanyut,” ucapku pelan, takut ibu marah.
“Ah cuman baju doang. Yang penting Eti selamat.”
“Iya tuh gara-gara, Si ....”
“Stt, udah jangan dibahas.” Kakek Adha memotong ucapanku.
“Gara-gara apa?” tanya Ibu.
“Paling kepeleset pas nyuci. Iya, Kan?” balas Kakek Adha sambil melebarkan kedua matanya.
Ah, aku baru paham maksud Kakek Adha. Sepertinya dia melarangku untuk bercerita yang sebenarnya. Karena jika aku bilang ini semua karena ulah Arman, bisa-bisa nanti ada keributan besar di kampung ini. Apalagi kalau mendengar cerita bagaimana aku selamat, bisa semakin heboh.
Kakek Adha mendekatkan mulutnya ke telingaku.
“Jangan dendam,” bisiknya pelan. Aku pun membalas dengan anggukan pelan.
*
Selang beberapa hari pasca kejadian. Aku pergi mengaji di masjid. Di sana ada Arman. Tetap saja, aku tidak bisa menyembunyikan rasa kesal. Secara otomatis wajahku berubah menjadi sinis.
“Eti,” sapa Arman dengan raut wajah malu-malu.
“Maafin ya, sumpah gw kagak sengaja. Gw kira gak bakal sampe begitu. Biasanya kan, airnya gak dalem,” lanjutnya.
Dari wajahnya, sepertinya dia tulus meminta maaf.
“Iya gw maafin, yang penting gw selamat. Kalau beneran hanyut, ntar gw gentayangon lu, minta pertanggung jawaban,” balasku.
“Sekali lagi maafin ya, Ti.”
“Iye.”
Semenjak hari itu, sikap Arman berubah 180 derajat. Dia tidak pernah menggangguku lagi. Malahan menjadi pelidungku, saat ada orang lain menggangguku. Hingga akhirnya kami pun menjadi teman baik.
*
Lama setelah kejadian, saat aku berkunjung ke rumah Kakek Adha. Akhirnya dia menjelaskan tentang kejadian misterius di Sunga Citarum itu.
“Eti pas waktu hanyut di sungai ada yang narik ya?” tanya Kakek Adha.
“Kok kakek tau?”
Kakek Adha tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya tertawa kecil. Lalu mengalihkan dengan sebuah pertanyaan.
“Eti masih inget gimana bentuknya?”
“Bentuk apa, Kek?”
“Orang yang narik Eti ke pusaran air.”
Aku semakin bingung, bahkan Kakek Adha tau kalau ada pusaran air.
“Perempuan, telanjang, ada tanduknya,” balasku.
“Itu namanya Lembu.”
“Lembu?”
“Iya, Jin Air yang suka narik-narik orang ke tempatnya.”
“Tempat apa, Kek?”
“Ke alamnya, dunia Jin. Pusaran Air itu menjadi gerbang atau pintu masuk ke tempatnya. Beruntung Eti gak masuk ke sana. Kalau iya, bisa mati dan susah dicari.”
“Iya keburu ada yang narik ke atas, tapi ... gak tau siapa?”
“Buaya Buntung. Dia yang narik Eti ke atas.”
“Kok Kakek bisa tau?” tanyaku lagi.
Lagi-lagi, kakek tidak membalas pertanyaanku itu. Dia malah mengelus-elus rambutku dan berkata, “Nanti juga Eti tau.”
SEKIAN