Minggu, 25 Juli 2021

BERTEMAN DENGAN GENDERUWO

Cerita Horor, Genderuwo
Berteman Dengan GenderuwoApa yang pertama ada dipikiran kalian ketika bertemu atau Face to Face (F2F) dengan Genderuwo?

“Aduh ... ngebayanginnya aja gak mau, apalagi harus ketemu.”

Kebanyakan orang ketika melihat sosok ini pasti kabur. Aku pun sama, ketika pertama kali F2F dengan makhluk ‘chubby’ ini.

Siapa juga yang tidak takut melihat sosok tinggi besar dipenuhi rambut, kukunya panjang, dengan gigi bertaring, rambut gondrong dan mata merah.

Sebenarnya, yang bikin dia serem itu karena dominasi warnanya hitam. Coba aja kalau dicat warna hijau toska terus ditambah motif polkadot warna ungu. Pasti unyu-unyu, mirip dengan ‘Sullivan’, temennya Mike ‘Si Mata Satu’ di film Monster INC.

*kembali ke pembahasan utama*

Gimana sih rasanya berteman dengan Genderuwo?

Ya ... biasa aja, sama kaya yang lain. Mungkin karena dasarnya aku tidak bisa dekat dengan hantu anak-anak. Entah kenapa mereka baru melihatku saja, langsung ketakutan dan kabur. Mungkin karena penjagaku wajahnya serem-serem.

*

Bagaimana pertama kali kita berjumpa?

Sebelumnya, aku tidak pernah memberi nama, jin yang coba mengikutiku. Jadi anggap Si Genderuwo ini namanya Tebo. Sebuah nama yang lumayan populer di tahun 2000an.

Waktu itu, aku sedang di jalan, pulang dari rumah teman, sekitar jam dua malam. Aku mengendarai sepeda motor, melewati jalan raya di tengah pesawahan.

Lagi asik mendengarkan lagu 'Shallow' di earphone, tiba-tiba motorku terasa berat sekali. Biasanya, yang hobi nebeng ini jenis-jenis Miss-K atau Poci. Eh ... ketika menoleh ke belakang, ternyata malah Genderuwo.

Merasa tidak bersalah, dia malah mengoyang-goyangkan motor, hingga membuatku hampir terjatuh. Aku matikan motor, berbalik badan, lalu melotot ke arahnya.

Kutanya apa maksudnya ini?

Usut punya usut, ternyata dia adalah kiriman seorang dukun. Istilahnya senjata pamungkas dukun tersebut. Si Dukun ini dendam, karena ‘kiriman’ dia ke seseorang, pernah kugagalkan.

Si Tebo ini, berbeda dengan jenis Genderuwo lain. Badannya lebih gede, terus warna badannya agak kehijauan. Katanya sih, dia itu pemimpinnya para Genderuwo.

Sempat terjadi pertarungan seru antara penjagaku dengannya. Aku hanya menonton saja, sambil mendengarkan lagu. Toh makhluk jenis ini sudah sering sekali singgah ke rumah.

Si Tebo pun akhirnya tumbang. Dia minta ampun, memohon untuk ikut denganku. Dia sudah tau, ketika gagal menjalankan tugasnya, pasti akan ada hukuman.

Jujur, aku tidak terlalu keberatan jika dia ingin ikut denganku. Hanya saja dengan satu syarat, jangan pernah mencelakai orang lagi.

Ternyata, si Dukun tahu, kalau Si Tebo ini mengingkari perjanjian dengannya. Dikirimlah rombongan Miss-K dan Poci beraneka warna, ditambah beberapa mantan anak buah si Tebo.

Sebagai uji coba, kupinta dia melawan mereka semua, dibantu dikit-dikit oleh penjagaku. Akhirnya rombongan itu pun kalah dan kabur.

Aku pun memperbolehkan dia ikut sampai rumah. Urusan disimpen di mana, nanti bisa dipikirkan lagi.

Sampai di rumah, Si Tebo malah dihalau oleh penjaga-penjaga rumah. Awalnya dia tidak boleh masuk. Setelah negosiasi cukup a lot, penjaga pun sepakat untuk memberinya tempat di dalam lemari kayu jati, di teras rumah.

*

Singkat cerita, beberapa hari kemudian, di pagi hari yang cerah. Terjadi obrolan antaraku dengan kakak di ruang tengah.

“Mir ... pas kemaren tidur sendirian di rumah, ada yang datang ke rumah tuh,” protes kakak.

“Hah siapa, Kak?”

“Gak jelas, pokoknya badannya gede terus item semua. Dia juga ketawa-tawa di atas kamar.”

“Owh ... itu Si Tebo, kemaren ikut sama Amir. Genderuwo itu, Kak.”

“Hadeh, ngapain bawa Genderuwo ke rumah, kaya gak ada makhluk lain aja.”

“Ah kakak juga, sering bawa Kuntilanak Merah ke rumah.”

“Lah itu kan gak tau kalau ngikut.”

“Ya udah sama aja ... yang penting dia gak nakal.”

“Gak nakal gimana sih, dia udah ganggu tidur gitu.”

“Mau kenalan kali, Kak.”

“Ish ... males banget," ucap Kakak lalu pergi ke kamarnya.

*
Sampe detik ini, Si Tebo ini masih terus mengikutiku. Dia juga sering memberi peringatan, kalau ada ‘kiriman’ yang datang ke rumah.

Sekarang dia malah sering jalan-jalan bareng Si Burung. Mereka jadi sering berduet untuk menjaga rumah dan menghalau ‘kiriman’ dari para dukun.

SEKIAN
Share:

SALAH JALAN (NYASAR KE KANDANG JIN)

Nyasar,  Kandang Jin, Hantu

Salah Jalan (Nyasar ke Kandang Jin)
Ada yang pernah salah jalan? Yah ... minimal selama hidup pasti ada lah sekali atau dua kali salah jalan. Biasanya emang karena tidak tahu amat atau kurang fokus.

Bagi kebanyakan orang, salah jalan ini hanya sekedar salah atau lupa arah jalan. Sedangkan bagiku, salah jalan bisa mrenjadi pengalaman yang menakutkan.

*

Sekitar jam 11 malam, aku pergi ke rumah temen di Cibinong dari rumah seorang teman lain di Bekasi. Kebetulan melewati jalan yang katanya sudah terkenal angker. Bahkan sudah sering memakan korban. Desas-desus yang beredar, mereka dijadikan tumbal pesugihan. Temen yang tahu kalau aku akan melewati jalan itu, sudah mewanti-wanti agar lebih berhati-hati. Jawabanku sederhana saja, untuk apa takut dengan 'mereka'.

*

Aku mengendarai motor sendirian. Baru saja masuk ke jalan raya itu, hawanya sudah jau berbeda. Banyak mata memandang, serasa ,menjadi seorang artis yang dilihat banyak fans. Bedanya, pandangan mata itu tanpa wujud. Udara menjadi lebih panas dan pengap, padahal sudah nyaris tengah malam.

Sedang asik menyalip mobil-mobil truk. Tiba-tiba Si Kingkong, salah satu penjagaku membisikan sesuatu, “Hati-hati.”

“Iya ... liat kok ... banyak mobil gede,” balasku agak menurunkan kecepatan.

“Bukan itu.”

“Terus apaan?”

“Itu di depan.”

“Hah?”

“Kalau jalan lihat-lihat, Amir. Benda sebesar itu pun kamu tidak lihat,” ucapnya sambil mengarahkan jari telunjuknya jauh ke depan.

Saya berkonsentrasi, mempertajam indra penglihatan.

“Oh itu ... gede juga ya. Apaan sih itu?”

“Kandang Jin.”

“Satu, dua, tiga, empat ... banyak juga ya yang pasang di jalan ini. Pantesan ....”

*

Sekilas info,

Kadang Jin ini biasanya ditanam seseorang alias dukun, untuk mencari tumbal di jalanan.

Setiap kandang itu pasti mempunyai satu pemimpin, dengan ribuan anak buah. Ada yang dipimpin siluman ular, ratu kuntilanak, raja genderuwo, buto ijo dan jin-jin lainnya.

Sedangkan anak buahnya ini lebih ke hantu standar, pocong, kuntilanak dan genderuwo. Sisanya lebih ke Jin Qorin yang dijebak atau terjebak di sana. Jin Qorin yang terjebak ini, yang biasa disebut tumbal.

Ke empat kandangnya tidak berjauhan. Berarti yang pasang, masih orang yang sama atau satu perguruan.

*

“Hati-hati.” Lagi-lagi Si Kingkong muncul mengingatkan.

“Iya, cerewet banget ih.”

Aku perhatikan, kandang-kandang itu ada di ujung jalan, dekat persimpangan. Masih jauh dari tempat motorku melaju.

*

Sialnya, karena melamun, tanpa sadar, suasana jalan sudah berubah. Lengang.

Mobil-mobil besar yang tadinya ramai, tiba-tiba menghilang. Hanya terlihat beberapa mobil minibus saja di depan, agak jauh.

Jalan pun berubah menjadi agak gelap. Tidak ada pencahayaan dari warung atau perumahan warga di pinggir jalan.

“Sudah dibilang hati-hati, malah melamun,” ucap Si Kingkong.

“Eh ... masuk ya. Hehehe,” balasku yang baru sadar sudah pindah ke alam lain.

“Aduh, ini pasti merepotkan,” keluh Si Kingkong.

“Jadi gimana?”

“Ya sudah, kamu jalan terus saja.”

Aku tancap gas, menyelusuri jalan lurus dan panjang ini. Dari depan terdengar bunyi sirine cukup kencang. Sirine ambulan, yang melaju berlawanan arah.

Pada satu titik, aku pun berpas-pasan dengan ambulan itu. Bukan manusia. Ambulan itu dikemudikan oleh seorang pria dengan wajah hancur. Aku terus memacu kendaraan, karena ambulan seperti itu sudah biasa terlihat di jalan tol yang sering kecelakaan.

Kondisi jalan semakin mencekam. Banyak bangkai sepeda motor dan mobil. Ada yang remuk dan terbakar.

Di dekat kendaraan-kendaraan itu, ada orang-orang dengan tubuh hancur, gosong, bahkan nyaris tak berbentuk. Mereka itu Jin Qorin dari korban-korban kecelakaan.

“Tolong ... tolong ….”

“Aduh sakit ….”

“Panas ....”

Kata-kata itu terdengar bersahut-sahutan. Ditambah suara jerit dan tangis yang menyayat hati.

*

Di pinggir jalan banyak wanita yang diseret-seret oleh sosok seperti Genderuwo.

“Wanita itu akan dijadikan budak seks,” ucap Si Kingkong.

Nasib Qorin pria pun tidak kalah mengenaskan. Lehernya diikat dan ditarik, seperti hewan peliharaan.

“Mereka itu akan dijadikan anak buah. Tapi ....”

“Tapi apa?”

“Kalau sudah tidak berguna, bisa menjadi makanan mereka.”

“Owh ....” Aku masih memacu sepeda motor dengan santai.

Tiba-tiba ... di depanku sudah berdiri makhluk tinggi besar. Badannya dipenuhi bulu berwarna hitam. Mulutnya bertaring, matanya merah dan membawa tongkat. Sudah pasti ini pemimpin mereka, Raja Genderuwo.

“Mau apa kamu kesini?” tanya Raja Genderuwo itu.

“Saya cuman lewat.”

“Lewat?? Buat apa bawa mereka,” ucapnya sambil menunjuk ke arah belakangku.

Aku menoleh, tenyata Si Kingkong sudah tidak sendirian. Dia sedang tertawa-tawa bareng ‘Trio Macan’, penjagaku yang lain.

“Jangan ganggu, lebih baik cepat pergi.”

“Dari tadi juga mau pergi, tapi ini malah nyasar ke tempat kamu.”

“Boleh saya kerjai dia?” bisik Si Kingkong.

“Jangan, nanti banyak yang ngamuk-ngamuk ke rumah.”

*

*flashback on*

Diantara semua penjagaku, Si Kingkong ini yang paling jahil.

Pernah pas pulang malam, tanpa sengaja ada Kuntilanak lewat. Eh ... bajunya dia ganti menjadi motif polkadot. Kuntilanak itu nangis dan protes padaku.

Bukan hanya Kuntilanak. Dia juga pernah mengikat sesosok Pocong di pohon. Sampai teman-teman pocong lainnya demo ke rumah.

Kejadian yang paling bikin pusing, ketika malam-malam aku melewati sebuah jembatan. Si Kingkong yang sedang duduk di jok belakang. Tiba-tiba membawa seorang anak kecil.

“Hadeuh ... pantesan motornya berat amat. Ngapain sih bawa itu bocah?”

“Kasihan.”

“Hah?”

“Ini anak akan dijadikan makanan oleh Siluman itu,” ucapnya sambil menunjuk sesosok Siluman Kadal yang sedang mengejar motor saya.

“Ya elah ... Kong Guan! Mending balikin dah. Aku males urusan sama dia.”

“Kong Guan apa?”

“Kamu!!” jawabku kesal. “Udah cepet balikin. Tuh dia bawa rombongannya sekarang.”

“Tidak ... kasihan.”

“Terserah lah ... yang penting kamu urus tuh mereka.”

“Ah ..: kecil.”

Si Kingkong menyuruh Qorin anak kecil itu duduk di belakangku. Tangannya memegang badanku dengan erat, dan itu sangat tidak nyaman. Ya ... masa hantu takut jatuh sih?

Dari penglihatan mata batin, terlihat Si Kingkong sedang bermain-main dengan Siluman Kadal dan anak buahnya. Dia melempar wajah Siluman Kadal dengan cairan berwarna hitam. Wajahnya yang cantik, tiba-tiba berubah menjadi gelap. Siluman itu menangis, dan pergi entah kemana.

Gara-gara kejadian itu. Keesokan malamnya, Siluman Kadal itu datang ke rumah, membawa lebih banyak pasukan. Si Kingkong malas meladeni ‘mereka’. Dia lebih memilih bermain bersama anak-anak kucing di dalam rumah.

“Kong ... tuh banyak yang datang,” ucapku yang sedang rebahan di kasur, sambil bermain game mobile.

“Biarkan saja ... nanti juga dimakan Si Macan Kumbang (salah satu anggota ‘Trio Macan’)”

Benar saja, hanya dalam hitungan menit, sudah terjadi pembantaian. Si Macan Kumbang datang menghampiriku , membawa sesuatu. Mahkota dengan berlian berwarna hitam, yang tadi dipakai oleh Siluman Kadal itu.

“Kamu apakan dia?”

“Saya makan.”

“Dih ... beneran dimakan.”

“Tuhkan ... kamu tidak percaya,” ucap Si Kingkong yang sedang menarik-narik buntut anak kucing.

“Habisnya, akhir-akhir ini sepi. Jarang ada yang ke rumah.”

“Whatever ....” Saya tidak memperdulikan obrolan mereka. Lebih baik fokus bermain game tembak-tembakan di gadget.

*flashback off*

*

“Jadi gimana nih ... padahal saya sudah jauh-jauh datang ke sini,” protes Si Macan Putih.

“Gak usah bikin ribut, sana pulang!” balasku.

Si Belang dan Si Putih sudah menghilang, kembali ke rumah. Tinggal satu ekor ini, yang paling resek, Si Hitam (Macan Kumbang).

“Pintu keluarnya ke mana ya?” tanyaku ke Raja Genderuwo itu.

“Kamu jalan terus, nanti di depan ada pintu keluar.”

“Oh oke.”

Saya pun kembali menghidupkan sepeda motor, berlalu melewati Si Raja Genderuwo itu. Pintu keluarnya ternyata agak jauh. Harus melewati dua kandang lain.

“Mir ... itu boleh tidak?” tanya Si Hitam yang sedang memandangi sesosok wanita cantik, dengan pakaian serba merah. Sebut saja Kuntilanak Merah.

“Emang mau diapain?”

“Ya, dimakan lah,” balas Si Kingkong, lalu mereka berdua tertawa. Sepertinya Kuntilanak Merah itu tahu sedang membicarkannya. Dia pun lari ketakutan.

“Eh dia lari,” ucap Si Kingkong.

“Yahhhhh ....” Si Hitam kecewa, lalu menghilang.

Dari kejauhan, terlihat cahaya terang. Sudah pasti itu pintu keluarnya. Aku tancap gas, dan melalui cahaya itu. Lalu, ke luar di sebuah jalan setapak yang gelap, dikelilingi banyak pohon. Jalannya berbatu, membuatku melambatkan laju sepeda motor.

“Ngapain Mas lewat sini?” sapa seorang Kakek Tua yang tiba-tiba muncul dari balik pepohonan.

Reflek kuhentikan sepeda motor, “Enggak Kek,” balasku sambil tersenyum.

“Bilang aja salah jalan.” Kakek itu tertawa puas sekali, lalu menghilang.

SEKIAN
Share:

TUYUL KIRIMAN

Tuyul, Horor, Hantu

Tuyul Kiriman
Di zaman yang serba modern ini, beberapa orang pernah curhat padaku, kalau uangnya sering hilang secara tiba-tiba. Hilangnya agak aneh, hanya nominal tertentu saja.


Keaneh semakin bertambah, ketika uang di dalam celengan pun ikut raib. Bayangkan saja, maling mana yang kurang kerjaan sodok-sodok uang 50.000-an di celengan. Luar biasanya bisa dapat semua, tanpa ada yang tertinggal. Menyisakan uang 10.000 dan 20.000.

Kesal, pastinya sangat kesal. Uang yang dikumpulkan untuk keperluan darurat malah raib. Dia pun akhirnya menduga-duga, ini pasti ulah Tuyul.

“Bener gak?” tanyanya padaku.

“Bisa iya ... bisa juga enggak. Cuman kalau dilihat dari ciri-cirinya mungkin bener itu ulah Tuyul,” balasku.

Di Indonesia, faktor ekonomi selalu dijadikan landasan untuk melakukan pemujaan terhadap anak bocah ini (red: Tuyul). Bahkan aku pernah bertemu sesosok anak kecil yang mati ditumbalkan oleh ibunya. Hanya sebagai syarat untuk melakukan pemujaan kepada Tuyul.

*

Lalu bagaimana cara kerja Tuyul?

Anggapan kebanyakan orang, Tuyul ini mengambil uang secara manual. Ya ... seperti film-film tahun 90-an, yang pemerannya Ateng dan Iskak. Mereka masuk ke dalam rumah, lalu mengambil uang di lemari. Sayangnya itu hanya ada di film saja.

Kenyataannya, dalam menjalankan tugasnya, Tuyul ini hanya berdiri saja di depan rumah. Lalu menggesek-gesekan tangannya. Secara gaib, nominal uang yang diincarnya akan berpindah ke tangannya.

Keren, Kan?

Jadi segala macam usaha pencegahan, seperti menaruh baskom berisi kepiting di dalam rumah. Terkadang berakhir sia-sia. Uang masih saja hilang.

Biasanya aku menyarankan agar menyimpang uang di dekat Al Qur’an. Lalu mengaji selepas magrib, soalnya itu jam-jamnya mereka ke luar mencari mangsa.

*

Aku jadi ingat tentang mitos Tuyul vs cermin. Katanya, kalau Tuyul jika dikasih cermin, dia akan asik bercermin, hingga lupa akan tugasnya.

Namun, pengalamanku malah berbeda. Ketika sedang bermain di rumah teman. Tanpa sengaja, salah satu penjagaku ada yang iseng, menangkap Tuyul yang lewat di depan rumahnya.

Singkat cerita, kukasih dia cermin. Bukannya asik berkaca ria, eh ... dia malah nangis.

“Kok muka saya jelek,” kata Tuyul itu sambil menangis. Sepanjang malam, Tuyul ini dijadikan bahan olok-olokanku dan teman-teman.

*

Pernah juga, ketika mati lampu. AKu sedang berjalan-berjalan di sekitaran perumahan, tempatku tinggal.

Anggap saja rumahku di Blok A. Nah ... pada malam itu aku sedang jalan-jalan ke Blok C, bersama seorang teman.

Ketika sedang jalan-jalan santai di Blok C. Dari kejauhan kulihat ada empat cahaya merah. Tepatnya di rumah paling ujung.

Penasaran ... kuhampiri cahaya itu. Ternyata oh ternyata, ada dua anak kecil botak bermata merah sedang duduk di depan rumah itu. Melihatku yang datang mendekat, mereka langsung berdiri. Mendesis, sambil menunjukan giginya yang bertaring.

Itu sih namanya cari gara-gara. Aku langsung ambil tindakan, mengikat kedua bocah itu, lalu dipulangkan ke pemiliknya..

*

Beberapa hari berlalu, tiba-tiba ....

Saat malam jumat, aku mendengar ada suara isak tangis dari luar rumah. Tangis seorang anak kecil. Biasanya khusus hantu anak kecil, kuperbolehkan masuk, asalkan tidak bandel.

Anak kecil yang satu ini ternyata beda. Badannya saja anak kecil, tapi mukanya tua sekali.

“Oh Tuyul ternyata,” ucapku ketika melihatnya terikat di pohon mangga depan rumah.

“Siapa yang ngirim kamu ke sini?” tanyaku.

Dia pun menceritakan, kalau yang mengirimnya adalah pemilik dari tuyul yang pernah kuikat. Katanya, dia datang untuk mengerjaiku.

Entah apa yang ada di pikiran sang Pengirim, mengirim anak bocah ke rumah. Yang ada dia jadi bulan-bulan penjaga rumah. Ibaratnya masuk ke kadang Macan.

“Tolong lepaskan saya.” Si Tuyul itu menangis, meminta ikatannya dilepas.

“Siapa yang ikat kamu?”

“Wanita jelek itu,” ucapnya menunjuk Si Merah yang daritadi tertawa sambil ongkang-ongkang kaki di salah satu dahan pohon mangga.

“Itu kerjaan kamu?” tanyaku pada sosok Kuntilanak Merah itu. Dia pun menggangguk pelan, lalu kembali tertawa melihat rengekan Tuyul itu.

Aku pun melepaskan ikatannya dan memintanya untuk tidak kembali lagi. Katanya, dia juga kapok main ke rumahku.

SEKIAN
Share:

Jumat, 23 Juli 2021

TIDAK PAKAI KACAMATA

Cerita Horor
Tidak Pakai Kacamata. Tubuhku rasanya remuk sekali. Kepala pusing, sesekali seperti kesemutan. Pundak pegal serasa habis mengangkat satu karung beras. Badan pun terasa lemas, kehabisan tenaga. Padahal aku sudah terbiasa kerja lembur.


Setelah dipikir-pikir, keanehan ini dimulai saat pulang kerja. Aku turun menggunakan lift. Sendirian. Di lantai 4, lift terbuka. Tak terlihat satu orang pun di sana.


Kutekan tombol untuk menutup lift. Belum sempat menutup sempurna, pintu lift kembali terbuka. Penasaran, aku mendekati pintu. Melihat ke luar lift. Benar, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada koridor panjang yang sudah gelap gulita.


Sampai di lantai bawah, aku langsung menuju parkiran. Hanya tersisa sepeda motorku saja yang terparkir di sana. Entah kenapa, ketika aku melewati pos satpam. Bukannya menyapaku, Pak Satpam malah membalikan badan. Tak mau melihatku.


Motor pun terasa berat. Ada hawa dingin menyelimuti pundak dan leherku. Dada pun terasa sesak seakan ada yang menghimpitku. Kupacu sepeda motor dengan kecepatan tinggi, toh jalan pun sudah sepi.


Sesampainya di kosan, langsung membaringkan badan di atas kasur. Tak lupa aku melepaskan kacamata. Kutaruh di atas nakas samping kasur. Tak butuh waktu lama, aku pun sudah tertidur pulas.


Entah baru berapa lama tetidur. Samar-samar kudengar ada suara seorang wanita bersenandung. Suaranya lembut dan membuat bulu kudukku meremang. Aku membuka mata. Melihat setiap sudut kamar. Mataku tertuju pada cermin besar di dekat pintu.


Kulihat seseorang sedang berdiri menghadap cermin. Mengenakan pakaian berwarna putih. Rambut panjangnya menjuntai hingga ke lantai. Sepertinya dia menoleh ke arahku, tapi wajahnya tidak terlihat jelas.


Kuraih kacamata di atas nakas. Dan melihatnya kembali. Ya ... dia sedang menatapku. Wajahnya pucat dengan lingkaran hitam besar di sekitar mata. Bibirnya sumbing dengan gigi menghitam.


Kulepaskan kacamata. Menatap wajahnya dan berkata, “Kalau tidak pakai kacamata, Mbak cantik banget loh.”


Mungkin saking senangnya dibilang cantik. Dia pun terbang melayang, menembus langit-langit kamar. Fiuh ... akhirnya aku bisa lanjut tidur dengan tenang.



SEKIAN

Share:

NUMPANG LEWAT

Kuntilanak, Horor,
Numpang LewatMalam itu, aku sedang duduk di sofa, menonton pertandingan tenis di televisi. Ditemani secangkir coklat panas dan biskuit, yang kuletakan di atas meja. 


Rumah memang sedang sepi. Hanya ada aku, layaknya penghuni terakhir. Ibu sedang pergi ke Malaysia, sedangkan kakak sedang liburan ke Bogor.

Rintik suara hujan mulai terdengar di atas genting. Udara dingin pun berhembus dari lubang di langit-langit.

Entah kenapa, tiba-tiba kepalaku pusing sekali. Bulu kudukku pun meremang. Firasatku sudah mulai tak enak. Hawa terasa lebih dingin dari biasanya. Namun aku berusaha tidak memperdulikan perasaan ini.

Kuulurkan tangan, meraih cangkir berisi coklat panas di atas meja. Kutiup pelan-pelan, lalu menyeruputnya. Biasanya, coklat bisa membuat tubuhku lebih rileks, tetapi kali ini tidak.

Sejak tadi, bulu kudukku tak berhenti meremang. Dimulai dari leher hingga menjalar ke kaki. Rasa sakit di kepala membuat pandanganku sedikit kabur.

Tak jelas ... sepertinya aku melihat telapak tangan muncul dari balik tembok, di belakang televisi. Aku usap mataku, mencoba untuk fokus. Benar ... itu telapak tangan.

Perlahan, telapak tangan itu bergerak maju. Hingga terlihat sepasang tangan utuh, menembus televisi. Aku tetap tenang, walaupun tangan itu sudah menghalangi layar televisi.

Tiba-tiba ... kepala seorang wanita muncul dari balik tembok. Wajahnya terlihat pucat dengan lingkaran hitam mengelilingi kedua bola matanya.

Dia celingak-celinguk, sesekali tersenyum ke arahku. Namun aku pura-pura tidak melihatnya.

Sekarang, seluruh tubuhnya sudah muncul dari balik tembok. Tanpa rasa bersalah, dia melayang, menembus televisi dan berdiri mematung.

Aku terpaksa menonton gaun putih nan lusuhnya itu bergerak-gerak. Tanpa sengaja, lirikan mataku berbenturan dengan lirikan matanya. Dia pun kembali tersenyum, lalu menghampiriku yang masih duduk di sofa.

Hanya beberapa centimeter saja, jarak antara wajahnya dengan wajahku. Aku sama sekali tak takut, mungkin karena sudah terbiasa.

Ku tatap wajahnya dengan tatapan kosong. Terlihat dengan jelas, urat-urat di pipinya yang sudah berwarna hitam.

Dia kembali tersenyum, dengan gigi yang kecoklatan. Lagi-lagi, aku tak menanggapinya. Mungkin sudah lelah, kemudian dia duduk di sampingku

Aku bergidik, seperti ada sentuhan halus mengusap wajahku. Dari ekor mata kulihat dia sedang mengibas-ngibaskan rambut, hingga mengenai wajahku.

Awalnya aku tak memperdulikannya. Tetapi tingkahnya semakin menjadi-jadi. Dia menyenderkan kepalanya ke pundakku. Sesekali meniup daun telingaku.

Dengan cepat, aku menoleh ke arahnya. Wajah kami pun kembali berhadapan.

“Mbak, gak usah nyender deh! Pegel tau.” Ucapanku mengagetkannya, terlihat dari bola matanya yang tiba-tiba membesar.

“Kamu bisa lihat saya?”

“Iya.”

“Sejak kapan?”

“Dari kamu muncul di balik tembok.”

“Aduh saya jadi malu.”

“Gak usah malu, Mbak. Mending sekarang pergi deh, ganggu orang nonton aja.”

“Padahal saya cuman numpang lewat aja.”

“Lewat sih lewat, terus ngapain duduk di mari.”

“Aura kamu tuh beda, hangat.”

“Kompor kali hangat. Dah sana pergi ... hus ... hus ....”

“Iya , jangan marah nanti cakepnya hilang.”

“Ih ... apaan sih. Saya panggil Si Hitam nih,” ancamku.

Wanita itu beranjak dari sofa, lalu berdiri, melayang di sampingku. Perlahan gaun tipisnya itu menyentuh wajahku.

“Buruan woi ... gak usah sok dilambat-lambatin, geli tau,” ucapku menengadah ke wajahnya.

Dia pun tertawa. Lalu terbang melesat dengan cepat. Menembus tembok samping yang berbatasan dengan rumah kosong.

SEKIAN
Share:

Rabu, 21 Juli 2021

DITARIK KE PUSARAN AIR SUNGAI CITARUM

Cerita Horor
Ditarik ke Pusaran Air Sungai Citarum. Kala itu umurku masih 11 tahun. Ibu menyuruhku untuk mencuci baju di aliran Sungai Citarum yang kebetulan tidak begitu jauh dari rumah.

Aku pun berjalan, sambil membawa ember berisi pakaian kotor. Ditemani beberapa anak lain yang mau mandi di sungai. Salah satunya Arman. Anak nakal yang sering menggangguku.


“Cie Eti, dah kaya emak-emak. Bawa ember ke sungai,” ledek Arman, diikuti gelak tawa teman-temannya.


Aku hanya melirik dengan tatapan tajam. Lalu berjalan lebih cepat.


“Buru-buru amat sih,” ujar Arman sambil sedikit berlari mengejarku.


Aku sudah mulai risih dengan tingkahnya itu. Kuambil salah satu baju kotor. Lalu kuayunkan dengan cepat, tepat mengenai badannya.


“Aw!” teriak Arman kesakitan.


“Sakit tau!” lanjutnya dengan nada marah.


“Lagian ngapain ngikutin gw sih?” balasku ketus.


“Galak amat,” balasnya seraya berjalan menjauhiku.


Setibanya di sungai, aku mencari tempat yang agak jauh dari mereka. Kondisi sungai sedang agak sepi. Mungkin karena aku datang kesiangan. Hanya ada dua orang ibu-ibu yang sedang mencuci baju. Itupun sudah hampir selesai.


Aku mulai mengeluarkan baju di ember, menumpuknya di sisi sungai. Lalu duduk di dekat batu besar. Satu persatu baju itu kucelupkan ke air dan dibentangkan di batu besar. Selanjutnya kuoleskan sabun colek dan menyikatnya. Setelah dibilas sampai bersih, baru kusimpan di dalam ember. Karena terlalu fokus mencuci, aku sampai tidak sadar kalau Arman sudah ada di belakangku.


“Eti, gak mau ikut mandi?” ajak Arman mengagetkanku. Aku mengacuhkannya, hanya fokus menyikat baju.

“Kalau ada yang nanya itu dijawab dong!” ucapnya.


“Emang mau dijawab apa?” balasku sambil menoleh ke belakang.

“Ya mau atau enggak?”


“Enggak! Udah jelas gw lagi nyuci. Dah sono pergi!” Aku pun memalingkan muka, lanjut menyikat baju.

Tiba-tiba ....


Ada sebuah dorongan keras dari belakang. Cukup untuk membuat tubuh kecilku itu tercebur ke sungai. Kakiku pun tak sengaja mendepak ember. Hingga akhirnya semua pakaian di dalamnya ikut tercebur.


Aku bisa berenang dan area sisi sungai pun tidak begitu dalam. Seharusnya dengan mudah bisa bangkit dan kembali ke sisi sungai. Namun, kakiku terasa sangat berat. Dengan jelas bisa merasakan ada sesuatu menahannya.


“Tolong!” Aku berteriak minta tolong, sambil menatap Arman yang berdiri di sisi sungai. Dia malah tertawa, sepertinya tidak percaya kalau aku sedang kesulitan.


Entah bagaimana, aliran sungai yang tadinya tenang pun berubah menjadi deras. Tanganku yang berpegangan di batu kecil pun akhirnya terlepas. Setelah itu, aku terbawa arus hingga ke tengah sungai.

Situasi semakin sulit, karena aku mulai merasakan ada yang menarik kakiku. Mengarah ke bagian sungai yang paling dalam.


“Tolong!” ucapku sebelum seluruh tubuhku tenggelam.


Di dalam air, aku terus mengoyang-goyangkan kaki. Agar terlepas dari tarikan itu. Berhasil, aku bisa kembali ke permukaan air. Mengayunkan kedua tangan, mengarah ke sisi sungai.


Belum juga sampai di sisi sungai. Kini tubuhku terasa berat. Pernah merasakan menggendong seseorang sambil berenang. Ya, seperti itulah rasanya. Semakin lama semakin berat, hingga akhirnya aku kembali tenggelam.


Saat itulah aku dengan jelas melihat sosok yang menarik tubuhku. Seorang wanita berambut panjang, mata merah dan sepasang tanduk besar di kepalanya. Wanita itu tidak menggunakan busana sehelai pun. Sehingga aku bisa dengan jelas melihat kulit tubuhnya yang pucah pasi.


Dia terus menarik tubuhku, menjauh dari tempatku mencuci baju. Aku mulai kehabisan nafas dan pandangan mulai meredup. Namun, masih bisa merasakan tubuhku berputar-putar seperti gasing. Semakin lama semakin cepat dan dalam.


Aku sudah pasrah, mungkin memang ini takdirku. Mati tenggelam di sungai. Seperti dua sahabatku yang lain.


Dalam hati terus berdoa, “Ya Allah, Eti enggak mau mati di sini.”


Tiba-tiba, ada tangan yang menarikku kembali ke permukaan. Aku bisa merasakan sentuhannya di telapak tanganku. Sampai di permukaan, tubuhku meluncur dengan sendirinya. Menjauh dari pusaran air, menuju sisi sungai.


Di sisi sungai, kulihat wanita itu menatap tajam. Lalu, menghilang beserta pusaran air itu.


Aku berusaha menenangkan diri dan mengatur nafas. Tangis pun pecah. Berada di situasi antara hidup dan mati memang traumatis. Aku hanya bisa duduk, menundukan kepala, dengan kedua lutut sebagai penopangnya.


Tak lama adzan ashar berkumandang. Aku pun bangkit dari tempat duduk. Bergegas kembali ke rumah.

Tanpa alas kaki, aku menyusuri pepohonan, menuju ke jalan utama. Selanjutnya baru mengetahui, di mana aku sekarang. Ternyata wanita itu membawaku cukup jauh dari tempat semula. Aku terus berjalan. Sesekali menitikan air mata, mengingat kejadian tadi.


Sesampainya di dekat rumah. Kondisi jalan sepi sekali, tidak ada seorang pun. Dengan sedikit berlari aku cepat-cepat menuju rumah. Namun langkahku terhenti, tepat di depan gang rumahku.


Aku baru ingat tentang baju-baju yang tadi hanyut. Karena takut dimarahi ibu, aku memutuskan tidak kembali ke rumah dulu. Bersembunyi di bawah rumah panggung tetanggaku.


Hampir satu jam aku bersembunyi di sana, sampai terdengar suara orang mengobrol di depan rumah. Aku menguping obrolannya.


“Masih belum ketemu, Pak?” tanya suara wanita.


“Belum, Bu. Kayanya hanyut terbawa arus,” balas suara laki-laki itu.


Aku bisa menebak pasti itu suara Bu dan Pak Brata. Pemilik rumah panggung, yang tidak lain tetanggaku.

“Kasian Karni dari tadi nangis terus,” ucap Bu Brata.


“Ibu nangis terus?” pikirku usai mendengar perkataan Bu Brata. Karena hal itu, aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Ternyata di depan rumah sudah ramai orang.


Aku berjalan dengan santainya. Orang-orang yang melihatku sepertinya tidak percaya dan takut. Mereka mundur sedikit, tidak mau mendekat.


“Ini Eti beneran?” tanya Pak Dori, tetanggaku.


“Iya, masa hantu,” balasku kesal dipandang aneh.


“Ya Allah, Eti masih idup!” teriak Tanteku yang sedang duduk di teras depan. Dia langsung memelukku dan mengajak ke dalam rumah.


Di ruang tengah sudah banyak anggota keluarga yang berkumpul. Salah satunya kakek Adha, yang hanya melebarkan senyum.


“Eti, ke mana aja!” ucap Ibu sambil memukul pundakku.


“Kata si Arman Eti hanyut. Ibu udah takut.” Argh, anak nakal itu. Padahal dia yang mendorongku hingga tercebur ke sungai.


“Udah, mandi dulu sana! Takut ada yang ngikut,” ucap Kakek Adha masih tersenyum.


Ibu langsung membawaku ke kamar mandi. Setelah mandi dan ganti baju, aku disuruh duduk di ruang tengah. Tepat di samping kakek Adha.


Wajahnya nampak sekali sedang menahan tawa, tapi aku tidak berani menegurnya. Hanya sedikit menudukan kepala, sambil memegang segelas teh hangat.


“Bener kata Bapak Adha, tadi bilang sebentar lagi juga pulang. Eh pulang beneran,” ucap Ibu.

“Mangkanya, Eti. Jangan suka sembunyi di tempat gelap,” balas Kakek Adha.


“Tempat gelap?” tanya Ibu kebingungan.


“Udah gak usah dibahas, Eti ngerti kan maksud Kakek?”


Aku mengangguk pelan, lalu menyeruput teh hangat.


“Bu, maaf bajunya jadi ikut hanyut,” ucapku pelan, takut ibu marah.


“Ah cuman baju doang. Yang penting Eti selamat.”


“Iya tuh gara-gara, Si ....”


“Stt, udah jangan dibahas.” Kakek Adha memotong ucapanku.


“Gara-gara apa?” tanya Ibu.


“Paling kepeleset pas nyuci. Iya, Kan?” balas Kakek Adha sambil melebarkan kedua matanya.


Ah, aku baru paham maksud Kakek Adha. Sepertinya dia melarangku untuk bercerita yang sebenarnya. Karena jika aku bilang ini semua karena ulah Arman, bisa-bisa nanti ada keributan besar di kampung ini. Apalagi kalau mendengar cerita bagaimana aku selamat, bisa semakin heboh.


Kakek Adha mendekatkan mulutnya ke telingaku.


“Jangan dendam,” bisiknya pelan. Aku pun membalas dengan anggukan pelan.


*


Selang beberapa hari pasca kejadian. Aku pergi mengaji di masjid. Di sana ada Arman. Tetap saja, aku tidak bisa menyembunyikan rasa kesal. Secara otomatis wajahku berubah menjadi sinis.

“Eti,” sapa Arman dengan raut wajah malu-malu.


“Maafin ya, sumpah gw kagak sengaja. Gw kira gak bakal sampe begitu. Biasanya kan, airnya gak dalem,” lanjutnya.


Dari wajahnya, sepertinya dia tulus meminta maaf.


“Iya gw maafin, yang penting gw selamat. Kalau beneran hanyut, ntar gw gentayangon lu, minta pertanggung jawaban,” balasku.


“Sekali lagi maafin ya, Ti.”


“Iye.”


Semenjak hari itu, sikap Arman berubah 180 derajat. Dia tidak pernah menggangguku lagi. Malahan menjadi pelidungku, saat ada orang lain menggangguku. Hingga akhirnya kami pun menjadi teman baik.


*


Lama setelah kejadian, saat aku berkunjung ke rumah Kakek Adha. Akhirnya dia menjelaskan tentang kejadian misterius di Sunga Citarum itu.


“Eti pas waktu hanyut di sungai ada yang narik ya?” tanya Kakek Adha.


“Kok kakek tau?”


Kakek Adha tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya tertawa kecil. Lalu mengalihkan dengan sebuah pertanyaan.


“Eti masih inget gimana bentuknya?”


“Bentuk apa, Kek?”


“Orang yang narik Eti ke pusaran air.”


Aku semakin bingung, bahkan Kakek Adha tau kalau ada pusaran air.


“Perempuan, telanjang, ada tanduknya,” balasku.


“Itu namanya Lembu.”


“Lembu?”


“Iya, Jin Air yang suka narik-narik orang ke tempatnya.”


“Tempat apa, Kek?”


“Ke alamnya, dunia Jin. Pusaran Air itu menjadi gerbang atau pintu masuk ke tempatnya. Beruntung Eti gak masuk ke sana. Kalau iya, bisa mati dan susah dicari.”


“Iya keburu ada yang narik ke atas, tapi ... gak tau siapa?”


“Buaya Buntung. Dia yang narik Eti ke atas.”


“Kok Kakek bisa tau?” tanyaku lagi.


Lagi-lagi, kakek tidak membalas pertanyaanku itu. Dia malah mengelus-elus rambutku dan berkata, “Nanti juga Eti tau.”


SEKIAN

Share:

KUNTILANAK WARIA

Cerita HororKuntilanak Waria. Obrolan absurb antara dua jomblo di sebuah kafe, menjelang tengah malam.


“Dan ... kuntilanak itu jenis kelaminnya apaan?” tanyaku pada Wildan, sahabatku yang selalu menemani dalam suka dan duka, tapi bohong. 


“Ya cewe lah,” ucapnya ngegas.



“Lu tuh tiap hari liat begituan masa gak tau Kuntilanak itu cewek, dodol amat,” lanjutnya.


“Ah ... lu yang dodol. Pengetahuan lu tentang dunia perhantuan masih cetek,” ejekku.


“Heh ....“ Wildan udah siap-siap ngegas, tapi kepotong gara-gara ada mbak cantik yang datang ke meja kita. 


“Udah siap pesan mas?” ucap Mbak itu dengan senyuman menawan. Sukses membuat Wildan tidak mengedipkan kedua matanya. 


“Bentar lagi ada yang ngeces nih,” ucapku menganggu lamunannya.


“Minta menunya aja dulu, Mbak,” sambungku, diikuti dengan Si Mbak yang meletakan menu di meja, lalu kembali ke dekat kasir.


“Udah woy, diliatin aja. Mana mau dia sama cowo jarang mandi kaya lo.”


“Apa sih Mir, lu juga jarang mandi, kebanyakan nongkrong sama Kuntilanak.”


Kayaknya Wildan lupa sama obrolan yang sempat kepotong tadi. 


“Ngomong-ngomong soal Kuntilanak, lu tau gak kalau ada Kuntilanak Waria.” Wildan tertawa ngakak, mendengar ucapanku. 


“Hahahaha ... ada-ada aja lu, mana ada Kuntilanak Waria sih.”


“Lu nya aja yang gak tau, mau denger ceritanya gak?”


“Seru gak?”


“Mayanlah.”


“Boleh lah.”


*


Pas malam tahun baru kemarin, untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir, aku keluar rumah. Sekitar jam 11an, jalanan makin rame, banyak orang jalan kaki di salah satu jalan utama kotaku.


Kebetulan deket SMP-ku dulu, ada lapangan gede. Di sana juga sedang ada acara musik. Aku cuman nonton sebentar, soalnya kurang seru. Masa tahun baru malah dangdutan, tidak jauh beda dong sama nonton TV.


Bosen, aku malah pulang ke rumah, jalan kaki ke dekat SMP-ku. Di depan sekolahku itu, ada jalan gede. Dulu masih sepi, tapi sekarang sudah agak rame, malah jadi tempat parkir motor. Kebetulan aku parkir motor di sana.


“Pas banget gw ambil motor, eh ada yang manggil dong.”


“Bentar-bentar gw haus, mesen makanan sama minuman dulu,” potong Wildan. 


“Gw yang ngomong daritadi napa lu yang haus.”


Wildan mengangkat tangannya, tanda sudah siap memesan makanan. Kali ini yang datang bukan Si Mbak, tapi Mas-Mas. Mungkin Si Mbak males kali liat tatapan liar temanku itu. 


“Satu Signature Sandwich sama Vanilla Milk Shake,” ucapku kepada Si Mas, yang membawa secarik kertas dan pensil.


“Lu apaan, Dan?”


“Gw Doubel Shot Espresso.” 


“Udah itu doang?”


“Ya kan makanannya tinggal minta punya lu,” balasnya cengengesan.


“Kebiasaan ... ya dah Mas itu aja dulu.” Si Mas itu pergi meninggakan meja kita.


“Arghh... gara-gara lu sih, Mir. Si Mbak yang tadi jadi ogah kemari.”


“Lah, lu melotot terus ngeliatin dia. Ntar copot tuh biji mata.”


“Dah lanjut lagi sana ceritanya.”


“Tadi sampe mana yah, gw lupa?”


“Ada yang manggil.”


*

“Mas ... Mas ... ehem ...” Suaranya terdengar sedikit manja.


Aku menengok kanan-kiri, tapi tidak ada orang. Ada sih, bapak-bapak penjaga warung dekat tempatku berdiri. Masa dia manggil-manggil manja, kan tidak mungkin.


“Sttt ... Sttt ... di sini mas.” Suara itu semakin jelas dan terasa dekat.


Aku menoleh ke atas, ternyata sudah ada sosok mirip Kuntilanak, nangkring di atas pohon dekat tempatku berdiri. Astaga, ternyata dia yang daritadi manggil.


“Gw liat mukanya nih Dan, bukannya takut malah ngakak,” ucapku kembali membayangkan momen itu

“Napa emang?”


“Coba dah lu bayangin, cowok, mukanya pake bedak putih tebel, matanya pake eyeshadow item, terus rambutnya pendek acak-acakan. Dipakein baju daster khas Kuntilanak. Gw panggil aja Maskun.”


“Hah? Emang Kuntilanak ada yang transgender?”


“Ya gak lah, dia tuh dulunya cowok kok.”


“Masa sih? Kan Kuntilanak tuh dasarnya cewek.” Wildan menggaruk-garuk kepala, kebingungan. 


Jadi, dulunya jalan itu sering dipakai oleh para waria untuk ‘mangkal’. Si Mbak ini, eh si Mas ini, salah satu dari mereka.


Sayangnya, ada kejadian tragis yang menimpanya. Ketika ada razia Satpol PP, dia berniat kabur, lari ke arah sungai. Saking paniknya, dia nyebur ke sungai itu. Celakanya, dia lupa kalau tidak bisa berenang.


“Terus?” tanya Wildan. 


“Ya Metong lah,” ucapku menirukan gaya bicara si Maskun.


“Kok dia bisa pake daster Kuntilanak?”


“Ya mana gw tau, mungkin nyolong jemuran Mbakun (Mbak Kuntilanak) kali.”


Pesanan kami pun datang. Aku langsung meneguk Vanilla Milkshake dan mengambil sepotong Sandwich.


“Lu bohong ya?” tanya Wildan sambil menyeruput kopinya.


“Beneran,” balasku sambil tersenyum ke arahnya, lalu melanjutkan makan.


Disela-sela mengunyah makanan, aku terus tersenyum menatap Wildan. Dia pun merasa risih. 


“Apaan sih, Mir? Lu kemasukan Maskun ya?” Aku menggelengkan kepala, masih tersenyum menatapnya.


“Terus ... napa dari tadi senyum-senyum liatin gw? Jijik tau ih.”


Aku telan makananku, lalu kembali meminum Milkshake kesukaanku itu.


“Dia ada di belakang lu.”


“Siapa?” Wildan menengok ke belakang, lalu kembali menyeruput kopinya. 


“Siapa lagi ... ya si Maskun.”


Wildan pun kaget, hingga tersedak. Cipratan kopinya sampai mengenai wajahku. Aku pun tertawa puas sekali.


“Dan, dia lagi ngelus-ngelus rambut lu tuh, katanya mau ikut sama lu sampe rumah.”


Wildan melotot ke arahku, mengepalkan tangan kanannya, “Gw pukul lu Mir, kalau sampe dia ngikut.”


“Lah, tadi gak percaya.”


“Dia lagi ngapain sekarang? Kok leher dingin, merinding asli dah gw.”


“Lagi cium-cium plus jilatin leher lu tuh, ganjen banget emang dia sih.”


“Udah dong, Mir. Suruh pergi.”


“Gak mau dia.”


“Nah sekarang pundak gw kesemutan napa nih,” ucap Wildan sambil mengusap-usap pundaknya. 


“Dia lagi meluk lu dari belakang itu.”


Wildan pun akhirnya percaya. Namun sosok Kuntilanak itu tidak juga mau pergi. Dia malah duduk di dekat lelaki yang sedang ngopi sendirian, di kafe itu.


Selesai makan dan ngobrol-ngobrol sedikit, kami pun pulang ke rumah masing-masing.


“Mir ... seriusan dia gak ngikut gw kan?” tanya Wildan sebelum dia menaiki motornya, yang di parkir di depan kafe. 


“Gak kok aman ... lo liat cowo itu.” Aku menunjuk lelaki yang duduk sendirian tadi.


“Nah, dia lagi duduk di atas mejanya, ngeraba-raba muka tuh cowok,” sambungku.


“Ya dah gw balik dah ya ... daripada ntar tiba-tiba ngikut berabe.” Wildan pun menyalakan motornya, pulang lebih dulu. Tak lama kemudian, aku pun menyusul. 


*

Di perjalanan pulang, tiba-tiba punggung merinding. Motor pun terasa lebih berat. Argh, aku sudah tahu pasti ada yang numpang.


Aku menutup mata beberapa detik, mencoba fokus. Sebenarnya paling malas membuka mata batinku ketika sedang berkendaraan. Mereka suka muncul tiba-tiba dan bikin kaget.


Kulihat ada tangan kekar sedang merangkul pinggangku dari belakang. 


“Eike ikut ya cin!” bisik sosok itu. Sudah pasti ini ulah si Maskun, padahal terakhir kulihat dia masih sama lelaki di kafe itu.


“Pergi ah! Berat tau.”


“Tadi ngomongin eike. Hayo ... kangen eike peluk-peluk pas tidur ya?” Kepalanya disenderkan ke pundakku, terlihat dari kaca spion.


Memang, ketika pertama kali bertemu, aku tidak sadar dia mengikutiku sampai rumah. Sadar-sadar ketika dengusan nafasnya mengganggu tidurku. Ketika aku membalikan badan, dia sudah ada di sampingku, tertawa kegirangan.


“Pergi gak! Atau aku pangil si Hitam, biar kamu dibawa sama dia,” ancamku sambil terus menatap jalan.


“Tuhkan, tuhkan, tuhkan,  ngancem. Padahal kan eike cuman mau curhat.”


Ini hantu memang hobi curhat. Pernah, ketika aku di rumah sendirian, dia tiba-tiba nangis di ruang tamu. Pas disuruh pergi, dia malah curhat. Katanya habis dicampakan sama lelaki Belanda. Hantu juga. Sesama hantu saja malas dengannya, apalagi aku.


“Ih ... beneran dipanggil loh. Jahat banget sih,Cin.” Dia mengetuk helmku, lalu menghilang.



SEKIAN

Share:

TERJERAT PINJAMAN ONLINE

Horor
Terjerat Pinjaman Online. “Mas … le-pas-kan du-lu,” ucap wanita itu terbata-bata, sambil terus memegang tali yang menjerat lehernya.

“Tidak!! Kamu harus jujur dulu, baru aku lepaskan,” ucapku dengan terus memegang erat talinya.


Wanita itu sampai terlihat kesulitan menelan ludahnya, “Sa-kit.” ucap wanita itu masih terbata-bata.


“Baiklah, aku akan melonggarkan ikatannya sedikit,  tapi kamu harus cerita yang sebenarnya.”

“Namaku ... Wahyuni.”


Wahyuni, seorang wanita muda berumur 25 tahun. Sejak umur 20 tahun, dia sudah bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Abu Dhabi. Selama dua tahun bekerja di sana, uangnya dia kumpulkan untuk membeli rumah yang sekarang ditinggalinya. Selain itu, untuk membiayai kebutuhan sehari-hari kedua orang tuanya dan sekolah adiknya.


Sebelum tiga tahun bekerja, Wahyuni memilih untuk pulang ke Indonesia. Seorang gadis yang membawa uang banyak pasti menjadi incaran pria-pria di kampungnya. Tidak butuh waktu lama, sampai akhirnya Wahyuni menemukan tambatan hatinya.


Mas Heru adalah pria yang berhasil menaklukannya. Dia bekerja sebagai buruh di pabrik tempe. Mereka pun akhirnya menikah dan tinggal di rumah Wahyuni.


Setelah menikah, Mas Heru meminta Wahyuni untuk kembali bekerja ke luar negeri. Daripada di Indonesia, sulit baginya mencari pekerjaan, apalagi ijazahnya hanya tamatan SD.


Wahyuni menolak, dia mencoba untuk membuka warung kecil-kecilan di depan rumahnya. Sayangnya pendapatan warungnya tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Adiknya pun terancam putus sekolah.


Dengan berat hati, akhirnya Wahyuni setuju untuk kembali bekerja di luar negeri. Namun dia ditolak, karena hasil medical check up menyatakan dirinya hamil.


Wahyuni senang sekali ketika mengetahui dirinya hamil, tapi tidak dengan Mas Heru. Dia meminta Wahyuni untuk menggugurkan kandungannya, karena kondisi keuangan mereka sedang morat-marit. Ditambah Mas Heru belum lama ini nganggur, setelah di PHK dari pabrik.


Wahyuni bersikeras untuk tetap memelihara calon bayinya itu. Apapun dia lakukan, mulai dari berjualan nasi uduk, sayur dan lain-lain. 


Selama masa kehamilan, Mas Heru lebih sering pulang malam, terkadang dalam keadaan mabuk. Wahyuni baru tahu kebiasaan buruk suaminya yang suka mabuk-mabukan dan berjudi. Seluruh perabotan rumah tangganya perlahan habis dijualnya, seperti TV, kulkas, rak sampai sofa.


Masalah semakin pelik, ketika adiknya datang meminta uang untuk membayar SPP yang sudah menunggak 6 bulan. Wahyuni kelimpungan mencari pinjaman, surat tanahnya pun sudah digadai oleh suaminya untuk menutupi hutang judi.


Ting!


Suara SMS masuk.


• Pinjaman Dana Cepat Cair Tanpa Angunan di PT Sejahtera Dengan Bunga 0.6% Perbulan Pinjaman Mulai 10jt - 1M Minat Chat WA: 08xxxxxxxxx7 •


Ketika Wahyuni membaca SMS itu, rasanya seperti mendapatkan angin segar. Dia lalu mengajukan pinjaman sebesar 10 juta. Dengan dalih biaya admintrasi dan macam-macam, bersihnya dia hanya mendapatkan 9.2 juta.


Uang itu digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah adiknya dan disimpan untuk biaya persalinan yang sudah dekat.


Sialnya, uang simpanannya itu diketahui Mas Heru. Dia mengambil semua uangnya. Entah bagaimana ceritanya, dalam semalam seluruh uangnya raib. 


Paginya Mas Heru, memaksa Wahyuni untuk berhutang lagi, ke aplikasi pinjaman online yang lain.


*


Hari yang dinanti pun tiba, saatnya persalinan. Wahyuni melahirkan seorang bayi laki-laki, yang diberi nama Harun. 


Sejak Harun lahir, Mas Heru sama sekali tidak pernah membiayainya.


Gali lubang tutup lubang, membayar tagihan pinjaman A dengan pinjaman baru. Itulah yang bisa dilakukan Wahyuni, sampai tagihannya terus membengkak. Wahyuni harus memiliki uang 3 juta seminggu, hanya untuk membayar bunga 10 aplikasi online yang dia hutangi.


Mas Heru? Dia lepas tangan, tidak pernah membantu Wahyuni untuk membayar hutang-hutangnya. Padahal dia yang paling banyak menikmati uang itu. Ketika ‘debt collector’ datang ke rumah pun dia hanya diam saja.


Para penagih utang itu, terus meneror Wahyuni, dengan SMS-SMS ancaman. Bahkan SMSnya disebarkan ke semua nomor yang ada di HP Wahyuni. Sampai akhirnya seluruh anggota keluarga pun tahu dan merasa malu. 


Atas desakan keluarga dan Mas Heru, Wahyuni disuruh untuk pergi bekerja menjadi TKW lagi. Wahyuni pun menurut, dia pergi mendaftar menjadi TKW ke Taiwan, karena dinilai gajinya lebih besar.


Singkat cerita, Wahyuni pun diterima. Namun dia harus tinggal di penampungan untuk belajar bahasa. Dengan berat hati, dia tepaksa meninggalkan Harun yang batu berusia satu bulan. Orang tuanya bersedia merawat Harun selama Wahyuni di penampungan.


Baru sebulan di penampungan, Wahyuni mendapatkan kabar kalau anaknya sakit. Lalu, dia meminta izin kepada kepala penampungan untuk pulang sebentar. Izin didapatkan, Wahyuni hanya diberi waktu dua hari di rumahnya.


Malam hari, ketika Wahyuni ada di rumahnya. Mas Heru tiba-tiba mengajak berhubungan intim, tentu saja Wahyuni menolak. Mas Heru mengancam, jika tidak dituruti, dia akan meninggalkannya. Wahyuni pun akhirnya menurut.


Harun sudah kembali sehat, mungkin hanya kangen dengan ibunya. Sehingga Wahyuni sudah bisa kembali ke penampungan.


Beberapa bulan di penampungan Wahyuni sakit, muntah-muntah. Kepala penampungan curiga, lalu melakukan medical ulang. Benar saja kecurigaannya, ternyata Wahyuni sedang hamil dua bulan.


Pihak Perusahaan membatalkan keberangkatan Wahyuni, dan menuntutnya ganti rugi. Orangtuanya tidak bisa berbuat apa-apa. Sudah malu akibat teror tagihan dan telepon dari pinjaman online, ditambah anaknya sekarang batal berangkat ke Taiwan.


Ketika mengetahui hal itu, Mas Heru malah melarikan diri. Kabarnya dia sudah menikah siri dengan wanita lain. Wahyuni pun hanya bisa menangis, menyesali perbuatan bodohnya ini.


*


“Udah Mir, lepasin aja! Kasian,” ucap Kakakku, ketika mendengar kisah menyedihkan dari Wahyuni.


“Jangan percaya, Kak. Dia bohong,” ucapku kembali mengencangkan ikatan di leher Wahyuni.


“Aaam-pun, to-long.” ucap Wahyuni dengan tatapan mengiba ke kakakku.


Aku menarik talinya, menyeret Wahyuni ke sebuah ruangan kosong di rumahnya. Lidahnya menjulur dan air liurnya pun terus menetes. Kakak yang melihatnya menjadi iba, dan berusaha mencegahku.


“Gara-gara kamu, rumah ini tidak ada yang mau beli,” ucapku sambil terus menariknya. “Sekarang kamu mau jujur lalu pergi atau tidak?” 


“Iy.-aa.” ucap Wahyuni.


Dalam keadaan depresi ditinggal suami, dibuang keluarga dan diacuhkan para tetangga. Wahyuni hanya bisa berdiam diri di dalam rumahnya. 


Pintu depan rumahnya tidak pernah dibuka, walaupun penagih hutang datang silih berganti. Wahyuni pun sudah putus asa. 


Dengan gelap mata, dia menaruh Harun di bak mandi yang kosong, lalu meninggalkannya dengan kran air yang menyala. Wahyuni pun pergi ke dapur mengambil seutas tali, lalu berjalan ke salah satu ruangan kosong.


Tetangga baru merasa curiga, ketika ada bau busuk menyeruak dari dalam rumah Wahyuni. Kemudian, warga mendobrak rumahnya, mendapati tubuh Wahyuni sudah membusuk, tergantung di ruang kosong. Nasib Harun tidak kalah naas, tubuhnya sudah membengkak dan membusuk di bak kamar mandi.


Semenjak kejadian itu, sering terdengar suara tangisan bayi dan wanita menangis di dalam rumah itu. Tangisan yang menyayat hati dari seorang Wahyuni.


*


“Lihat, Kak! niatnya mau lepas dari jeratan hutang ... sudah mati pun, leher Qorinnya masih terjerat tali. Itu gak akan bisa lepas, aku juga gak mau lepasinnya,” ucapku.


“Iya, salah dia sendiri ternyata, ampir aja ketipu.”


“Makhluk kaya begini, jago banget akting, biar dikasihani.”


“Terus gimana jadinya?” tanya Kakak.


“Aku pindahin aja ke gunung, biar gak ganggu warga sini.”


Sebelum memindahkannya ke gunung, aku sedikit melonggarkan ikatannya. Setidaknya itu bayaran dariku, karena dia sudah mau jujur.


Wahyuni pun tersenyum lebar, lalu tertawa melengking, 



SEKIAN



Share: